Membuka Mata Tentang 'Perang Melawan Narkoba'
Oleh : Ahmad Rohmadi
Rabu | 02-12-2015 | 10:56 WIB
diskusi-pkni.jpg
Salah satu pembicara saat memaparkan materi dalam diskusi dan pemutaran film "Dying A Slow Death" di Kampus Universitas Batam, (Foto: Ahmad Rohmadi)

BATAMTODAY.COM, Batam - Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) serukan tolak kampanye pemerintah yang bertajuk "War on Drugs" atau perang melawan Narkotika. Karena dampak dari kampanye tersebut justru merugikan para korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adikitif lainnya (Napza).

Humas PKNI, Totok Yulianto menyampaikan bahwa PKNI bersama dengan organisasi Hungrarian Civil Liberty Union (HCLU) dengan drugreporter-nya merekam peristiwa yang terjadi di lapangan serta meminta pendapat para pihak yang berkompeten dan merangkumnya dalam sebuah film yang diberi judul "Dying A Slow Death".

"Film ini menceritakan dampak dampak dari kebijakan pemerintah itu terhadap para korban Napza," kata Totok dalam acara diskusi dan pemutaran film pertama di kampus Universitas Batam, Minggu (29/11/2015).

Totok menjelaskan bahwa diceritakan dalam film tersebut diantaranya adalah perang terhadap narkoba memicu negara melalui para aparatnya mendapatkan legitimasi untuk melakukan kriminalisasi serta pelanggaran hak asasi terhadap orang yang memiliki kaitanya dengan Napza.

Walaupun menurutnya orang tersebut hanya menggunakan napza untuk kepentingan diri sendiri, orang yang dijebak untuk mengantarkan napza, ataupun orang yang direkayasa kasusnya sehingga terkesan memiliki narkotika.

"Pengguna atau korban itu jelas berbeda dengan pelaku. Dan dalam narkotika keduanya itu seringkali membaur," katanya.

Kemudian film tersebut juga membuka fakta tempat penahan atau lembaga pemasyarakatan yang over kapasitas. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada bulan Oktober 2015, kapasitas yang seharusnya diisi hanya 119.123 orang kenyataannya diisi mencapai 174.051 orang.

Atas nama perang terhadap narkoba menurutnya juga sering disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan suatu ketakutan tersendiri ditengah masyarakat dengan ancaman hukuman yang tinggi sehingga membuka pintu agar pengguna napza untuk melakukan suap.

"Dengan kata lain para oknum menjadikan para korban ini selayaknya mesin ATM dengan janji akan dibebaskan, mengubah pasal atau menguruangi barang bukti," katanya.

Dengan adanya film yang berdurasi sekitar 30 menit tersebut, PKNI berharap pemerintah dapat melakukan evaluasi yang obyektif, dan mengubah pendekatan kepada pengguna Napza dari pendekatan penghukuman kepada pendekatan kesehatan.

Serta menciptakan perubahan paradigma dan pelaksanaan kebijakan narkitika yang lebih manusiawi dan bebas dari korupsi, dan menghentikan upaya diskriminasi dan stigmatisasi terhadap korban napza pada aspek layanan kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi dan pelayanan publik lainnya

Sementara, Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam, S. Widodo mengatakan permasalahan narkotika di Indonesia memang menjadi persoalan besar yang sulit untuk diselesaikan.

"Lebih bagus menggunakan pendekatan sosio kultural, selain cara medis, untuk menyadarkan mereka yang kecanduan narkoba, jangan menggunakan pendekatan hukum atau dikriminalisasikan," kata Widodo.

Wartawan juga harus melakukan pengawasan dan pengawalan terhadap isu narkoba ini, terutama yang ditangani oleh aparat penegak hukum, mengingat di beberapa kasus bahkan sangat jelas, dengan barang bukti dan pasal yang sama, hukuman yang dijatuhkan berbeda.

"Seperti kasus yang pernah menghebohkan kita semua, ada vonis hukuman penjara dua puluh tahun kepada orang yang membawa sabu 20 kilogram, seharusnya kan layak dijatuhi hukuman mati meski jaksa kemudian menyatakan banding," kata Widodo yang juga merupakan redaktur BATAMTODAY.COM tersebut.

Editor: Dardani