Kisah 'Polisi Cepek' yang Tak Kenal Capek di Batam
Oleh : CR12
Senin | 05-10-2015 | 17:46 WIB
IMG00039-20151005-1628.jpg
Samuel sediang sibuk menjalankan profesinya sebagai "polisi tanpa seragam". (Foto: CR12)

BATAMTODAY.COM, Batam - Batamku tak seperti dulu lagi. Kira-kira begitu judul keluhan masyarakat pencari kerja di kota ini. Berkurangnya jumlah permintaan atas barang membuat beberapa perusahan angkat kaki, bahkan ada yang menyerah tanpa perlawanan. 

Sudah ribuan karyawan yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Akibatnya, lapangan pekerjaan menyempit dan melahirkan pengangguran dalam jumlah besar. Biasanya, tidak adanya lapangan pekerjaan berdampak pada tingginya angka kriminalitas. Hal ini semacam dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. 

Namun analisis ini seakan tidak berarti bagi sosok ini. Samuel Alfredo Simamora, pria kelahiran Tebing Tinggi, 1988 tak bisa berbuat banyak. Susahnya mencari kerja membuat ia berfikir keras bagaimana melangsungkan hidup di Batam. Dengan hanya berbekal ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia memutuskan membantu pengatur lalu lintas, yang biasa dikenal dengan "polisi cepek".

Dalam benaknya, untuk mecari sesuap nasi tak perlu dengan cara ilegal, kekerasan maupun jalan yang dinilai melanggar koridor hukum agama maupun negara. Bagi pria umur 27 tahun ini, bekerja sebagai sukarelawan pembantu polisi lalu lintas ini, adalah pekerjaan yang halal dan tidak dilarang oleh siapapun.

"Susah bang cari kerja di Batam sekarang. Saya ini tamatan SMP, mau lamar kemana saya. Orang yang punya keahlian aja banyak yang nganggur. Banyak yang mau daftar kerja tapi gak ada lowongan bang. Dari pada kelaperan mending kerja gini bantu orang lewat" papar pria yang sudah 4 bulan jadi "polisi cepek" itu.

"Kalau tidak kerja begini, mau kerja apa saya. Jadi maling dihajar massa, jadi kurir sabu ditangkap polisi. Ini Batam Bung! Lagian ini halal kok, dan tidak ada yang larang," tambahnya dengan mimik wajah serius.

Dari hasil pantauan BATAMTODAY.COM, Minggu, (4/10/2015) terlihat, ia berusaha menghentikan kendaraan roda empat yang melaju kencang padahal di depannya ada kendaraan roda dua yang hendak menyeberang. Tidak gampang memang bekerja sebagai 'polisi cepek' tersebut, banyak suka dan duka harus ia pikul. 

Selain harus kepanasan di bawah teriknya matahari, bisingnya suara kendaraan, asap kenalpot yang beraroma tak sedap menjadi santapan setiap hari, ditambah ulah para pengendara yang semena-mena, butuh sebuah kekuatan hati yang ekstra untuk melawan rasa malu. 

Baginya, kendala itu bukan menjadi penghalang untuk menggais rejeki. Apalagi ia sudah mempunyai seorang putra bernama Daniel Alfian (2) hasil pernikahannya dengan Yanti (23) yang kandas 2 tahun lalu lantaran tak bisa menafkahi secara lahiriah.

Polisi Pertigaan, demikian panggilan akrab Samuel, mengaku mendapatkan uang dari pemberian pengendara yang lewat. Ada yang dalam bentuk uang logam, lembaran seribuan bahkan ada yang memberi dalam lembaran puluhan ribu. Ia tidak pernah meminta apalagi memaksa para pengendara, semata-mata karena belas kasih dari hamba Tuhan.

"Saya dikasih sama orang yang lewat tapi saya tidak maksa mereka. Kalo dikasih yah saya ambil. Bisanya yang ngasi gopek (Rp 500), seribu, dua ribu. Kemarin dulu saya dikasi Rp 50.000. Iya syukuri apa yang adalah bang," ujarnya seraya menghapus tetesan kringat di dahi.

Dari hasil kerja yang tak seberapa itu, ia kumpulkan sedikit demi sedikit. Untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari ia memilih mengkonsumsi mie instan, gorengan (makanan dari ketela pohon yang dicampur dengan terigu bumbu-bumbu lainya kemudian digoreng, red) dan makanan seadanya. 

Tidak ada tempat tinggal yang pasti membuat hidupnya bergelantungan, ia hanya mengandalkan salah satu warnet yang beroperasi di sekitar pertokoan Limanda untuk sekedar melepas peluh dan kantuk.

Miris memang melihat perjalan hidup pria ini. Sempat bekerja sebagai sekuriti salah satu perusahan di Tanjung Uncang, diusir dari sanak famili karena masalah keluarga, ditambah lagi tuntutan masa depan anak semata wayang yang kini dipasrahi tinggl bersama orang tuanya, seakan menjadi warna sendiri dalam mewarnai perjalanan diatas kanvas kehidupan yang demikian kelabu.

"Saya ini tidak ada tempat tinggal lagi bang, makanya saya tidur diwarnet depan ruku Limanda itu. Kalo makan yah seadanya, dapat gorengan yah makan gorengan, seringnya si makan mie. Beginilah bang mau gimana lagi. Anak saya butuh biaya, yah saya harus pandai-pandai menyimpan duit untuk kebutuhannya. Sebulan kadang saya kirim kesana, kadang lebih dari sebulan. Gak mesti bang kirimnya," ucapnya dengan nada sedih.

Ketika orang memandang sebelah mata dengan perkerjaan polisi cepek ini, ternyata ada sisi positif yang menurutnya dapat membantu masyarakat dalam mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Menurutnya, semenjak ia bekerja sebagai pengatur lalulintas di U-turn Jalan Brigjen Suprapto, tepatnya di depan Rumah Toko Limanda, sudah tidak ada lagi kecelakaan yang terjadi. Biasanya di simpang jalan tersebut ada kecelakaan sampai korbanya meninggal dunia.

"Dulu ada yang kecelakaan disini, sampai ada yang meninggal. Tapi ketika saya mulai jaga, sekarang sudah tidak ada. Di sini saya niatnya bantu masyarakat juga. Biar pengendara aman kalo lewat. Kasihank an kalo terjadi tabrakan," jelas Samuel.

Hal senada diakui Ferdianto salah satu pengendara yang biasa melewati ditempat tersebut. Menurut pria asli Jawa ini, yang dilakukan Samuel termasuk pekerjaan mulia. Membantu masyarakat dan juga meringankan kerja polisi. Apalagi pekerjaan tersebut berangkat dari keinginan sendiri tanpa suruhan maupun paksaan dari salah satu pihak.

"Saya sering lewat sini, kalo ada uang lebih saya kasih aja. Kan yang dilakukannya baik, bisa bantu orang lewat dan bantu kerja polisi," ujar pria umur 37 tahun tersebut.

Ketika disinggung sampai kapan mau bekerja seperti ini, ia hanya menundukan kepala tanpa ada satu katapun yang keluar dari bibirnya.

Editor: Dardani