Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kebijakan Impor Beras dari Vietnam dan Thailand

Jokowi Gagal Berantas Mafia Beras dan Kendalikan Gejolak Harga
Oleh : Irawan
Minggu | 14-01-2018 | 08:00 WIB
fahri_hamzah_dpr13.gif Honda-Batam

PKP Developer

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI bidang Kesra Fahri Hamzah menilai kebijakan Menteri Perdagangan Enggartisto Lukito mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand, serta kenaikan harga beras pada awal Januari ini, telah menjadi awal buruk bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) Jusuf Kalla (JK) di tahun politik ini.

Apalagi, lanjut Fahri, belum hilang dalam ingatan publik kalau pemerintahan Jokowi-JK berjanji tidak akan terjadi gejolak harga dan impor beras.

"Tapi, mana janjinya sekarang? Selama ini kita dininabobokan dengan keberadaan data perberasan. Sampai-sampai pemerintah selalu mengklaim stok beras cukup untuk beberapa bulan ke depan, namun faktanya harga beras naik. Siapa yang mau ambil tanggung jawab?" kata Fahri lewat akun Twitter-nya @Fahrihamzah yang dipost-nya, Sabtu (13/1/2018).

Sekarang, lanjut Fahri, semuanya baru menyadari bahwa ada data yang tidak sinkron dengan kenyataan. Mestinya, pemerintah harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kenaikan harga beras awal Januari tahun 2018 ini, bukan semata karena faktor supply dan demand atau faktor cuaca, tapi mal praktik kebijakan.

"Katanya ada mafia impor, tapi kok mafia lagi? Mafia impor katanya sudah dihabisi. Kok ada lagi? Kasihan petani. Inikah catatan kenaikan?" ucap politisi dari PKS ini sambil manegaskan bahwa klaim swasembada dan sukses kelola pangan sudah selesai.

Menurut Fahri, jika memang produksi beras tidak mencukupi, harus diakui. Lalu evaluasi dan perbaiki faktor-faktor produksi beras yang selama ini terabaikan. Sebab, dalam teori-faktor produksi, output beras nasional sangat ditentukan oleh faktor modal (lahan), tenaga kerja, teknologi.

"Hal ini untuk melakukan penetrasi pasar cepat dan membangun loyalitas dan kepercayaan konsumen. Sehingga kedua kebijakan tersebut diharapkan mampu mengontrol pasokan dan harga. Untuk merealisaikannya butuh koordinasi yang kuat antara Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan," katanya sambil menambahkan, harusnya pemerintah hadir memberi insentif, subsidi ditambah, bukan cuma otak atik subsidi saja dengan dalih tak tepat sasaran dan lain-lain.

Terkait rencana Pemerintah melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam, Fahri justru mempertanyakan apakah dengan impor, harga beras akan turun seketika. Justru yang ia khawatir, jika kebijakan tersebut akan menimbulkan panic buying seperti operasi pasar yang besar maupun kebijakan impor.

"Atau ada pesanan? Padahal pemerintah juga sudah membentuk Satgas Pangan. Ke mana mereka? Kenapa kebijakan seperti ini berulang sepanjang masa, menjelang pemilu? Jika masalah di sisi distribusi, yang mengakibatkan cadangan beras kita tidak cukup, Bulog juga harus dievaluasi. Tugas Bulog adalah menyerap beras hasil petani, tugas ini lebih kompleks dibanding impor," tegasnya.

Bukan itu saja, Fahri juga meminta kepada pihak-pihak yang tidak menjalankan tupoksinya dalam mengamankan produksi beras, salah menata distribusi beras dan salah menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), mesti bertangguangjawab.

Kurang berperannya HET dalam mengontrol harga dan menjamin pasokan, juga harus dievaluasi, di mana titik lemahnya juga secara komprehensif terhadap pelaksanaanya.

"Termasuk ditegakkannya punishment pada pihak yang menerapkan kebijakan HET. Karena ini terkait urusan perut seluruh rakyat. Dan, kejadian ini menjadi momentum bagi DPR dan Pemerintah untuk menata kembali kebijakan yang harus diakui keliru. Karena ada nasib jutaan petani, nasib pangan utama seluruh rakyat yang dipertaruhkan," ujarnya.

Di negara Indonesia yang basis ekonominya jelas berideologi kerakyatan ini, pemerintah tidak usah sok-sokan liberal dengan mengutak atik dan mencabut subsidi untuk petani. "Petani harus diberdayakan. Petani harus dimodernisasi alat-alat produksinya," kata anggota DPR dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Editor: Surya