Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengeksploitasi Kemiskinan Saat Pilpres 2019
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 14-09-2018 | 17:16 WIB
ilustrasi-kemiskinan.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi rakyat miskin. (Foto: Ist)

Oleh Amril Jambak

SALAH satu isu yang akan panas dilakukan saat debat ataupun selama kampanye Pilpres 2019 adalah masalah ekonomi mulai dari depresiasi Rupiah, lapangan kerja sampai kepada masalah kemiskinan, sedangkan isu radikalisme, ancaman khilafah dan masalah PKI tidak akan menarik perhatian pemilih terutama pemilih milenial.

Kubu Jokowi-Ma'ruf Amin pasti akan membanggakan keberhasilan "sebagian" pembangunan infrastruktur, klaim pengurangan kemiskinan atas dasar laporan BPS dan fundamental ekonomi yang diklaim kuat atas laporan Kemenkeu dan Bank Indonesia.

Namun pasti kubu oposisi akan mengcounternya dengan untuk apa bangga dengan pembangunan infrastruktur kalau dananya dari hutang yang menyebabkan hutang semakin menggunung dan menjerat generasi milenial. Apa benar fundamental ekonomi menguat jika cadangan devisa hanya mampu membayar kebutuhan impor untuk 6,6 bulan ke depan?

Belum lagi soal kemiskinan yang sudah hampir pasti akan bertambah jika pelemahan rupiah terus terjadi. Lihat saja berbagai aksi unjuk rasa baik pro atau kontra Jokowi dilakukan oleh emak-emak dan usia produktif kerja disaat jam sibuk bekerja artinya mereka adalah pengangguran atau minimal "disguished unemployment".

Belum kalau kita cek lebih lanjut pasti banyak yang mengaku dikasih amplop, tidak tahu maksud unjuk rasa (korban mobilisasi) dan bertugas hanya teriak yel yel baik dalam aksi unjuk rasa yang pro ke Jokowi atau yang pro terhadap Prabowo. Ada kemungkinan, kedua kubu mengeksploitasi kemiskinan baik secara langsung atau tidak langsung.

Soal penciptaan lapangan kerja, juga masih menimbulkan pertanyaan apakah benar jumlah pengangguran semakin menipis ditengah tengah adanya TKA masuk ke Indonesia?

Jadi bagaimana sebaiknya? Di jaman media sosial dan "information edge" saat ini maka mereka yang jujur, tidak korupsi baik diri, keluarga dan inner cyclenya termasuk tidak memanipulasi data dan fakta, sebab pemerintah di zaman now sekarang ini bukan satu satunya pemilik kebenaran.

Dengarkan suara rakyat, jangan intimidasi mereka, jangan dieksploitasi melalui "survei bayaran" dan sering-seringlah melakukan "blusukan".

Menurut penulis, baik Jokowi dan Prabowo adalah orang baik dan pemimpin berkualitas, namun pertanyaannya mereka berani menolak vested interest inner cyclenya jika nantinya terpilih sebagai presiden?

Hal ini penting sebab Jokowi dan Prabowo banyak dikelilingi politisi bukan negarawan, termasuk "kutu loncat". Mereka bisa meruntuhkan kepercayaan publik kepada kedua figur pemimpin nasional tersebut. *

Penulis adalah peneliti di LSISI