Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penerapan Kurikulum 2013 Dinilai Makin Membingungkan Dunia Pendidikan
Oleh : si
Kamis | 31-01-2013 | 20:33 WIB
hardi_selamet.jpg Honda-Batam

PKP Developer


Hardi Selamat Hood

JAKARTA, batamtoday - Ketua Komite III DPD RI Hardi Selamat Hood mengatakan, rencana penerapan kurikulum 2013 makin membingungkan dunia pendidikan di Indonesia karena kurangnya evaluasi menyeluruh.


"Mau kurikulum 2006 atau kurikulum 2013, tetap saja membuat kebingungan dan kebingungan itu telah tampak tahun ini. Ini karena semuanya dilakukan setengah hati dan memang sangat jelas terkesan kurangnya evaluasi yang menyeluruh," kata Hardi di Jakarta, Kamis (31/1/2013).

Akibatnya, guru dan murid menjadi korban kebijakan yang parsial dalam dunia pendidikan. "Kita sangat yakin kebijakan yang dibuat terkait dengan kurikulum bukanlah dihasilkan dari masyarakat awam. Oleh karenanya sangat dipahami mereka lebih mengerti akan arti dan hakikat pendidikan itu sendiri," katanya.

Menurut Hardi, jenjang pendidikan dari SD hingga SMA yang membutuhkan waktu selama 12 tahun, dan ditambah pendidikan di perguruan tinggi selama 4 tahun.

"Artinya output kurikulum pendidikan akan terbaca selama 16 tahunan,  sementara masa berlaku kurikulum yang lahir di Indonesia tidak pernah mencapai masa tersebut. Kurikulum yang siap  dihengkangkan ini saja hanya berlaku sempurna kurang dari 5 tahun," katanya.

Selain itu, mengenai pengurangan dan penambahan mata pelajaran pada kurikulum 2013 juga akan memberikan dampak bagi nasib guru yang mata pelajarannya ditiadakan. Padahal di satu sisi beban mengajar guru telah dipatok harus mencapai angka tertentu dan rumpun ilmu pengajaran pun sudah diatur sedemikian rupa sesuai bidang keilmuannya.

"Akhirnya ada kesan ‘percuma’ jika guru mengajar tidak sesuai dengan dasar keilmuannya. Walaupun kondisi itu berada pada sekolah yang kekurangan guru sekalipun," kata Senator asal Kepulauan Riau (Kepri) ini.

Disamping itu, rencana terpusatnya penentuan buku yang dipergunakan oleh sekolah menambah indikator kembalinya budaya sentralisme pendidikan. Jika alasannya adalah hanya karena kehadiran buku pelajaran yang mengajarkan atau menyisipkan sesuatu yang tidak layak.

"Seharusnya yang diperkuat adalah pengawalan penerbitannya, tanpa membatasi kreatifitas, beragam pilihan buku menjadi wahana pendewasaan serta mengasahkreatifitas dalam berpikir bagi guru. Guru semakin tertantang untuk memberikan pilhan terbaik kepada peserta didiknya," katanya.

Begitu juga dengan para siswa, menurut Hardi, kehadiran ekstrakurikuler wajib akan membuat kegiatan ekstrakurikuler lainnya tersisih. Bahkan bisa jadi akan menghilang. Sekolah pasti akan terfokus dengan yang ‘wajib’ dibandingkan aktifitas ‘sunah’.

"Pilihan ini bukanlah didasarkan pada pengembangan minat dan bakat siswa, akan tetapi oleh ultimatum perintah yang ada.  Akhirnya tiada pilihan. Menjalani walau separuh hati. Akhirnyasama-sama separuh hati. Desentrasliasi pendidikan pun terkuburkan," katanya.

Jika demikian adanya, kata Hardi, perubahan kurikulum hanya akan berdampak pada terjadinya perubahan kurikulum berikutnya. Padahal siklus dari perjalanannya belumlah tuntas. Dapat diterka, perubahannya hanya akan menghasilkan dampak negatif yang sudah pasti terjadi.

Pertama, kebingungan para guru yang akan berujung pada sikap apatis menghadapi perubahan ini.  Kedua, pemborosan anggaran yang berjumlah milyaran rupiah. Mulai dari proses uji publik yang terkesan dipaksakan hasilnya sampai pada proses sosialisasi, pelatihan, dan segala bentuknya yang hanya akan melahirkan berbagai biaya baru. Daerahpun dipastikan akan ikut-ikutan mengalokasikan anggaran terkait kurikulum ini.

"Bukankah kita semua tahu, kesalahan mendidik satu generasi akan memberikan dampak pada generasi berikutnya? Tidak cukup sampai disini. Dampaknya akan terus menjalar bahkan melewati takdir kematian. Lantas mau dibawa kemana pendidikan bangsa ini?"tanya Hardi.