Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wacana Transformasi FTZ Batam Menjadi KEK

Siapa Konseptor Surat Gubernur untuk Presiden?
Oleh : Saibansah
Rabu | 09-05-2018 | 18:04 WIB
ampuan-situmeang.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Pakar hukum Ampuan Situmeang saat berbincang dengan BATAMTODAY.COM. (Foto: Ist)

ADA yang menggelitik dari surat Gubernur Kepri Nurdin Basirun kepada Presiden Jokowi. Isinya, usulan menunjuk Wali Kota Batam jadi ex officio Kepala BP Batam. Siapa yang mengonsep surat itu? Berikut catatan perbincangan wartawan BATAMTODAY.COM Saibansah dan GM BATAMTODAY.COM, Frans Nainggolan dengan Peneliti/Praktisi Hukum di Batam, Ampuan Situmeang.

Dengan dalih percepatan transformasi Free Trade Zone (FTZ) ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Gubernur Kepri Nurdin Basirun bersurat kepada Presiden Jokowi, pekan lalu.

Salah satu poin surat itu adalah mengusulkan agar Wali Kota Batam ditunjuk menjadi ex officio Kepala Badan Pengusahan (BP) Batam. Jika surat sang Gubernur itu mulus-lus, praktis jadilah H. Muhammad Rudi menjadi Wali Kota Batam sekaligus pengendali BP Batam.

Tapi adakah dasar hukumnya? Itu salah satu poin yang mencuat dalam pembicaraan santai dengan ditemani kopi itu.

Sedangkan untuk memberlakukan KEK di Batam, tidak ada dasar hukumnya. Apa landasan KEK yang ada di Batam, kecuali statemen baru statemen Menko Perekonomian Darmin Nasution? Yaitu, akan mentransformasikan FTZ menjadi KEK. Karena ini transformasi, lalu ditetapkanlah titik-titik tertentu sebagai KEK. Di antaranya Tanjung Sauh.

Statement sang Menko Perekonomian itu tak lebih dari kegegabahannya menerjemankan amanat Prisiden Jokowi. Amanat Presiden untuk Batam itu adalah, hilangkan dualisme kewenangan, hapuskan tumpang tindih pengelolaan lahan. Lalu, amanat inilah yang diterjemahkan Darmin Nasution dengan mentranformasi FTZ menjadi KEK.

Padahal, dari segi yuridis, tak ada dasarnya Batam itu dibuat enclave atau KEK. Kalau bicara logika hukum. Tapi kalau bicara kekuasaan dan kewenangan, itu lain soal.

Karena Undang-Undang No. 39 tahun 2009 tentang KEK pasal 45 dalam aturan peralihan, disebutkan, kalau sudah diterapkan KEK, maka FTZ dihapus, otomatis. Meskipun, pasal itu tidak mengatur secara jelas, apakah daerah di luar wilayah yang telah ditetapkan KEK, masih berlaku FTZ atau tidak.

Atas dasar itulah, maka yang menarik untuk dicari tahu adalah, siapa yang mengonsep surat Gubernur Kepri ke Presiden itu? Siapa konseptornya? Karena, kalau dilihat dari bahasanya, tidak mirip bahasa birokrat, tapi bahasa yang jamak digunakan di kalangan swasta. Ada apa ini?

Sekali lagi, KEK dan FTZ itu rezim undang-undangnya berbeda. Kalau KEK yang mengajukan dan yang menikmati fasilitasnya adalah pengusaha, karena itu harus dievaluasi setiap dua tahun. Sedangkan FTZ yang diberi fasilitas itu adalah kawasannya dan dievaluasi setiap 70 tahun. Itu undang-undang!

Salah-salah, orang-orang yang terlibat dalam proses tranformasi ini akan diperiksa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) semua. Karena ini kan menyangkut anggaran dan pembiayaan. Wong BP Batam saja sudah mau diperiksa KPK, apalagi nanti dengan adanya anggaran ex-officio.

Maka, akan lebih baik jika KPK dilibatkan dalam proses transformasi ini. Biar lebih save dan terkendali. Karena wacana ini ada indikasi sarat berbagai kepentingan.

Terakhir, kita tidak sedang berada pada posisi setuju dan tidak setuju, tapi wajar dong kalau kita bertanya. Boleh dong?

Editor: Dardani