Melihat Wajah Waduk Duriangkang dari Dekat
Oleh : Redaksi
Senin | 01-07-2019 | 18:16 WIB
waduk-duriangkang1.jpg
Kondisi wadung duriangkang dipenuhi eceng gondok. (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Batam - Aktifitas ilegal di waduk dan area tangkapan air menjadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas dibereskan. Aktifitas ilegal yang semakin marak justru mengancam kawasan lindung, dan tentu saja berdampak langsung terhadap kualitas dan kuantitas cadangan air baku.

Kesan pertama saat masuk ke dalam hutan lindung Duriangkang adalah, kawasan ini lebih cocok disebut sebagai perkebunan rakyat ketimbang hutan lindung. Pepohonan tak lagi berdiri rapat menghalangi sinar matahari, lebih banyak hamparan luas berisi tanaman holtikultura.

Yang jamak terlihat adalah daun Singkong, Jagung, Serai, Pepaya, Nangka dan tanaman-tanaman sejenis menjadi variasi-variasi yang bisa ditangkap mata saat menyusuri hutan. Masing-masing kebun tampaknya dirawat dengan baik. Tampak dari sepinya ilalang disekitar tanaman-tanaman tersebut.

Masuk lebih jauh, kita bisa menemukan barisan-barisan pohon menghitam seperti terbakar. Di bawahnya rumput-rumput pendek bernasib sama. Barisan pohon ini tampaknya sengaja dibakar untuk membuka lahan perkebunan baru.

Diseberangnya ada barisan pohon gosong yang telah ditebang. Lahan di belakannya telah gembur dicangkul, dan dipenuhi batang-batang singkong yang distek. Beberapa telah tumbuh daun muda. Beberapa bulan kedepan sudah bisa dipanen dan dijual.

Kondisi waduk juga cukup memprihatinkan. Kerambah ikan tampak berjejer rapih diselingi tanaman Eceng Gondok yang memenuhi hampir seluruh tepian waduk. Kerambah itu biasanya diisi Mujahir Ikan Gabus, atau ikan air tawar lain yang bisa dijual.

Tak jauh dari barisan kerambah, tampak barisan kapal-kapal kayu diparkir di pinggir waduk. Di tengah kapal berdiri tiang setinggi 2 meter, dengan jaring bulat berdiameter 2 meteran tergantung di puncaknya. Sementara di tengah danau beberapa orang tengah menggunakan kapal serupa, sembari membentangkan jaring untuk menangkap ikan.

Uniknya, tak jauh dari waduk telah ada 3 orang bersepeda motor menunggu ikan-ikan hasil tangkapan tersebut. Di belakang motornya ada 3 gentong besar yang diisi air, untuk memasukan hasil tangkapan warga.

Salah seorang warga menepi sambil membawa jaring penuh ikan. Dia tampak mendekati ketiga orang tersebut. Ikan-ikan yang dijaringnya ditimbang menggunakan timbangan kecil, kemudian dia dibayar. "Lima kilo," gumamnya kepada temannya yang berpapasan jalan.

Jika meneruskan perjalanan hingga 25 meter lagi, segorombolan pria tampak memancing menggunakan pancingan sederhana dari bambu. Mereka menggunakan umpan dari lumut untuk memikat Mujahir.

Sampah-sampah plastik kemasan tampak berserakan di tepian waduk hingga ke dalam waduk. Terlihat jelas sampah itu adalah bekas makanan dan minuman kemasan yang dibawa pemancing saat memancing disana. Demikian juga gerombolan pria tersebut, mereka membawa botol air mineral besar, dan meninggalkannya begitu saja setelah selesai memancing.

Demikianlah kondisi waduk Duriangkang saat ini. Fungsi ekologisnya tak lagi mendapat perhatian. Fungsi ekonomis, yaitu sebagai sumber mata pencaharian hidup seringkali mengalahkan fungsi hutan dalam memelihara keseimbangan ekologis –termasuk iklim global.

Padahal disadari atau tidak, pemanfaatan fungsi ekonomi hutan secara berlebihan oleh manusia (eksploitasi hutan) tanpa mempedulikan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan malapetaka. Dampak yang ditimbulkan membutuhkan biaya ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar dibanding hasil ekonomi yang telah diperoleh.

Batam pernah punya pengalaman buruk akibat lalai menanggulangi praktek perambahan dan eksploitasi hutan lindung di area tangkapan air. Waduk Baloi, yang merupakan waduk pertama di Batam terpaksa berhenti beroperasi karena dipenuhi penduduk.

Hutan lindung Baloi dirambah oleh penduduk, kemudian dijadikan pemukiman liar. Kini areal tersebut dikenal dengan nama Baloi Kolam. Berkurangnya jumlah hutan secara signifikan mengakibatkan sedimentasi waduk semakin parah.

Sementara limbah organik warga memperburuk kualitas air yang ada di waduk, hingga bakteri e-coli yang terkandung dalam air melampaui ambang batas. Akibatnya, air yang diolah tak lagi layak konsumsi. Kalaupun harus diolah, biaya yang dikeluarkan hingga air layak konsumsi akan sangat tinggi.

