Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Kemungkinan Pembebasan UWTO Tanah di Bawah 200 Meter di Batam
Oleh : Irwan Hirzal
Kamis | 10-10-2019 | 15:04 WIB
wirya-silalahi2.jpg Honda-Batam
Anggota DPRD Provinsi Kepri, Wirya Putra Sar Silalahi. (Foto: Ist)

SENIN, 27 Mei 2019 lalu di Kantor Wali Kota Batam, H. Muhammad Rudi menyampaikan berita gembira. Warga Batam mana yang tak gembira, jika tanah mereka yang di bawah 200 meter persegi, bakal dibebaskan dari UWTO. Mungkinkah? Berikut analisis anggota DPRD Provinsi Kepri, Wirya Putra Sar Silalahi.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika Menteri ATR/Kepala BPN Sofian Djalil mengatakan akan membebaskan UWTO (Uang Wajib Tahunan Otorita) untuk tanah di bawah 200 M2. Dapakah ini dilakukan? Dan bisakah ini dilakukan oleh Kepala BP Batam? Dan bagaimana efeknya bagi pendapatan BP Batam dan juga Anggaran BP Batam?

Sesuai dengan dasar opersasional BP Batam saat ini, yang berdasrkan PP Nomor 62 Tahun 2019, yang merupakan revisi dari PP Nomor 46 Tahun 2007, yang dasaranya adalah Undang Undang Nomor 36 Tahun 2000, yang merupakan wujud dari disahkannya PERPU Nomor 1 Tahun 2000 menjadi Undang Undang.

Sesuai Perpu Nomor 1 Tahun 2000, Pasal 16, ayat (1): "Badan Pengusahaan mengusahakan sumber-sumber pendapatan sendiri untuk membiayai rumah tangganya". Artinya, BP Batam dapat mencari sumber-sumber pendapatan sendiri.

BACA: Rudi Diharap Segera Lakukan Revolusi Perizinan Investasi

Dalam hal ini, BP Batam mendapatkan pemasukan dari Uang Wajib Tahunan BP Batam, pendapatan Pelabuhan Laut, Bandara dan lain-lain. Penerimaan UWTO adalah PNBP alias Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang mana penentuan tarif bukan pajak ditetapkan oleh menteri keuangan.

Jadi, penentuan tarif UWTO tidak bisa hanya dilakukan atas keputusan Kepala BP Batam saja. Tapi, ditetapkan oleh Menteri Keuangan menjadi Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Jadi, Kepala BP Batam hanya mengujukan usulan saja. Lalu, berdasarkan kajian Menteri Keuangan, dibuatlah PMK untuk perubahan tarif UWTO di Batam.

Pertanyaan selanjutnya, bukan bisa atau tidak bisa membuat bebas UWTO BP Batam untuk tanah kavling rumah luas di bawah 200 M2, tetapi mungkin bagaimana efek terhadap penerimaan BP Batam. Konstruksi Anggaran BP Batam tahun 2018, kira-kira sebagai berikut:

Anggaran BP Batam 2019 sebesar Rp 1.682 triliun. Kemudian, total pendapatan BP Batam sebesar Rp 1,3 triliun. Sedangkan besaran subsidi APBN sebesar Rp 382 miliar.

Kemudian, pendapatan BP Batam dari UWTO adalah sebesar Rp 672 miliar, dari operasional Bandara Hang Nadim Batam sesesar Rp 259 miliar, dari operasional Pelabuhan Laut sebesar Rp 336 miliar dan pendapatan dari lain-lain sebesar Rp 420 miliar.

Maka, jika menyimak kondisi BP Batam yang sudah mengalokasi lahan sampai sekitar 27.000 hektar saat ini, bila diasumsikan tariff UWT rata-rata Rp 60.000 per M2, maka seharusnya penerimaan BP Batam dari UWT per tahun adalah kira-kira: Rp 810 miliar, artinya sudah sekitar 83% tercapai.

Kemudian, bagaimanakah efeknya bila tanah dibawah 200 M2 tidak dibebaskan UWTO?

Dari data, ada sekitar 400.000 parsil kavling rumah, bila kita anggap rata-rata luas tanah 60 M2, dan tariff UWT Rp 55.000 per M2, maka ada sekitar 2.400 hektar untuk perumahan. Bila ini dibebaskan UWT, maka akan ada kehilangan maksimum penghasilan: Rp 66 miliar per tahun atau sekitar 10% dari penghasilan UWT atau 5% dari total pendapapatan BP Batam.

Artinya, bila kita membebaskan UWTO untuk luas tanah di bawah 200 M2, kita akan kehilangan pemasukan sekitar Rp 66 milyar per tahun, atau sekitar 10% dari pendapatan dari UWT, atau kehilangan 5% dari penerimaan total.

Mungkinkah ini, mungkin saja. Asalkan BP Batam sudah siap menerima konskewnsi ini. Tetapi sebenarnya ini, masih bisa dikompensasi dengan:

1. Masih ada sebesar Rp 132 milyar lagi, UWTO yang belum tertagih.
2. Masih ada sikitar 2.000 hektar lagi lahan BP Batam yang masih bisa dialokasikan. Artinya, ada potensi pemasukan sekitar Rp 60 milyar per tahun lagi.

3. Masih ada tanah di pulau-pulau Relang sekitar 15.000 Ha yang bisa dialokasikan. Kalau asumsi tariff Rp 30.000 per M2, maka masih ada potensi pemasukan sebesar Rp 375 milyar per tahun.
4. Kalau bisa ditingkatkan pemasukan Bandara Hang Nadim dan Pelabuhan Laut, sebesar 10% saja, maka akan ada potensi pemasukan sebesar Rp 60 milyar per tahun.

Jadi, total potensi pemasukan ada sekitar Rp 627 milyar setahun, sepuluh kali lipat atau 1000% dari potensi kehilangan penerimaan dari dibebaskannya UWTO kavling tanah perumahan dengan luas di bawah 200 M2.

Maka, dari analisis di atas, pembebasan kewajiban UWTO bagi warga Batam yang tanahnya di bawah 200 meter persegi, bukanlah hal yang mustahil. Sangat mungkin untuk direalisasikan. Sangat bisa dan sangat mungkin seklai. Jadi, siapa takut membebaskan UWTO BP Batam untuk lahan perumahan luas di bawah 200 M2?

Editor: Dardani