Kisah Warga Kampung Belakang Pasar Induk Sei Jodoh

Tahun Terus Berganti, Hidup Kami Tetap Menderita Seperti Ini
Oleh : Hendra
Rabu | 01-01-2020 | 15:00 WIB
warga_pasar_sei_jodoh.jpg
Anak-anak kecil bermain di sela reruntuhan rumah warga di kawasan Kampung Belakang Pasar Induk Jodoh RT-004/RW-004 (Foto: Hendra)

BATAMTODAY.COM, Batam - Minggu pagi, dua hari menjelang Tahun Baru 2020, tepatnya 29 Desember 2019. Saat itu sekitar pukul 04.00 WIB, teriakan mulai menggema bersama decit papan-papan usang rumah warga. Mereka mayoritas tinggal di kawasan pelantaran pinggir laut, tepatnya kampung yang berada persis di belakang Pasar Induk Jodoh, Kota Batam.

Rumah sederhana, yang mungkin bagi sebagian orang tak layak huni, itu tergoncang begitu saja, tanpa mereka sadari penyebab dan akibatnya.

Panik menyeruak bersama gema teriakan masyarakat pinggiran, tak jauh dari kota tua Jodoh itu. Decit papan usang, dan suara rumah amblas. Sementara malam itu monster-monster besi terus malakukan aktifitas proyek penimbunan lahan.

"Serasa gempa" ujar Mak Dupek, seorang perempuan paruh baya kelahiran 1961, Senin (30/12/2019).

Mak Dupek mengaku telah 20 tahun hidup dan menetap di kawasan pinggir itu. Kini rumahnya telah hancur, tanamannya pun sama. Semua hilang oleh aktifitas proyek penimbunan.

"20 tahun saya hidup di sini. Dahulu tanaman saya banyak, ada kelapa, pisang dan itu semua hancur hilang karena aktifitas proyek. Tak ada belas kasihan mereka, begitu juga pemerintah," keluhnya sembari terus bercerita.

Rumah sederhananya kini memang telah terlihat hancur saat ia menujukkan lokasi di mana rumahnya berada. Baginya kini hanyalah bagaimana cara hidup terus berjalan, karena merasa tak ingin terlalu berharap dengan Pemerintah Kota Batam.

Masih teringat jelas diingatan Mak Dupek kejadian subuh itu. Teriakan orang-orang membangunkannya. Persis pukul 04.00 Wib pagi. Hingga ia pun bangun dan berlari tanpa memikirkan hal lainnya.

"Aku keluar tak pakai baju berlari karena takut, hingga kini sangat susah tidur kalau mengingat kejadian itu," ungkapnya.

Sementara dari obrolan pewarta dengan warga lainnya, ada yang turut berjuang agar tak terhimpit reruntuhan rumah lain dan rumah mereka sendiri. Karena di kampung ini mayoritas rumah andalah rumah pelantar terbuat dari kayu.

"Kami cuma bisa lari dan melihat rumah kami hancur. Tak ada yang bisa kami bawa selamat," terang warga lainnya.

Dari kejadian tanah retak dan ambruk, hingga menelan kerusakan rumah warga di Kampung Belakang Pasar Induk RT-004/RW-004, Kelurahan Tanjunguma, Kecamatan Lubuk Baja ini, terdata 1 orang meninggal dunia atas nama Sarinah (49) dan 18 orang lainnya luka-luka ringan akibat tertimpa reruntuhan.

Total di kampung ini ada 83 KK dengan jumlah jiwa 224. Sementara warga yang meninggal tersebut terkena serangan jantung mendadak, akibat ketakutan (panic attack) saat kejadian berlangsung. Total kerugian disebutkan lebih kurang 1 miliar 730 juta rupiah menurut data yang telah dituliskan oleh Taruna Siaga Bencana (Tagana) bersama warga.

Menjelang malam pergantian tahun, saat pewarta kembali mengunjungi lokasi kediaman warga yang kini mayoritas tinggal di shelter milik Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Kepri. Banyak warga tak habis pikir, kenapa pemerintah seolah-olah membiarkan nasib mereka seperti ini, bukannya menyalahkan, mereka hanya minta perhatian.

Hampir dari mereka para korban semua memahami bahwa takdir berjalan dengan ketentuan di luar kuasa manusia. Hanya saja hal terpenting adalah, segala sebab akibat berjalan di dalamnya.

Sebagai masyarakat awam kita semua bisa melihat keretakan tanah tak jauh dari tempat mereka tinggal, berdampingan dengan aktifitas penimbunan lahan di atasnya menyebabkan amblas puluhan rumah. "Ada cause dan effect di dalamnya," terang Agung, dari LSM Gebrak yang kini mendampingi masyarakat korban, Selasa (31/12/2019)

Lanjutnya, hanya satu hal yang diinginkan atau diminta warga dari pemerintah dan aparat keamanan, yakni pandanglah nasib mereka meski hanyalah warga ruli, karena mereka juga bagian dari NKRI.

Tahun baru hanyalah persoalan waktu, namun nasib adalah persoalan yang kadang membawa pilu bagi mereka, kaum pinggiran kota tua, "Tahun berganti, derita kami (tetap) seperti ini," tutup Mak Dupek di suatu siang yang penuh dengan debu-debu tanah akibat proyek penimbunan lahan.

Editor: Surya