Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

SK 463 Dinilai Maladministrasi atau Penyimpangan Prosedur dalam Pelayanan Publik

Ombudsman Rekomendasikan Siti Nurbaya Terbitkan SK Baru yang Tak Hambat Investasi di Batam
Oleh : Surya
Jum'at | 09-01-2015 | 18:16 WIB
Ombusman1.jpg Honda-Batam
Ketua Ombudsman RI Danang Girindrawardana saat menyampaikan Rekomendasi dan kajian tentang SK 463

BATAMTODAY.COM, Jakarta- Ombudsman Republik Indonesia, Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, menilai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor: 463/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Kepulauan Riau (Kepri), yang terbit di era Menhut Zulkifli Hasan, merupakan bentuk penyimpangan prosedur pelayanan publik atau maladministrasi.


SK Menhut No. 463 yang telah direvisi menjadi SK 867 itu, telah menimbulkan pemanfaatan kawasan hutan di Kepri dan Batam yang tak sesuai peruntukannya tersebut harus dicabut dan diganti SK yang baru.

Ombudsman merekomendasikan agar Kementerian Kehutanan, yang kini nomenklaturnya berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bawah pimpinan Siti Nurbaya Bakar, dalam waktu 60 hari harus menerbitkan SK baru tentang Kawasan Hutan di Kepri agar tidak menghambat pelayanan dunia usaha, khususnya perijinan investasi di Batam.

Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana, saat membacakan paparan rekomendasinya di Jakarta, Jumat (9/1/2015), mengatakan SK Menhut 463 yang dikeluarkan pada era Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan itu dianggap menghambat pelayanan dunia usaha khususnya perizinan investasi di Batam.

"Menteri Kehutanan telah melakukan maladministrasi dalam penerbitan SK Menhut No. 463/Menhut-II/2013 berupa penyimpangan prosedur dalam bentuk mengabaikan Perpres 87/2011 dan tidak mendasarkan keputusannya pada hasil Tim Terpadu sesuai ketentuan PP 10/2010," kata Danang Girindrawardana di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Akibat SK Kemenhut itu, proses penyelenggaraan pelayanan publik di Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau disebut menjadi terhambat karena terjadi ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan.

"Atas penerbitan SK tersebut, proses penyelenggaraan pelayanan publik di Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau menjadi terhenti. Belum lagi terhentinya layanan administrasi pertanahan oleh BPN untuk lahan yang terletak di area yang terindikasi hutan karena ketidakjelasan peta lampiran SK tersebut," jelasnya.

Menurut Danang, akibat SK itu muncul ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha, khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan. "Sekaligus melemahkan citra positif Indonesia, khususnya wilayah BBK, sebagai daerah tujuan investasi," ujarnya.

Zulkifli Hassan selaku Menhut saat itu, katanya, berdasar kajian Ombudsman dianggap mengeluarkan SK yang tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) . Selain itu SK tersebut juga tidak memperhatikan Perpres No 87 Tahun 2011 yang mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan BBK.

"Dalam Perpres tersebut telah ditetapkan bahwa kawasan Tanjunguncang, Tanjunggudap, Batuampar, Telaga Punggur dan Sekupang sebagai kawasan industri. Namun dalam SK Menhut No.463/Menhut II/2013 kawasan-kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan,"  katanya.

Selain itu SK No.463 Menhut juga tidak memperhatikan kondisi eksisting dengan menetapkan kawasan Batam Center dan Batuaji sebagai areal hutan.

"Padahal di lokasi tersebut telah berdiri kantor pemerintahan dan sudah puluhan tahun dibangun di kawasan Batam Center dan ribuan rumah penduduk sudah terbangun di Batuaji," lanjut Danang.

Danang menegaskan, terbitnya SK ini membuat kondisi sosial di Batam menjadi tidak kondusif. Sebab SK Menhut membuat sekitar 22 ribu rumah dan 49 galangan kapal di Batam tiba-tiba berada di lokasi hutan alias ilegal.

"Padahal rumah-rumah penduduk dan galangan kapal tersebut sebelumnya telah mendapatkan izin resmi dari pemerintah," katanya.

Akibatnya, investor yang sudah memenuhi syarat perizinan dan telah memenuhi kewajiban membayar pajak malah terancam kehilangan haknya karena perubahan penetapan lokasi menjadi kawasan hutan.

Atas dasar itu, Ombudsman RI melakukan kajian sistemik terkait persoalan tersebut dan mendapati berbagai temuan maladministrasi yang kemudian dituangkan dalam Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia.

"Karena itu Ombudsman merekomendasikan agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (Siti Nurbaya Bakar, red) menerbitkan SK baru untuk menetapkan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan di Kepulauan Riau berdasarkan hasil penelitian Tim Terpadu," katanya.

Danang mengingatkan, sesuai ketentuan Pasal 38 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, menegaskan rekomendasi yang dikeluarkan wajib dilaksanakan.

"Dan melaporkan pelaksanaannya dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi ini," Danang Girindrawardana.

 Editor: Surya