Jaringan Bisnis Kios Liar di Kota Batam

Impian Mereka yang Tergusur...
Oleh : Romi Candra
Rabu | 20-04-2016 | 08:00 WIB
kili batam.jpg
Inilah kios-kios liar yang digusur Tim Gabungan di Bengkong Batam. (Foto: Romi Candra)

SAMA sekali tak terbayang di benak Purwadi, kios yang dibelinya puluhan juta itu, rata dengan tanah. Bersama dengan kiosnya yang hancur tergusur itu, lebur pulalah mimpi indahnya mengais masa depan di Pulau Batam. Bagaimana orang-orang seperti Purwadi itu terseret dalam pusaran perdagangan kios liar di Batam? Berikut liputan wartawan BATAMTODAY.COM, Romi Candra. 

Bisnis perdagangan kios-kios liar di Batam semakin marak. Hampir tak ada lahan di jalur hijau dan buffer zone yang tak tersentuh "developer" kios liar di Batam itu. Tanpa legalitas, tanpa izin bahkan di atas jalur gas sekalipun, para "developer" kios liar itu terus membangun dan membangun. Tiada hari tanpa membangun kios-kios liar baru. 

Lalu, kios-kios liar itu pun dipasarkan dengan harga fantastis, antara Rp40 juta sampai dengan Rp60 juta. Bangunan tembok batako ukuran sekiar 3x3 meter dengan atap seng itu laku keras bak kacang goreng. Konsumen kios liar itu rela berhutang, bahkan menjual aset di kampung halaman, entah itu sapi atau sawah, untuk dapat menguasi kios sebagai sumber kehidupan mereka di Batam. 

Bagi mereka yang tak punya uang puluhan juga, bisa menyewa antara Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta perbulan. Pokoknya, bisnis kios liar di Batam memang menggiurkan. Tak perlu takut digusur, karena tak ada Ahok di Batam. Semuanya masih bisa dibicarakan di sini. 

Jika ada kios liar yang terkena program gusuran dari Tim Gabungan TNI-Polri, Satpol PP dan Ditpam BP Batam, itu nasib namanya. Seperti yang dialami Purwadi. Kios liarnya di Bundaran Bengkong Tropicana Batam Center, terkena gusuran, Jumat, 8 April 2016 lalu. 

Hanya tatapan matanya yang terus memotret kiosnya dihancurkan Tim Gabungan itu. Pukulan demi pukulan palu godam yang dihantamkan anggota Satpol PP Pemko Batam itu, seolah menghantam dadanya yang terasa sesak. Tak banyak yang bisa dilakukannya, kecuali mengemasi barang-barangnya yang masih bisa diselamatkan. 

Saat ditemui BATAMTODAY.COM, Purwadi tampak masih syok. Bagaimana tidak? kios itu baru satu minggu ia tempati, setelah direnovasi. Tidak tanggung-tanggung, hampir dari separoh harga kios dia rogoh kocek untuk biaya renovasi.

Saat membeli, antara kios satu dengan lainnya, hanya dibatasi tembok dari batako setinggi lutut orang dewasa. Agar bisa digunakan untuk usaha, ia harus merenovasi dengan membangun dinding tambahan, serta renovasi lainnya. Namun kini yang ada di depan  matanya adalah reruntuhan dinding batako yang sudah hancur. 

"Mau gimana lagi, mas. Saya berharap bisa mendapat untung mengambil kios di sini, tapi kenyataanya malah buntung," ujarnya lemas.

Ia tergiur mengambil kios itu, karena janji dari sang "developer", kalau kawasan tersebut sudah aman, ada yang membekingi dan tidak akan masuk dalam program penggusuran Pemko Batam. Entah siapa backing yang dimaksud itu. Tapi nyatanya kiosnya sudah rata dengan tanah.

"Saya sendiri pun bingung harus marah sama siapa. Saya beli kios ini Rp 40 juta, dengan menyicil lima kali bayar. Selain itu untuk membangun tembok sudah habis sekitar Rp 20 jutaan. Sekarang semua hilang," keluhnya.

Namun ia juga menyadari, tindakan untuk mengambil kios tersebut sudah salah. Pasalnya, ia mengetahui sebelum membeli kalau kios itu tidak memiliki izin.

Berbeda kisah dengan Asmarni, pedagang yang saat ini kiosnya masih berdiri. Wanita satu anak ini juga habis cukup banyak untuk merenovasi kios tersebut. "Saya menyewa di sini, tapi renovasi kiosnya dari saya sendiri," bebernya.

Ia mengaku membayar sewa kios itu Rp500 ribu perbulannya. "Saya sewa lima ratus sebulan. Tapi renovasi kios ini agar punya dinding dan bisa tempat anak saya tidur juga cukup banyak. Saya lupa berapa persisnya, tadi kisaran Rp15 juta tidak ke mana hanya unuk renovasi," lanjut Asmarni.

Melihat kios Purwadi telah roboh, muncul rasa takut dan khawatir dalam hati Asmarni. "Saya juga tidak tahu harus bagaimana kalau ini ikut dirobohkan. Kata orang-orang di kawasan ini aman. Maklumlah mas, kami ini bukan orang kaya, jadi bisa menyewa kios hanya di tempat-tempat seperti ini," lanjutnya.

Inilah faktanya, selalu saja orang kecil dan miskin yang menjadi korban. Sementara sang "developer" yang menyakinkan mereka dengan berbagai janji, aman dan ada backing, menghilang entah ke mana. Saat kios-kios liar mereka dirobohkan, backing yang dimaksud itu tak muncul batang hidungnya. Entah siapa backing itu.

Apakah rakyat kecil selalu salah? Entahlah.  

Editor: Dardani