Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Putusan Perdata Kapal MT Arman 114 Dikritik, Pakar: Bisa Dimintai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Oleh : Paskalis Rianghepat
Senin | 09-06-2025 | 09:48 WIB
Agustinus-Pohan-Pakar.jpg Honda-Batam
Agustinus Pohan, S.H., M.S --Pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan. (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Batam - Putusan Pengadilan Negeri Batam yang memenangkan gugatan perdata Ocean Mark Shipping Inc atas kapal MT Arman 114 memicu polemik di kalangan akademisi hukum.

Pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai putusan tersebut tidak hanya berisiko melemahkan supremasi hukum, tetapi juga membuka potensi pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi pemilik kapal.

Menurut Agustinus, putusan perdata yang menyatakan Ocean Mark Shipping sebagai pemilik sah kapal MT Arman 114 berpotensi menegasikan amar putusan pidana yang telah lebih dahulu berkekuatan hukum tetap. Dalam perkara pidana, kapal berbendera Iran tersebut dan muatannya telah dirampas untuk negara.

"Ada masalah serius bila putusan perdata dijadikan alat untuk menegasikan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap," ujar Agustinus saat dihubungi, Jumat (6/6/2025).

Ia menekankan dalam sistem hukum Indonesia, putusan pidana memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding putusan perdata. Oleh sebab itu, koreksi terhadap putusan pidana harus dilakukan melalui upaya hukum dalam ranah pidana, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

"Kalau hal ini dibiarkan, akan terbuka ruang manipulasi hasil putusan pidana lewat gugatan perdata. Ini tentu tidak sehat bagi sistem peradilan kita," tegasnya.

Agustinus juga mengingatkan bahwa barang bukti dalam perkara pidana --seperti kapal dan muatannya-- bukanlah objek sengketa perdata. Menurutnya, barang sitaan adalah bagian dari alat bukti dalam tindak pidana, bukan aset yang bisa digugat melalui jalur keperdataan.

"Kalau misalnya harta saya disita dalam perkara pidana korupsi, saya tidak akan menggugat secara perdata. Saya akan buktikan lewat jalur pidana bahwa saya pihak yang beritikad baik," jelasnya.

Lebih jauh, ia menyatakan bahwa kasus dugaan pencemaran laut oleh MT Arman 114 tidak bisa dipandang sebagai pelanggaran individu semata, melainkan bisa ditelusuri sebagai bentuk tanggung jawab pidana korporasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Muatan minyak mentah itu bukan milik perorangan. Kalau Ocean Mark Shipping diakui sebagai pemilik sah, maka mereka juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pencemaran," ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran publik terhadap integritas hakim dalam perkara ini, Agustinus menegaskan pentingnya pengawasan terhadap aparat peradilan. Ia mendorong masyarakat untuk tidak segan melaporkan jika ada dugaan intervensi atau penyimpangan.

"Jika ada dugaan bahwa putusan dipengaruhi kepentingan eksternal, itu harus dilaporkan ke Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung," kata Agustinus.

Dalam penutup pernyataannya, ia mengingatkan aparat penegak hukum untuk bertindak proaktif dalam menangani perkara yang menyangkut kepentingan publik. "Penyidik punya wewenang untuk bertindak tanpa harus menunggu laporan. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, proses penyelidikan seharusnya sudah dimulai," tegasnya.

Sebelumnya, Majelis Hakim PN Batam mengabulkan sebagian gugatan Ocean Mark Shipping Inc terhadap Pemerintah RI dalam perkara kepemilikan kapal MT Arman 114. Dalam amar putusan Nomor 323/Pdt.G/2024/PN Btm yang dibacakan Senin (2/6), hakim memerintahkan agar kapal, muatan, dan dokumennya dikembalikan kepada penggugat.

Putusan tersebut menyatakan bahwa bagian dari amar putusan pidana yang menyebut kapal dirampas untuk negara tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kejaksaan menyatakan masih memiliki waktu untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.

Dengan proses hukum yang masih berjalan, polemik seputar kepemilikan dan pertanggungjawaban hukum atas kapal MT Arman 114 diperkirakan akan terus menjadi sorotan, baik dari kalangan penegak hukum maupun masyarakat sipil.

Editor: Gokli