Mantan Direktur BPR Agra Dhana

Erlina, Korban Ketidakadilan Aparat Penegak Hukum di Batam
Oleh : Gokli
Rabu | 04-07-2018 | 09:16 WIB
manuel-erlina.jpg
Manuel P Tampubolan bersama kliennya Erlina. (Dok Batamtoday.com)

BATAMTODAY.COM, Batam - Erlina, mantan Direktur BPR Agra Dhana yang berlokasi di daerah Nagoya, disebut korban ketidakadilan aparat penegak hukum di Batam. Sejak 2015 lalu sampai sekarang, hidupnya dihantui dinginya jeruji besi pasca dipolisikan Direksi BPR Agra Dhana.

Manuel P Tampubolon, kuasa hukum yang ditunjuk Erlina untuk mendampingi dirinya menghadapai proses hukum mengisahkan, sebelum adanya laporan penggelapan ke Polisi, kliennya sudah berniat baik untuk menyelesaikan semua yang dituduhkan kepadanya. Hanya saja, niat baik itu tidak bisa memuaskan pelapor, hingga kini proses hukum masih bergulir.

"Jauh sebelum adanya laporan penggelapan, Erlina sudah membayar uang yang dituduh digelapkannya. Pun, tuduhan itu tidak disertai alat bukti. Tetapi, karena Erlina takut akan berbagai ancaman dan intimidasi, apa yang dituduhkan itu dia selesaikan dengan melakukan pembayaran sebesar Rp929.853.879 ke BPR Agra Dhana," katanya, Selasa (3/7/2018).

Proses hukum yang sudah berlarut-larut sampai dengan sekarang, membuat hidup Erlina semakin tidak tenang. Namun, semua itu dia lalui dan hadapi lantaran yakin tidak pernah berbuat seperti apa yang dituduhkan Direksi Agra Dhana kepadanya.

"Buktinya Erlina tidak lari atau menghilang, kalau benar dia bersalah. Sampai sekarang dia masih di Batam dalam bayang-bayang ketidakadilan," ujar Manuel.

Ironisnya, setelah lama kasus ini terkatung-katung, tiba-tiba ada surat pemberitahuan dari polisi bahwa Erlina akan diserahkan ke kejaksaan, menyusul berkas perkara sudah dinyatakan lengkap (P-21).

"Ini yang paling aneh, bisa berkas P-21, padahal saat Erlina di-BAP, jawaban dia dari puluhan pertanyaan 'saya akan menjawab jika audit laporan keuangan BPR Agra Dhana dari OJK ditunjukkan'. Sampai saat ini BAP itu tak pernah berubah, tetapi sekarang malah P-21," heran Manuel.

Masih banyak hal lagi yang dia persoalkan dari kasus ini, termasuk soal SPDP yang dikirim setelah kasus berbulan-bulan. Padahal sesuai putusan MK, SPDP dikirim kepada terlapor paling lama 7 hari.

"Putusan MK sudah ada soal SPDP, tetap saja hal itu diabaikan. Kami terima SPDP setelah berbulan-bulan, bukan 7 hari," kata dia, lagi.

Terakhir, lanjut Manuel, dalam perkara itu, pelapor sama sekali tidak pernah menunjukkan alat bukti yang asli, semua yang ada di Polisi saat dia mendampingi kliennya hanya foto kopi.

"Apa bisa foto kopi tanpa ada asli dijadikan alat bukti? Sedangkan lapor ke SPKT aja sudah pakai bukti asli, masa dalam berkas perkara penyidikan pakai foto kopi," tutup dia.

Editor: Surya