Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Malam 1.000 Lilin, Sebuah Doa untuk Negeri
Oleh : Putra Gema
Senin | 14-10-2019 | 09:04 WIB
malam-lilin.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ribuan Mahasiswa Kota Batam Saat Aksi Malam 1000 Lilin. (Putra)

BATAMTODAY.COM, Batam - Ribuan Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Batam menggelar aksi 'Malam 1.000 Lilin' yang bertajuk 'Sebuah Doa untuk Negeri' di lapangan Politeknik Batam, Minggu (13/10/2019) malam.

Dalam aksi tersebut, sebanyak 1.000 lebih mahasiswa dari 12 kampus di Kota Batam bersatu demi memanjatkan doa untuk negeri yang sedang porak poranda diterjang berbagai permasalahan belakangan ini.

Mulai dari tragedi Wamena, permasalahan Karhutla, hingga gugurnya peserta aksi unjuk rasa Gejayan Memanggil menjadi isu hangat dalam aksi damai yang berlangsung mulai dari Pukul 20.00 WIB.

Protes tadinya dilancarkan lewat media sosial hingga berdialog langsung dengan DPRD Kota Batam, namun tidak berefek. Ditambah lagi Kota Batam terbilang aman dan kondusif, jauh dari hiruk pikuk permasalahan-permasalahan yang terjadi di negeri ini.

Hal tersebut yang membuat ribuan mahasiswa ini tak ada pilihan lain. Kali ini, Mahasiswa harus mendemonstrasikan tuntutan mereka lewat aksi yang terkonsep dan dikemas sedemikian rupa. Hal ini agar pemerintah hingga elite politik sadar, bahwa mahasiswa Batam turut menyesalkan tragedi-tragedi yang terjadi belakangan ini.

Hafis, Kordum Forum Komunikasi Mahasiswa Batam, mengungkapkan, aksi malam 1.000 lilin terbentuk karena hingga saat ini, di Kota Batam masih ada beberapa kampus yang melarang mahasiswanya untuk melaksanakan aksi.

"Forum Komunikasi Mahasiswa Batam ini menjadi wadah Mahasiswa dari beberapa kampusnya dipersulit ketika berorganisasi. Kita menjadi wadah yang bebas berekspresi sesuai dengan batasan kita," kata Hafis, Minggu (13/10/2019).

Selain memanjatkan doa, mereka pun menyampaikan keprihatinan tragedi Wamena melalui Teatrikal. Kasus rasialisme Papua ini dianggap sebuah alarm agar Negeri ini semakin serius dalam memikirkan proyek identitas nasional Indonesia.

Tiga kota mengalami kerusuhan pada awal pekan lalu, ekses penyerangan asrama mahasiswa di Surabaya yang sempat difitnah merusak bendera RI. Mahasiswa Papua Barat pun sempat diteriaki 'monyet' hingga dikepung asramanya.

Hal tersebut pun berentet panjang, hingga bersamaan kata 'monyet' yang segera menjadi slogan perlawanan melawan rasialisme pada orang Papua menjadi narasi yang mengemuka: apabila Mahasiswa Papua yang sekolah di Jawa diusir, orang Papua juga akan mengusir pendatang yang mencari nafkah di Papua.

Untuk permasalahan Karhutla, ribuan mahasiswa ini menyampaikan kegelisahan melalui musikalisasi puisi yang dibacakan seorang mahasiswa.

"Pepohonan menjulang tinggi, terposona semua akan keindahannya. Tapi kini, keindahan kami terenggut terbakar habis menjadi abu dan debu. Dulu Negeri ini terang bercahaya, kini telah buram tertutup asap. Wahai kalian petinggi negeri ini, tolong lihatlah kami di sini, cukup sudah kami menangis," sepenggal bait musikalisasi puisi yang dibacakan.

Tidak tanpa alasan musikalisasi puisi ini dibacakan. Kabut asap kebakaran hutan Kalimantan dan Sumatra sudah jauh melebihi batas bahaya indeks pencemaran udara.

Kebakaran hutan Kalimantan dan Sumatra ini pun sudah terjadi sejak beberapa tahun belakangan. Seperti perayaan hari besar, peristiwa ini selalu berulang setiap tahunnya. Namun, seperti sekilas info, kabar duka itu tenggelam oleh kabar duka lainnya. Hanya sekilas, lalu dilupakan.

"Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya. Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya," lanjut lirik puasinya.

Lirik lagu 'mosi tidak percaya' dari Efek Rumah Kaca pun menjadi salah satu bacaan mahasiswa Kota Batam. Dan tidak menutup kemungkinan, mereka akan kembali melakukan aksi yang dikemas lebih apik apabila hal tersebut sudah dianggap perlu dan mendesak.

Editor: Chandra