Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyurvei Lembaga Survei
Oleh : Redaksi
Sabtu | 30-06-2018 | 11:52 WIB
ilustrasi-survey.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi lembaga survey. (Foto: Ist)

Oleh: Badrul Munir

SALAH satu yang menggairahkan iklim demokrasi di Indonesia, khususnya dalam pemilihan umum (baik pilpes, pileg, maupun pilkada) adalah banyaknya lembaga survei politik yang mengeluarkan hasil penelitiannya (hasil survei) pilihan warga terhadap calon tertentu, baik calon presiden, kepala daerah, maupun pilihan partai politik.

Setiap kali menjelang perhelatan politik kita akan sering mendapatkan hasil survei yang menginformasikan kemungkinan tingkat ketokohan (popularitas) keterpilihan (elektabilitas) calon pemimpin atau partai politik di Indonesia lengkap dengan analisis penelitiannya.

Hasil survei tersebut kemudian di-blow up oleh media massa dan media sosial secara masif, rilis hasil survei sambung-menyambung dari lembaga yang berbeda sehingga banyak lembaga survei yang terkenal di masyarakat. Dan pada hari pencoblosan ada lomba hitung cepat (quick count) antarlembaga survei untuk menentukan siapa pemenang dari perhelatan demokrasi tersebut.

Permasalahannya adalah manakala kita mendapatkan hasil yang survei dilakukan sebelumnya ternyata tidak sama dengan hasil pilihan rakyat hasil pemungutan suara, baik tidak sama urutan keterpilihannya dan/atau ketepatan persentase suara yang didapat. Hal ini sering kita dapatkan dan sangat mencederai tingkat kepercayaan terhadap lembaga survei tersebut,

Sebagai contoh nyata saat Pilpres 2014, ada dua kubu yang sebagian memenangkan Jokowi-JK, tetapi sebagian memenangkan Probowo-Hatta Rajasa. Contoh berikutnya hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 yang hampir semuanya memenangkan Ahok-Djarot. Dan terbaru Pilkada Jawa Barat 2018 yang hampir semua lembaga survei salah menentukan urutan keterpilihan peringkat dua dan tiga serta persentase keterpilihan calon urutan ketiga yang sangat berbeda dari beberapa survei sebelumnya.

Proses Ilmiah

Sesungguhnya survei menjelang pilkada, pileg, dan pilpres seperti ini merupakan sebuah proses ilmiah. Hal ini sangat dimaklumi karena kebenaran yang bisa diterima akal sehat adalah kebenaran ilmiah. Dan kebenaran ilmiah sangat ditentukan oleh tiga komponen utama, yakni peneliti, metode penelitian (survei), dan wahana publikasi ilmiah.

Peneliti merupakan orang yang mendesain dan menentukan dari tujuan penelitian. Mereka meneliti berdasarkan kajian ilmiah tentang beberapa hal yang perlu diteliti dengan tujuan untuk membuktikan hipotesis yang diteliti. Seorang peneliti harus mempunyai integritas ilmiah, artinya sebuah penelitian murni untuk memajukan ilmu pengetahuan. Hal lain penelitian harus mencakup lima komponen utama modal penelitian, yakni visiable (bisa diteliti), interesting (menarik), novel (menjanjikan keterbaharuan), ethic (harus sesuai dengan etika), dan rasional (masuk akal).

Komponen yang kedua adalah metode penelitian. Metode ini mencakup desain penelitian, lokasi, pemilihan sampel dan jumlah sampel, parameter penelitian, analisis statistika dan alat dan orang yang mengukur, serta lainnya. Metode penelitian merupakan komponen utama sebuah penelitian, keberhasilan penelitian sangat ditentukan oleh komponen ini. Di sinilah tim peneliti dituntut benar-benar mengontrol jalannya penelitian karena salah dalam hal menentukan salah satu komponen di metode penelitian maka hasil penelitian akan bias.

Komponen ketiga media publikasi. Sebuah penelitian membutuhkan publikasi ilmiah untuk menginformasikan hasil penelitiannya kepada masyarakat. Beberapa jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional, menjadi wahana publikasinya. Jurnal tersebut juga mempunyai derajat kepercayaan ilmiah yang berbeda hal ini dilihat dari indeks jurnal ataupun tingkat terakreditasi jurnal tersebut.

