Lubang Sama
Oleh : Redaksi
Kamis | 06-03-2025 | 08:44 WIB
06-03_lubang-sama-disway_9348347788.jpg
Ethiopia tidak akan mau melepas region Tigray untuk merdeka. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

SUDAH dua kali Ethiopia pernah masuk lubang yang sama: melepaskan region Eritrea dan Djibouti. Bahkan tiga kali: melepaskan Somalia. Akibatnya: Ethiopia terisolasi. Tidak bisa punya pelabuhan. Wilayah pinggir lautnya sudah lepas semua.

Tigray tidak di pinggir laut. Tapi kalau sampai lepas itu membuat Ethiopia kian jauh dari laut.

Perdamaian dengan Eritrea sudah dilakukan. Satu hadiah Nobel Perdamaian sudah didapat oleh tokoh muda Ethiopia yang sejak 10 tahun lalu jadi perdana menteri: Abiy Ahmed.

Pasca perdamaian itu mestinya Ethiopia bisa menggunakan pelabuhan di Eritrea. Terhalang Tigray yang belum aman.

Kalau Ethiopia bisa nenggunakan pelabuhan Eritrea arus barang bisa lebih lancar. Sekaligus bisa untuk meningkatkan ekonomi region Tigray yang paling miskin --pusat kelaparan di zaman lagunya Iwan Fals.

Keinginan Tigray merdeka memang masih hidup. Saya menangkap aspirasi seperti itu masih besar.

Tapi untuk apa? Region ini akan semakin terisolasi. Tidak punya sumber ekonomi selain pertanian, itu pun di gunung batu. Tetangganya, negara Eritrea lebih miskin lagi. Pastilah keinginan merdeka bukan untuk menguasai sumber ekonomi. Rasanya murni soal keadilan. Bercampur kesukuan. Tigray minoritas. Enam persen dari jumlah penduduk negara. Sulit dapat posisi penting di pusat.

Rasanya perlu ada MBG di Tigray. Agar murid sekolah pandai. Kelak, biar minoritas, tapi pandai. Bisa ikut berkuasa di pusat.

Sebelum terganggu krisis moneter tiga tahun terakhir kebangkitan Ethiopia sungguh luar biasa. Pun dalam pemikiran. Misalnya: bagaimana mengatasi isolasinya itu. Tidak harus perang merebut wilayah pantai bekas miliknya. Itu hanya akan menambah kesengsaraan.

Abiy Ahmed, keturunan Islam yang beragama Kristen, memilih "jalan bisnis": Ethiopia membeli saham perusahaan pelabuhan di Djibouti. Ikut join bersama investor asing dari Tiongkok dan Dubai.

Dengan jalan bisnis itu Ethiopia tidak bisa lagi disebut tidak punya pelabuhan.

Sebagai pemegang saham di pelabuhan Djibouti, Ethiopia bisa ikut berperan dalam mengatur pelabuhan di negara tetangga.

Pelabuhan perlu muatan. Perlu banyak kapal yang datang dan pergi. Jibouti negara kecil. Tidak perlu banyak barang. Ethiopia jauh lebih besar. Penduduknya terbesar kedua di Afrika setelah Nigeria. Perlu banyak barang.

Dengan pelabuhan besar itu Djibouti bisa menghidupi Ethiopia. Ethiopia menghidupi Djibouti. Alangkah indahnya kerja sama. Dibanding perang. Jalan kereta pun dibangun. Dari pelabuhan besar Djibouti ke daratan Ethiopia di belakangnya.

Model itu rasanya harus bisa juga dilakukan bersama Eritrea. Tapi kalau Tigray sampai merdeka terhalang wilayah Tigray. Padahal untuk memajukan ekonomi Eritrea --dan Tigray-- kerja sama bisnis model Ethiopia-Djibouti harus terjadi. Mungkin Tiongkok bisa jadi makcomblang tersembunyi untuk kemakmuran wilayah termiskin ini. Atau Turki. Pengaruh Turki juga sangat besar di Ethiopia.

