KKP Diminta Tingkatkan Pengawasan Aktivitas Pencurian Ikan di Laut Natuna dan Anambas
Oleh : Alfreddy Silalahi
Jum\'at | 09-02-2018 | 15:26 WIB
KIA-Vietnam21.gif
Kapal Ikan Asing (KIA) milik Vietnam yang ditangkap tengah mencuri ikan di perairan Natuna oleh operasi gabungan Badan Keamanan Laut (Bakamla) beberapa waktu lalu (Foto: dok.batamtoday.com)

BATAMTODAY.COM, Anambas - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyarankan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI meningkatkan kerjasama dengan institusi pengawasan laut lainnya untuk mengamankan dan mengawasi aktivitas pencurian ikan oleh kapal asing yang terjadi di Laut Natuna dan Anambas.

Hal ini mengingat Laut Natuna yang merupakan bagian dari laut China Selatan dan merupakan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 memiliki potensi ikan lestari yang cukup besar yaitu mencapai 1,2 juta ton. Selain itu, belum selesainya kesepakatan batas laut Indonesia dengan beberapa negara tetangga di sekitar Laut China Selatan menyebabkan laut ZEE dan Laut Teritorial Indonesia rawan dimasuki kapal ikan asing.

Indonesia perlu mendorong peningkatan kerjasama ASEAN untuk menangani illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing dan mengintensifkan forum bilateral dengan negara-negara di kawasan Laut China Selatan agar penanganan kejahatan sektor perikanan bisa diatasi secara bersama-sama.

Peneliti DFW-Indonesia, Nilmawati mengatakan bahwa walaupun Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim telah berhasil menurunkan aktivitas IUU fishing di Laut Natuna, tapi pada kenyataannya sepanjang tahun 2017, terdapat kurang lebih 94 pelanggaran pidana perikanan oleh kapal ikan asing yang merupakan angka tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Pelanggaran perikanan di laut Natuna masih tinggi sehingga KKP dan aparat penegak hukum lainnya perlu tetap konsisten melakukan patroli di sekitar laut Natuna. Adapun jenis-jenis pelanggaran yang terjadi adalah memasuki laut teritori Indonesia dan ABK asing.Ketidakmampuan nelayan-nelayan lokal memanfaatkan potensi perikanan di perairan ZEE ditambah belum jelasnya batas maritim menjadi pemicu maraknya aktivitas illegal fishing di perairan ini," kata Nilmawati, Jumat (9/2/2018) melalui rilis yang diterima BATAMTODAY.COM.

Sementara itu Koordinator Nasional DFW-Indonesia, Moh Abdi Suhufan menyampaikan bahwa selain potensi IUU fishing, meningkatknya aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan asal Pantura dan Kijang di perairan Natuna dan Anambas berpotensi memicu konflik horizontal dengan nelayan lokal. Kewenangan pengawasan sumberdaya laut yang ditarik dari kabupaten/lkota ke provinsi menyebabkan melemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi pada zona 12 mil laut.

Hal ini terjadi karena minimnya sarana prasarana pendukung seperti kapal patroli, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan minimnya biaya operasional pengawasan. Dalam 6 bulan terakhir nelayan Anambas resah dengan aktvitas nelayan dan kapal ikan asal Tegal, Tanjung Balai Karimun dan Kijang yang menggunakan alat tangkap mini purseine (mayang) dan melakukan penangkapan di zona 12 mil.

"Ada 2 hal sensitif yang kini terjadi di laut Natuna yaitu IUU fishing oleh kapal ikan asing dan aktivitas kapal ikan Indonesia yang melakukan penangkapan di zona 12 mil," kata Abdi.

Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan pengawasan di Laut Natuna melalui kerjasama patroli dengan Angkatan Laut dan Polairud untuk pengawasan di Laut Teritorial untuk mencegah masuknya kapal ikan asing. Selain itu, KKP juga perlu memberikan dukungan teknis dan alokasi anggaran yang mencukupi agar Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau segera memiliki sarana dan prasarana pengawasan untuk menjaga sumberdaya perikanan yang menjadi kewenangan provinsi. Terutama di Laut Anambas .

"Kapasitas pengawasan sumberdaya laut oleh pemerintah provinsi masih sangat lemah sehingga perlu mendapat prioritas untuk ditingkatkan," kata Abdi.

Editor: Yudha