Sebuah hasil penelitian akan dilakukan uji kritis oleh pemilik jurnal, apakah layak masuk dan dipublikasikan. Artinya, tidak semua hasil penelitian bisa dipublikasikan. Hanya penelitian yang baik dan bermutu yang berhak dibaca oleh masyarakat di media publikasi tersebut.

Telaah kritis survei politik

Survei politik sebelum perhelatan demokrasi bila dilihat dari peneliti proses dan metode, survei ini bisa dikategorikan sebagai kegiatan ilmiah. Namun, ada beberapa hal yang menjadi telaah kritis dari beberapa lembaga survei di Indonesia. Pertama, integritas peneliti, sesungguhnya kita tidak menyangsikan integritas keilmuan para peneliti survei tersebut.

Mereka adalah para ahli yang bergelar S3 lulusan dari perguruan tinggi ternama di seluruh penjuru dunia. Namun, banyak fakta bahwa para lembaga survei bekerja sebagai konsultan politik sebuah partai politik atau calon konstestan tertentu. Dan ada oknum yang menurunkan kualitas keilmuan karena sumbangan dana tersebut.

Menjadi konsultan politik dan mendapatkan dana sesungguhnya bukan merupakan sebuah kesalahan ilmiah. Namun, harus dijelaskan secara terbuka ke publik dan biarlah masyarakat yang menilai sendiri karena sesungguhnya yang dinilai adalah kebenaran ilmiah dari survei tersebut. Hal ini juga sering kita dapatkan publikasi penelitian di jurnal dalam bentuk pengakuan bahwa penelitian ini didanai oleh lembaga tertentu, tapi hasilnya tetap dipercaya sebagai temuan yang sangat berharga.

Hal ini juga berkaitan erat dengan integritas peneliti di mana mereka harus benar-benar jujur secara ilmiah bahwa survei ini adalah penelitian ilmiah dengan mencari kebenaran ilmiah. Bukan menyenangkan kelompok yang membiayainya dengan mengubah data dan hasil penelitian, baik secara radikal maupun secara terselubung agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Karena bilamana ada motivasi tersebut, sesungguhnya telah terjadi pelacuran ilmiah yang sangat tidak pantas dilakukan.

Survei juga harus memublikasikan metode penelitian secara lengkap ke masyarakat. Bukan hanya jumlah waktu dan tempat pengambilan sampel, melainkan juga harus dijelaskan siapa yang mengambil sampel dan parameter apa yang digunakan harus baku. Hal ini agar hasilnya benar-benar valid secara ilmiah.

Kritisi lain adalah media publikasi survei, ini yang menjadi dilematis. Pada umumnya, baik di dalam maupun di luar negeri, hasil sebuah survei tentang keterpilihan partai politik atau presiden langsung disebar ke masyarakat melalui media massa tanpa ada sebuah telaah kritis masyarakat sudah memberi kepercayaan penuh kepada lembaga survei tersebut. Hal ini berbeda dengan publikasi ilmiah harus di-review secara ketat dan objektif oleh jurnal ternama sehingga hasilnya relatif lebih valid.

Maka sesungguhnya, banyak manfaat dari lembaga survei politik yang dilakukan saat pesta demokrasi, tapi akan lebih baik bilamana semua lembaga survei meningkatkan integritas dan keterbukaan sehingga hasil survei tersebut benar-benar positif bagi kemajuan demokrasi kita. Bukan sebagai alat propaganda untuk kepentingan partai poltik tertentu dengan menggadaikan keilmuan dan hati nurani.

Ke depan, mungkin diperlukan standardisasi lembaga survei politik agar kita tidak perlu lagi menyurvei lembaga survei dan tujuan mulia tidak ternoda oleh oknum yang menjual integritas dan keilmiahan diri yang pada akhirnya, meruntuhkan kepercayaan terhadap sebuah lembaga survei. Dengan demikian, manfaat lembaga survei bisa terjaga dan memberi kontribusi positif bagi demokrasi kita.*

Penulis adalah Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang