Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Masa Depan Program Transmigrasi
Oleh : Opini
Jum'at | 14-11-2014 | 09:47 WIB

Oleh Alexa Christina Andreawaty

TRANSMIGRASI adalah perpindahan penduduk dan provinsi atau pulau yang padat penduduknya ke provinsi atau pulau yang jarang penduduknya dalam satu wilayah negara. Transmigrasi merupakan jenis migrasi yang hanya berlangsung di Indonesia, dan  merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan kependudukan nasional.

Transmigrasi merupakan program pemerintah yang berupaya melakukan pemerataan penduduk dengan cara memindahkan penduduk di daerah-daerah padat ke daerah-daerah yang jarang penduduknya. Penduduk yang sering menjadi sasaran transmigrasi adalah yang bermukim di pulau Jawa dipindahkan ke daerah tujuan transmigrasi seperti Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi serta Papua.

Sepekan setelah dilantik  Presiden Jokowi,  Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, H. Marwan Ja'far mengatakan  pemerintah akan membuka program transmigrasi, mengantar warga dari daerah padat penduduk seperti Pulau Jawa ke daerah yang penduduknya masih jarang, termasuk Papua.

Pihaknya akan melakukan langkah-langkah sosialisasi dan bekerja sama dengan pihak TNI dan Polri demi menjamin keamanan, sehingga warga transmigran merasa nyaman di daerah transmigrasi. Rencana pemeritah pusat ini sontak melahirkan kekuatiran di tanah Papua. Orang Papua menilai, program ini jika dilakukan di tanah Papua, maka warga lokal akan makin tersingkir dan potensial melahirkan konflik pada masa depan.

Beberapa wakil Papua, diantaranya Yermias Degei, Ruth Ogetai didampingi Ketua Yayasan Pantau, Imam Shofwan dan difasilitasi Politisi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari bertemu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia di kantornya. Dalam pertemuan itu Wakil Papua menyampaikan sejumlah pertimbangan rasional secara lisan dan tertulis terkait rencana tersebut. Intinya mereka menolak program transmigrasi dari Jawa ke tanah Papua.

Rencana kerja Marwan Ja’far tersebut, selain mendapat penolakan dari masyarakat adat Papua serta pemerintah daerah Papua, juga mendapat penolakan dari tokoh nasional non Papua. Direktur Lembaga Kajian dan Aksi Kebangsaan, Viktus Murin meminta  pemerintah tidak menggunakan pendekatan kekuasaan yang bertendensi ekspansif terhadap Papua, termasuk menerapkan program transmigrasi mengingat isu Papua sudah terlanjur menjadi isu yang amat sensitif dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. 

Sedangkan Ketua  Sinode Gereja Kristen Injili Papua, Pedeta Albert Yoku mengatakan menolak program transmigasi dan pemekaran wilayah Papua. Sementara itu Rina Tabuni, salah satu relawan Jokowi-JK mengatakan  selama ini pemerintah pusat belum dapat menyejahterakan Masyarakat Papua, terlebih khusus orang asli Papua (OAP). Menurut Rina, transmigran ini akan berdampak buruk bagi OAP, sehingga dengan sangat tegas, pihaknya menolak transmigran datang ke Papua dan akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Penolakan juga datang dari Gubernur Papua, Lukas Enembe yang menilai program transmigrasi akan berdampak bagi masyarakat khususnya OAP.

Mereka akan semakin tersisih dan menjadi kaum minorias di tanahnya sendiri. Akibatnya timbul kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik antara masyarakat asli Papua dengan pendatang. Sementara  itu,  mantan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Tenggara, La Ode Ida juga menolak rencana program transmigrai ke Papua.

Alasannya, pertama  bila warga daera lain datang secara sukarela penduduk asli cenderung terpinggirkan oleh warga pendatang. Kedua transmigran akan mengamcam masa depan generasi penduduk asli. Dan ketiga, sescara sosial politik, program transmigrasi dianggap sebagai bagian dari perluasan kekuasaan Jawa terhadap  ekonomi, bidaya dan politik di luar Jawa.  

Untuk mengantisipasi penolakan program transmigran oleh daearh di luar Jawa, Laode meminta pemerintah harus melakukan dua hal. Pertama, program transmigrasi di Indonesia Timur harus diganti dengan program resetlement atau penataan wilayah dengan menempatkan warga lokal untuk mengembangkan potensi sumber daya alamnya sendiri.

Dengan demikian  bukan untuk mengirim warga Jawa ke luar Jawa, melainkan untuk me-restle penduduk lokal di setiap daerah di Indonesia. Kedua, pemerintah harus kembali menggalakkan program keluarga berencana, sehingga tidak lagi terjadi lonjakan penduduk seperti dalam beberapa tahun terakhir. 

Selain adanya penolakan dari berbagai elemen masyarakat diatas, jauh hari sebelumnya pemerintah daerah juga  telah mengantisipasi  masuknya transmigrasi dengan menyatakan kedepan tidak ada lagi program transmigrasi daerah lain di Indonesia ke wilayah Papua. Sendius Wonda, Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi Papua, mengatakan untuk menekan laju migrasi, Pemerintah Provinsi Papua sedang berusaha agar segera memberlakukan 3 (tiga) jenis kartu tanda penduduk (KTP). KTP yang pertama, khusus untuk orang Papua. KTP kedua, bagi orang non Papua yang datang mencari kerja.

