Selain Faktor Alam, Human Error Juga Disebut Penyebab Longsor Bukit Kemuning
Oleh : Harun al Rasyid
Senin | 11-01-2016 | 14:57 WIB
IMG_20160111_101016.jpg
Selain tingginya curah hujan, ketiadaan drainase, batu miring dan gorong-gorong disebut penyebab longsor Bukit Kemuning (Foto : Harun al Rasyid)

BATAMTODAY.COM, Batam - Curah hujan yang cukup tinggi dan terus-menerus selama kurang lebih tiga hari berturut-turut mengguyur daerah Piayu, dikambing-hitamkan sebagai penyebab terjadinya tanah longsor jalan Bukit Kemuning pada Minggu (3/1/2016) lalu.


Namun, faktor alam bukan semata sebagai penyebab tanah longsor, yang menyebabkan sejumlah rumah tertimbun tanah itu. Ada juga faktor lain yang diduga kuat menjadi penyebab bencana alam tersebut.


Faktor human error atau kelalaian manusia dalam menjaga dan merawat ligkungan sekitar menjadi point penting. Salah satunya kelalaian dalam mebangun jalan menuju Bukit Kemuning tersebut. Baca juga: Sementara, Korban Longsor Bukit Kemuning Bisa Tinggal di Rusunawa

Pantauan BATAMTODAY.COM di pinggir sebelah kiri jalan Bukit Kemuning yang persis di atas Perumahan Mutiara Indah, tidak dibangun batu miring sebagai penopang badan jalan. Begitu juga di pinggir kanan jalan, tidak ada upaya pengerasan tanah atau pemasangan batu miring. 

Kondisi dinding bukit seakan dibiarkan begitu saja setelah dilakukan pembuatan jalan alternatif. Padahal, dengan adanya batu miring, maka dapat menguatkan kontur tanah dan dapat mencegah terjadinya longsor. Sehingga dapat disimpulkan, ketiadaan batu miring itu menjadi salah satu faktor pergeseran tanah yang menyebabkan tanah longsor tersebut.

"Semenjak pembuatan jalan di atas, sampai sekarang memang tidak ada pembuatan batu miring. Setelah digusur, di bagian kiri dan kanan jalan memang dibiarkan begitu saja," kata Amirul Hakim, Ketua RT 02 Perumahan Nusa Indah, Kelurahan Mangsang, Kecamatan Seibeduk, kepada pewarta, Senin (11/1/2016).

Selain itu, faktor lainnya adalah drainase di bagian kanan jalan tidak berfungsi dan terbilang kecil. Padahal, posisi tempat tanah longsor tersebut terletak tepat pada lengkungan bukit dan berada di tengah-tengah apitan kedua Bukit Kemuning. Sehingga ketika musim hujan, aliaran air di tempat ini lebih tinggi dari bagian lainnya.

Drainase yang berfungsi memperlancar aliran air itu terlihat dangkal dan dipenuhi tanah. Tumpukan tanah di dalam drainase berasal dari bekas kikisan air hujan di dinding bukit, bekas pengerukan dan pelebaran jalan.

Parahnya lagi, drainase itu dibiarkan saja terbengkelai, dan hampir tidak kelihatan. Bahkan, ketika musim penghujan, aliran air dari bukit, tergenang di dalam drainas dan membentuk kubangan. Sehingga tumpukan tanah itu menjadi penghalang mengalirnya air hujan ke dataran rendah.

"Got di pinggir jalan ada, tapi kecil dan tidak berfungsi. Pas hujan turun, airnya gak mengalir. Harusnya drainase itu jangan dianggap remeh," ujar Amirul lagi.

Menurut analisanya, saat air dalam drainase itu dibiarkan begitu saja maka lambat laun akan mengikis bagian dalam tanah yang mengakibatkan kropos. Akibatnya, tanah menjadi lemah dan tidak kuat menopang badan jalan yang selalu dilewati kendaraan ringan maupun berat.

"Dulu ada aktifitas pengambilan batu di depan Masjid Kemuning, tapi diprotes warga karena lori-lori yang lewat buat jalan rusak. Jadi ditutup dan dilarang oleh Pak RW Sungkono ambil batu di situ," terangnya.

Selain kedua faktor tersebut, di belahan bukit yang menjadi titik aliran air, tidak ditemukan gorong-gorong yang bergungsi menyalurkan air hujan. Menurut Amirul, jika dibangun gorong-gorong maka akan membantu drainase untuk menyalurkan aliran air hujan sehingga tidak menumpuk di suatu tempat saja.

"Harusnya ada gorong-gorong, biar air dari bukit bisa mengalir ke bawah. Sudahlah drainase gak berfungsi, gorong-gorong juga gak ada. Akibatnya tanah jadi kropos dan beginilah jadinya," kupasnya.

Editor: Udin