Putusan MK soal UU Pemilu Dinilai sebagai Kemunduran Demokrasi
Oleh : Irawan
Sabtu | 13-01-2018 | 08:14 WIB
fadi_zon4.gif
Plt Ketua DPR Fadli Zon

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi Pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dinilai sebagai kemunduran demokrasi. MK menyatakan menolak uji materi soal ambang batas pemilihan presiden demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial dan penyederhanaan partai politik.

Plt Ketua DPR RI Fadli Zon mengaku, tidak bisa memahami nalar putusan MK. Di satu sisi MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 173 Ayat (1) dan (3) UU Pemilu, bahwa partai lama peserta Pemilu 2014 juga harus tetap menjalani verifikasi faktual, dengan argumen kesetaran dan untuk menghindari diskriminasi terhadap partai baru. Namun, di sisi lain, MK justru menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 222. Padahal jelas-jelas pasal tersebut akan mendiskriminasi partai baru dalam proses pencalonan kandidat presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 nanti.

''Bagaimana MK menjelaskan kontradiksi argumen semacam itu?,'' ujar Fadli, Jumat (12/1/208).

Dia berpendapat, sebagai penjaga konstitusi, MK seharusnya bisa menerjemahkan spirit konstitusi secara koheren, konsisten, dan komprehensif. Tapi dalam kasus uji materi terhadap UU Pemilu kemarin, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini tidak melihat koherensi tersebut. Dalam pertimbangannya, misalnya, MK menilai 'presidential threshold' relevan untuk memperkuat sistem presidensial.

''Padahal jelas-jelas aturan tentang 'presidential threshold' itu sangat bias sistem parlementer. Di mana relevansinya? Itu kan kontradiktif. MK menjadi seolah ahli politik,'' tegas Fadli.

Dia menduga, putusan ini hanya menghasilkan 'setback' dalam praktik berdemokrasi. Sebab, jika ditengok lagi ke belakang, alasan melakukan amandemen UUD 1945 salah satunya adalah untuk memurnikan sistem presidensial. Itu sebabnya, UUD hasil amandemen mendesain agar pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) dihelat secara serentak.

Fadli berpendapat, dalam tiga pemilu lalu, desain untuk memperkuat sistem presidensial ini telah dicederai oleh undang-undang Pemilu lama yang selalu menempatkan perhelatan Pilpres digelar sesudah hajatan Pileg. Akibatnya, Pilpres jadi seperti politik dagang sapi. Apalagi, ada ketentuan tentang 'presidential threshold' yang secara tidak langsung sebenarnya tengah mencangkokkan sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.

''Untung kemudian ada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, yang dibacakan pada 21 Januari 2014. Pada waktu itu MK mengabulkan gugatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Adanya putusan itu telah mengoreksi praktik yang tak sesuai dengan desain konstitusi tersebut,'' kata Fadli.

Sayangnya, lanjut Fadli, dengan keputusan terbaru yang dibuat MK kemarin, yang menolak uji materi terhadap Pasal 222 UU No. 7/2017, secara ironis langkah maju itu kini akan mundur kembali. Demokrasi yang seharusnya bisa membuka ruang bagi setiap orang yang ingin maju dalam Pilpres, dan memberi kebebasan partai politik untuk mengajukan calon terbaik versinya masing-masing, kini kembali ditutup.

''Saya setuju dengan dua hakim yang mengajukan 'dissenting opinion' kemarin. Putusan MK itu bisa membuka peluang terjadinya penguatan pemerintahan otoriter,'' katanya

Fadlli beralasan, dengan menjadikan 'presidential threshold' sebagai argumen bagi penguatan sistem presidensial dengan tafsir bahwa sistem presidensial yang benar adalah jika presiden dan parlemen dikuasai oleh partai atau kelompok yang sama.

''Tafsir semacam ini berbahaya bagi demokrasi dan tata pemerintahan,'' katanya.

Editor: Surya