Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ketika Penegak Hukum Menyeleweng, Pengakuan dan Fakta di Balik Penggelapan Barang Bukti Sabu
Oleh : Paskalis Rianghepat
Senin | 12-05-2025 | 14:44 WIB
AR-BTD-5520-Sidang-Narkoba.jpg Honda-Batam
Saksi verbalisan dari Ditresnarkoba Polda Kepri saat memberikan keterangan dalam perkara penjuaran barang bukti sabu melibatkan Eks Kasat Resnarkoba Polresta Barelang, Kompol Satria Nanda bersama 9 anggotanya di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Jumat (9/5/2025). (Foto: Paskalis Rianghepat/Batamtoday)

BATAMTODAY.COM, Batam - Ruang sidang yang pengap itu menjadi saksi bisu sebuah ironi hukum: ketika aparat yang seharusnya memberantas kejahatan, justru terjerat praktik kriminal itu sendiri.

Di kursi pesakitan, Kompol Satria Nanda, mantan Kepala Satuan Reserse Narkoba Polresta Barelang, duduk tanpa seragam dinas --ia kini menghadapi dakwaan berat atas penggelapan barang bukti narkoba jenis sabu.

Dari total 44 kilogram sabu yang berhasil disita satuannya, sebanyak 9 kilogram justru disisihkan dan dijual ke wilayah rawan peredaran narkoba di Batam, yakni Simpang Dam, Kampung Aceh. Perbuatan ini tidak hanya mencoreng institusi, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap penegak hukum.

"Kasus ini seperti membuka tabir gelap di balik institusi kepolisian," ujar seorang jaksa yang enggan disebutkan namanya kepada BATAMTODAY.COM, usai persidangan yang digelar pada Jumat (9/5/2025).

Kasus ini awalnya mencuat dari laporan internal ke bagian Pengamanan Internal (Paminal) Polda Kepulauan Riau, yang mengindikasikan adanya transaksi gelap oleh anggota satuan narkoba. Temuan tersebut diperkuat dengan penangkapan lima kilogram sabu oleh Mabes Polri di Tembilahan. Jejak distribusinya mengarah langsung ke Polresta Barelang.

Kompol Satria sempat membantah dugaan itu dalam sidang. Ia mengklaim telah memanggil beberapa bawahannya, yakni Sigit, Fadilah, dan Wan Rahmat, untuk mengonfirmasi isu tersebut. "Saya sudah tanya langsung dan semua menyangkal. Bahkan kepada Kapolda saya tegas mengatakan: Siap, tidak ada, Jenderal," ujar Satria, saat memberi keterangan.

Namun, fakta berkata lain. Lima hari setelah pernyataan itu, Satria justru dipanggil Propam dan diminta menyerahkan lima anak buahnya. Ia kemudian ditempatkan di ruang khusus (Patsus). "Saya merasa ditekan secara psikologis," ucapnya.

Klaim tekanan itu terbantahkan ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) memutar lima video hasil penyidikan. Dalam video tersebut, para terdakwa terekam berdiskusi santai tentang jumlah sabu yang disisihkan dan siapa yang memerintahkan.

"Berapa yang mau disisihkan? Itu yang saya tanyakan. Dan yang menjawab Bang Wan," ungkap Sigit Sarwo Edi, mantan Kanit I Satnarkoba, dalam video tersebut.

Perdebatan pun terjadi dalam rekaman. Wan Rahmat, yang disebut-sebut sebagai eksekutor, membantah keras. "Jangan saya dikorbankan, Nit!" katanya, sambil menunjuk rekan sendiri. Ia bahkan menyebutkan bahwa perintah pencatatan berasal dari Sigit, lengkap dengan jumlah sabu yang akan dipisahkan.

Jaksa Martua --salah satu anggota tim penuntut umum dalam perkara ini-- menegaskan pentingnya rekaman tersebut sebagai bukti utama. "Video ini menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Bukan korban sistem, tapi pelaku aktif," tegasnya di ruang sidang.

Kini, pengadilan menghadapi tantangan besar: menegakkan keadilan di tengah sorotan publik yang semakin kritis. Lembaga hukum dituntut membuktikan bahwa tidak ada yang kebal terhadap hukum, termasuk aparatnya sendiri.

Tuntutan terhadap Kompol Satria dan rekan-rekannya dijadwalkan akan dibacakan pekan depan. Di tengah upaya institusi polisi merapikan citra, masyarakat menanti: apakah hukum akan tegak, atau sekadar menjadi formalitas belaka?

Editor: Gokli