Jika masa kontraknya sudah selesai, sewaktu-waktu bisa pulang ke daerahnya. KTP ketiga, diberikan kepada  orang non Papua yang hanya datang menemui keluarga dalam beberapa waktu terbatas, mungkin hanya satu minggu. Kebijakan ini  perlu diterapkan sebab jika tidak ada kekhawatiran bahwa orang Papua makin tersingkir dan akan jadi minoritas di atas tanahnya sendiri.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Papua, Yan Piet Rawar sejak awal April 2014 sudah  menyatakan untuk pengendalian penduduk di Papua  pemerintah provinsi sudah memiliki peraturan daerah provinsi (Perdasi) Nomor 11 Tahun 2013 tentang pengendalian penduduk.  Dalam Perdasi tersebut, ditetapkan bahwa  jumlah penduduk Papua harus 20 juta orang , baru bisa ada program transmigrasi. Sehingga jika program transmigrasi dilakukan, akan melanggar Perdasi tersebut.

Isu Jawanisasi dan Islamisasi
Penolakan transmigrasi oleh masyarakat adat dan agama di Papua selain  pada alasan-alasan seperti yang dikemukakan diatas, disinyalair juga sangat terkait dengan isu-isu yang berbau SARA seperti Jawanisasi dan Islamisasi. Program transmigrasi  dikritik karena telah mempercepat proses Jawanisasi Indonesia. Karena masyarakat Jawa mayoritas beragama Islam, program transmigarsi ke Papua juga dituduh sebagai program Isamisasi.

Namun kini di era otonomi daerah, tidak relevan untuk menghubungkan program transmigrasi terhadap isu-isu Jawanisasi maupun Islamisasi, karena proses migrasi juga dilakukan secara internal di Jawa, atau dalam provinsi tertentu. Misalnya di Indonesia Timur seperti di Maluku dan Papua, sebagian besar kaum pendatang berasal dari Sulawesi (Bugis, Makassar dan Buton), dan bukan seluruhnya dari Jawa. 

Program transmigrasi harus secara hati-hati mencermati potensi ekonomi, serta dampak sosial dan budaya di daerah tersebut. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa provinsi yang membuka diri untuk pluralisme dan menerima pemukim antar-provinsi biasanya berkembang lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang mengisolasi diri.

Hal yang juga penting untuk dicatat, bahwa Jawa itu sendiri telah menarik kaum perantau dan pekerja dari seluruh nusantara, maka dengan demikian demografi Jawa tidaklah homogen.  

Resistensi dari pemerintah daerah serta masyarakat adat dan tokoh agama di Papua terkait rencana pemerintah pusat  untuk menempatkan transmigran disana  perlu segera direspon melalui kebijakan yang tepat agar transmigrasi kembali mendapat legitimasi politik di tingkat regional.

Resistensi atau benturan kebijakan di daerah perlu diselesaikan, melalui perubahan kebijakan transmigrasi yang berbasis pada budaya setempat. Penekanan pada unsur-unsur budaya lokal sangat penting karena masyarakat lokal merasa terabaikan dalam konteks pembangunan transmigrasi.

Pemerintahan harus bisa mencari alternatif lain terkait distribusi penduduk, terutama penduduk dari Pulau Jawa, bukan tidak mungkin penolakan serupa juga muncul dari daerah lain. Pemerintahan diharapkan  tidak  melanjutkan program transmigrasi di Papua, sebelum melakukan dialog menyeluruh dengan pemegang otoritas Papua.

Diperlukan dialog menyeluruh dan sesegera mungkin  antara pemerintah pusat dan para pemegang otoritas di Papua, baik itu pemerintah daerah maupun otoritas adat atau suku-suku yang dapat merepresentasikan keterwakilan seluruh rakyat Papua. 

Dialog menyeluruh mengenai Papua bisa menjadi solusi, termasuk untuk mengetahui apa manfaat sekaligus implikasi buruk dari  program transmigrasi terhadap rakyat Papua. Apabila masyarakat lokal di Papua tidak memperoleh kenyamanan secara budaya, ekonomi, psiko-sosial maupun psiko-politis pasca terselenggaranya transmigrasi di masa lalu, maka kelanjutan dari program transmigrasi di Papua harus dievaluasi tuntas. 

Pola penyebaran penduduk dari luar Papua ke daerah tersebut hendaknya tidak lagi menggunakan pola transmigrasi tetapi membiarkan penduduk melakukan  perpindahan secara spontan supaya terlihat lebih alamiyah.  Sama seperti pemuda dan mahasiswa asal Papua yang melanjutkan pendidikan dan berkarya di berbagai kota di Pulau Jawa, maka warga negara Indonesia  yang berasal suku-suku lain  dari berbagai daerah juga sebenarnya memiliki hak untuk tinggal dan bekerja mencari nafkah dimana saja termasuk Papua. *

Penulis adalah pemerhati masalah kebangsaan tinggal di Jakarta.