Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menengok Sejarah Kejayaan Tambang Timah di Dabo Singkep hingga Tutup
Oleh : Wandy
Selasa | 28-09-2021 | 18:21 WIB
timah-singkep.jpg Honda-Batam
Bagunan peninggalan PT Timah di Kecamatan Singkep, Kabupaten Lingga. (Foto: Wandy)

BATAMTODAY.COM, Lingga - Dabo Singkep, Kabupaten Lingga, sempat menjadi pusat ekonomi terbesar di Kepri (dulunya Riau), di mana timah menjadi satu-satunya penggerak ekonomi terbesar di daerah itu.

Dengan dibukanya tambang sejak masa penjajahan Belanda hingga diambil alih menjadi Perusahaan Timah milik BUMN, Singkep menjadi penghasil timah ketiga terbesar di Indonesia.

Kepala Museum Timah Kabupaten Lingga, Encik Basri menceritakan, pada saat itu jumlah karyawan PT Timah mencapai 24.000 orang. "24 ribu tersebut dari karyawan Dabo Singkep dan Perayon Kundur. Di mana 16.000 orang itu bekerja sebagai administrasi dan 8 ribu bidang tambang," jelas Basri, Selasa (28/9/2021).

Di tahun 1986, banyak karyawan yang harus di-PHK, karena harga biji tima per ton dari USD 18 ribu menjadi USD 6.100. "Dengan keadaan keuangan yang memprihatinkan sehingga perusahaan mengalami kerugian terus menerus, sampai akhirnya pada tahun 1991 itu sudah tidak bisa diapa-apakan lagi," dikisahkan Basri.

Kejatuhan tambang menghancurkan perekonomian daerah dan keterpurukan berlangsung menahun bahkan terasa hingga kini. Selain dampak sosial ekonomi pascapenutupan tambang juga meninggalkan luka pada lingkungan sekitar.

Sehingga secara sekilas keadaan ekonomi masyarakat Singkep sedikit berbeda. Di mana ekonomi lesu pada masa itu dan sebagian orang masih terjebak dengan masa lalu yakni masa timah.

Waktu tambang timah aktif masyarakat tidak terbiasa untuk melakukan diversifikasi melalui proses ekonomi budidaya. Dampak lingkungan dapat dilihat secara fisik, akan tetapi dampak sosial itu menjadi karakter mentalitas sehingga proses rehabilitasinya memerlukan waktu yang sangat panjang sekali.

Dengan demikian kultur bekerja itu terbawa terus menerus dan menjadi mental masyarakat dalam beraktivitas dan mencari sumber-sumber ekonomi pada saat tutup itu terbawa terus.

Pendidikan karyawan serta SDM yang tidak berkembang sehingga rencana produksi seperti mati suri ditambah penekanan biaya jadi dianggap tidak produktif lagi. "Bank Dunia menganggap jika dilanjutkan bakal merugi hingga 70 miliar setahun. Namun perusahaan dapat diselamatkan dengan rekonstruksi yang drastis," jelas Basri.

Jadi kantor pusat baik di Jakarta, Belitung dan Singkep harus ditutup kegiatan administrasi dan hanya dipusatkan di Bangka. Sebab, Bank Dunia menganggap investasi yang diperlukan sebesar 53 miliar pertahun.

"Diberikan waktu sampai 1995 dan itupun tidak bisa bertahan," katanya.

Padahal menurut hasil riset dari Encik Basri selaku mantan karyawan timah pada bagian dinas explorasi/geologi bagian ukur/peta UPTS bahwasanya Pulau Singkep masih banyak terdapat bijih timah dan mineral lainnya.

"Untuk di Singkep ini ada beberapa bahan yang berguna selama penambangan timah seperti bijih timah, emas, molybdenite, wolframite, monasite, ilmanite, zircon, kaoline, pasir kwarsa, dan rutile," bebernya.

Editor: Gokli