Meski sudah lebih memilih "jalan bisnis" Ethiopia masih juga dicurigai: jadi dalang gerakan merdeka di wilayah pantai lainnya: Somalialand.

Sekarang ini Somalialand jadi bagian negara miskin Somalia. Lalu ingin merdeka: Republik Somalialand. Masalahnya: dulu, sultan Somalialand sendiri yang secara sukarela ingin bergabung menjadi bagian Somalia. Setiap ada gerakan merdeka di Somalialand, Ethiopia dituduh sebagai provokatornya.

Pemikiran besar Ethiopia lainnya Anda sudah tahu: membangun dam raksasa. Diberi nama: Dam Kebangkitan. Renaissance Dam.

Letaknya Anda juga sudah tahu: di dekat perbatasan dengan Sudan.

Yang dibendung adalah sungai Nil. Hulu sungai Nil.

Dulu saya hanya tahu sungai Nil itu sungai terpanjang di dunia yang ada di Mesir. Ternyata hulunya ada di pedalaman Ethiopia.

Mesir marah besar. Hilir sungai Nil memang di Mesir. Air sungainya penting bagi pertanian di pedalaman Mesir. Bendungan itu bisa mengurangi air irigasi petani di sana.

Kalau ekornya di Ethiopia dan kepalanya di Mesir, tubuh sungai Nil ada di Sudan. Sudan tidak marah. Justru senang. Banjir besar yang selama ini melanda sebagian Sudan tidak terjadi lagi.

Ethiopia menyadari bendungan itu akan mengganggu pertanian di Mesir. Tapi hanya sementara. Sampai semua air dari hulu memenuhi waduk rakasasa itu. Setelah waduk penuh, air ke Mesir akan normal lagi.

Bendungan itu menghasilkan listrik. Listrik dan air adalah sumber kehidupan. Maka Ethiopia pun kini memiliki sumber kehidupan yang jelas. Wilayah pertaniannya dapat pengairan lebih baik. Listriknya untuk industrialisasi.

Bendungan itu kini sudah jadi. Dibangun oleh Itali. Waduknya sudah penuh. Kemarahan Mesir mestinya reda: belum. Waktu saya di Addis Ababa ini Mesir masih memboikot pertemuan penting di ibu kota Ethiopia. Yakni untuk membicarakan pemanfaatan bendungan oleh negara sekitar.

Tentu Anda tahu: saya ke Addis Ababa bukan untuk pertemuan itu. Apalagi mewakili perusuh Disway. Tapi saya begitu ingin ke bendungan itu. Tahun depan.

Saya ingin membandingkan dengan bendungan raksasa di Yichang, Tiongkok: Three Georges Dam.

Saya sudah tiga kali ke dam di dekat Chongqing itu. Sejak di awal pembangunannya. Lalu di awal operasi sebagiannya. Terakhir setelah sepenuhnya jadi.

Di Yichang, tiga kabupaten ditenggelamkan untuk waduk. Satu setengah juta penduduk dipindah. 30.000 MW listrik dihasilkan --hampir separo keperluan listrik seluruh Indonesia saat ini. Banjir besar yang dulu melanda lebih 10 kabupaten di dekat Wuhan pun tidak terjadi lagi.

Bendungan Kebangkitan di Ethiopia tidak sebesar itu. Tapi sudah yang terbesar di seluruh benua Afrika.

Kini ekonomi Ethiopia memang lagi sakit. Dari pengalaman Indonesia di zaman Orde Baru sakit seperti ini akan sembuh dalam satu tahun. Begitulah dulu. Dari devaluasi ke devaluasi rupiah.

Sakitnya tidak sampai di seluruh tubuh seperti dulu. Sakitnya tuh hanya di sini: di kenaikan harga-harga. Lalu terbiasa.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia