Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PWI Menantang Zaman
Oleh : Redaksi
Kamis | 28-12-2017 | 17:38 WIB
hendro1.jpg Honda-Batam
Hendro Basuki saat menyampaikan sambutannya pada Uji Kompetensi Wartawan di Mamuju Sulawesi Barat. (Foto: Ist)

Oleh Hendro Basuki

PERSATUAN Wartawan Indonesia (PWI) sebentar lagi bakal berusia ke-72, hingga perjalanan jauh sudah ditempuh, kini di hadapkan harus masuk jalan baru yang penuh tantangan untuk dilalui. Jalan baru itu hadir di depan mata sebagai akibat terjadinya perubahan besar dalam masyarakat media komunikasi. Tatanan mapan berubah tak beraturan, dan tatanan baru sedang mencari bentuk. Zaman telah berubah serta butuh cara baru untuk mendekatinya.

Sebagai organisasi profesi, PWI juga sedang dan segera menghadapi zaman yang berubah itu. Perilaku masyarakat telah berubah akibat pergerakan teknologi komunikasi yang begitu cepat. Kinerja wartawan juga telah berubah cepat mengikuti pertumbuhan teknologi itu . Media tidak lagi mengenal 'deadline', kecuali media konvensional seperti media cetak.

Perilaku profesional wartawan juga berubah.Sulit untuk dikatakan, semakin maju, atau semakin mundur. Kesempurnaan berita untuk bisa disebut 'fit to print', tanpa sengaja berubah menjadi pokoknya cepat siar. Bahkan kecepatan seringkali mengabaikan kesempurnaan, hingga cara kerja baru menuntut akselerasi, pengetahuan dan ketrampilan lebih tinggi. Lalu, siapa yang paling bertanggungjawab dalam soal ini?. Selain para individu wartawan, perusahaan media dan tentunya adalah organisasi profesi di mana mereka bernaung.

Tantangan

Perubahan-perubahan besar dalam industri media, pola komunikasi dan perilaku wartawan mau tidak mau harus menjadi concern PWI saat ini dan seterusnya ke depan . Jika tidak, dipastikan eksistensi PWI akan digerus zaman tanpa ampun.

Bagi saya, tantangan PWI yang harus dihadapi ada dua masalah besar, yakni masalah internal dan eksternal. Masalah itu nyata dan tidak mungkin dihindari.

Masalah internal: Pertama, Bagaimana meningkatkan kapasitas profesional anggota organisasi. Kedua, Bagaimana meningkatkan kapasitas organisasi. Ketiga, Bagaimana mendesign organisasi yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Keempat, Bagaimana organisasi ini menghidupi kelangsungan aktivitasnya, terutama dalam hal kemandirian financial.

Masalah yang pertama: Peningkatan kapasitas profesional telah ditemukan jalan lewat Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) . Bahkan mungkin sertifikasi kompetensi untuk spesialisasi di bidang tertentu, misalnya bidang ekonomi, olahraga, hukum dan lainnya .

Sertifikasi kompetensi bagi wartawan saat ini hanya masih bersifat umum dan ke depan setidaknya perlu ditingkatkan lagi kualifikasinya. Dengan demikian, akan mengandung konsekuensi perlu dibenahi kelembagaan peningkatan kualifikasi asesor. Peningkatan mutu asesor tak pelak menjadi hal yang paling dulu dilakukan.

Masalah kedua: Peningkatan kapasitas organisasi bisa ditempuh dengan jalan memperbaiki sistem dan struktur organisasi PWI di berbagai tingkatan. Tidak perlu terlalu gemuk, tetapi efektif dan efisien dalam melawan tantangan zaman. Mungkin diperlukan juga pembentukan Ketua Bidang Kerja Sama. Bidang inilah yang bertanggungjawab terhadap pengembangan kemitraan.

Masalah ketiga: Design organisasi bisa ditempuh dengan jalan membentuk bidang-bidang baru sesuai dengan perkembangan industri media.Konsekuensi dari konvergensi media menuntut kita kreatif dan inovatif membentuk kelembagaan baru. Bidang baru ini misalnya mendesign tentang bagaimana 'menciptakan' sebuah lembaga yang mampu mencetak wartawan multi tasking.

Masalah keempat : Kemandirian finansial harus menjadi perhatian serius. Soal ini pernah disampaikan Dewan Penasehat PWI Pusat Sdr Margiono saat terpilih untuk kali kedua kalinya menjadi Ketua Umum PWI Pusat dalam Kongres PWI di Banjarmasin pada 2013. Amanatnya adalah membentuk dana abadi. Kemandirian financial ini sangat penting bukan hanya untuk membiayai berjalannya roda organisasi, tetapi untuk kewibawaan PWI agar tidak mengandalkan bantuan dari pihak lain. Meminta bantuan secara rutin kepada para pihak, akan menurunkan derajat kita sebagai salah satu profesi yang ikut mengawal semangat anti KKN.