"Kita bisa sebut Dam Baloi saat ini telah menjadi septic tank umum hingga terpaksa ditutup. Kita harus belajar dari kejadian Dam Baloi, sehingga kejadian yang sama tidak terulang lagi di Dam yang lain," ujar Presiden Direktur ATB, Benny Andrianto.

Dam Duriangkang merupakan andalan utama suplai air bersih di Batam saat ini. Sekitar 70 persen kebutuhan air bersih ditopang oleh waduk tersebut. Karena itu, keberadaannya sangat vital bagi keandalan suplai air bersih di Batam.

Jika kondisi hutan lindung Dam Duriangkang tak segera ditanggulangi, Benny khawatir nasib Dam Baloi akan terulang kembali. Jika itu terjadi, maka kerugian ekonomi dan sosial yang terjadi akan sangat besar.

Salah satu dampak terburuk jika terjadi deforestasi secara besar-besaran adalah meningkatnya aliran air permukaan yang kemudian mengakibatkan tanah di permukaan semakin menipis hingga akhirnya meningkatkan sedimen pada badan air.

Selain sedimentasi, keberadaan hutan juga berdampak langsung pada curah hujan di daerah-dareah tangkapan air. ATB secara rutin mengukur curah hujan di aera tangkapan air. Data tersebut mengungkapkan terjadinya kecenderungan curah hujan yang turun di daerah tangkapan air, seiring turunnya luas hutan yang ada.

Dalam rentang tahun 2008 hingga 2013 rata-rata curah hujan di 5 waduk yang ada di Batam selalu berada di angka 2.000 mm/tahun. Curah hujan di Dam Sei Harapan misalnya, mencapai 2.500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi berada di Dam Muka Kuning, mencapai 3.000 mm/tahun.

Pada rentang tahun 2014 hingga 2017, rata-rata curah hujan di seluruh Dam di Batam berada pada angka 1.100 mm/tahun hingga 2.300 mm/tahun. Curah hujan di Dam Sei Harapan hanya 2.300 mm/tahun. Dam Sei Ladi 1.800 mm/tahun. Sementara curah hujan di Dam Muka Kuning yang sempat tinggi hanya 1.800 mm/ tahun pada rentang tersebut.

Hasil pengukuran curah hujan di tahun 2018 kembali menunjukan kecenderungan penurunan. Curah hujan di Dam Sei Ladi misalnya, turun menjadi hanya 1.600 mm/tahun. Curah hujan di Dam Duriangkang juga turun dari rata-rata 2014-2017, dari 1.9000 mm/tahun menjadi 1.800 mm/tahun. Kondisi yang sama berlaku hampir di semua dam.

Di lain pihak, kebutuhan air bersih di Batam terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan industri. Dengan curah hujan yang semakin kecil, dikhawatirkan sumber air baku di Batam juga akan semakin menipis dan tak mampu mengimbangi kebutuhan air yang semakin meningkat.

Karena Batam hanya mengandalkan sumber air baku dari hujan, maka menjaga hutan harus menjadi tanggungjawab bersama. Program menjaga keberadaan hutan harus menjadi bagian dari program strategis semua stakeholder.

"Merevitaliasi waduk tidak akan bisa menjadi satu-satunya solusi. Karena curah hujan sebagai sumber utama air baku di Batam semakin hari semakin menurun. Hutan di Batam harus dijaga dan diperbaiki. Ini harus menjadi bagian dari program prioritas," tegasnya.

ATB sendiri telah melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kondisi hutan di Batam. Salah satunya dengan menggelontorkan dana Corporate Social Responbility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan peduli lingkungan.

Perusahaan pengelola air ini aktif melakukan upaya konservasi lingkungan, terutama di daerah tangkapan air. Sepanjang tahun 2011 hingga 2018, ATB melalui Festival Hijau telah menanam 10.700 pohon di waduk-waduk yang ada di Batam. Tahun 2019 ini ATB akan kembali menanam pohon melalui program tersebut.

Semua pihak terkait, termasuk pemerintah diharapkan bergerak aktif dalam menangani masalah hutan di Batam. Melalui pengawasan di kawasan hutan lindung, reboisasi di daerah-daerah tangkapan air yang telah rusak, dan program lain yang berkaitan dengan program lingkungan.

Pemerintah dan aparatur penegak hukum memiliki peran paling besar dalam upaya pelestarian hutan. Sanksi tegas sangat efektif untuk mencegah perambahan hutan.

Selain itu, hendaknya proyek infrastruktur yang dilakukan harus berwawasan lingkungan. Pembangunan bukan hanya sekadar memacak beton di atas tanah, melainkan juga memikirkan dampak negatif jangka panjang terhadap lingkungan. Mulai dari pemilihan materil, metode pengerjaan dan fungsinya haruslah bersahabat dengan lingkungan.

"Dengan urgensi tinggi untuk menyelamatkan hutan, rasanya konsep green development harus menjadi role model pembangunan Batam kedepan," ujarnya.

Editor: Yudha