Masalah Eksternal

Masalah eksternal ini titik beratnya lebih pada bagaimana menjaga kewibawaan PWI dalam berelasi dengan para stakeholder. Kewibawaan sebagai organisasi profesi wartawan mesti kita jaga secara terhormat, untuk bisa menimbulkan efek penggetar terhadap organisasi profesi wartawan yang lain.

Efek penggetar ini tanpa sengaja telah dimiliki PWI sejak lama dengan hadirnya para tokoh hebat seperti BM Diah, Rosihan Anwar, Mahbub Djunaedi, Harmoko dan lainnya. Dengan pesona pribadi dan ditopang organisasi sebesar PWI, mendorong para tokoh itu memiliki kredibilitas dan martabat profesi yang tinggi.

Reputasi mereka dicatat oleh zaman dengan tinta emas. Berelasi dengan pihak luar seperti Dewan Pers, organisasi profesi lain, sekaligus juga kekuasaan sangat membutuhkan tokoh yang berwibawa, disegani agar mampu duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Jika pun harus berdebat, memiliki amunisi pengetahuan dan wawasan yang cukup.

Karena, setiap Ketua Umum organisasi akan membawa kapal besar dengan penuh penumpang ribuan orang. Mudahnya adalah, jika ia duduk bersama Presiden, maka kapasitasnya cukup untuk berdialog dengan Presiden. Jika harus duduk satu meja dengan pejabat Menteri, maka pengetahuannya tidak berada di level di bawahnya.

Disamping memiliki kekuatan dalam human relations. Menjaga relasi dengan kekuasaan ini sangat penting untuk keberlangsungan organisasi. Meski terhadap kekuasaan PWI tetap harus berjarak, namun fakta sejarah membuktikan, tak pernah head to head. Bahkan fakta hari ini operasional PWI provinsi juga memperlihatkan kenyataan itu.

Belum lagi harus berelasi dengan organisasi wartawan lintas negara, baik organisasi wartawan ASEAN, Korea Selatan, Jepang, maupun lainnya. Masalah-masalah internal organisasi PWI sudah banyak yang memikirkan, baik lewat mekanisme rapat kerja, masukan dari PWI di berbagai level baik Kabupaten, Provinsi, maupun Pusat. Tidak terlalu sulit untuk diselesaikan oleh masing-masing ketua bidang, sekjen, ketua komisi dan lainnya.

Tetapi, masalah yang berkaitan dalam relasi dengan para pihak eksternal tentu membutuhkan figur Ketua Umum yang benar-benar kapasitas profesionalnya tak diragukan dan memiliki kemampuan dalam menciptakan efek penggetar.

Efek penggetar itu bisa merupakan gabungan antara performance diri, kemampuan leadership, personality, kemampuan berbahasa dan kemampuan lobi. Nah, persyaratan ini sayangnya tidak bisa diwakilkan. Justru kemampuan ini jika dipadu dengan kekuatan PWI yang sudah sedemikian besar akan banyak berpengaruh terhadap kewibawaan organisasi.

Setiap anggota PWI akan bangga manakala ketuanya memiliki kemampuan yang baik, tutur kata yang terstruktur baik, berkemampuan bahasa asing dengan elegan, dan memiliki leadership yang teruji. Syarat ini penting, karena ketua bukan hanya mengurus rapat-rapat internal, tetapi harus berelasi dengan pihak luar. Setiap pernyataan yang keluar dari ketua, haruslah 'layak kutip' sehingga citra organisasi akan terjaga.

Menaruh Harapan

Jika menelaah dengan jernih persoalan internal PWI, dan persoalan berkonteks relasi dengan para pihak di luar itu, maka tantangan organisasi sangatlah besar. Tantangan besar, hanya bisa diselesaikan oleh figur-figur kompeten dan teruji, dengan sistem organisasi yang kuat pula.

PWI harus benar-benar mampu memilih satu di antara ribuan anggotanya yang memenuhi syarat sebagai penantang zaman. Apakah figur yang saya maksud itu dimiliki ada dalam tubuh PWI. Saya meyakininya banyak. Yang perlu dilakukan adalah kejernihan pikir dan hati nurani untuk memilihnya.

Salah dalam memilih, kita akan membutuhkan waktu yang lama untuk menggantinya secara konstitusional. Sementara, perubahan dalam industri media berlangsung amat cepat. Tantangan yang berat seperti itu, akan dijawab oleh Ketua Umum yang seperti apa?. Inilah yang perlu kita renungkan, di saat masih memiliki waktu panjang.

Penulis adalah Ketua Komisi Pendidikan PWI Pusat, penerima The Press Card Number One.