Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Toko Musik Asia Afrika Batam, Memorabilia yang Tersisa dari Rilisan Fisik Musik yang Pernah Berjaya
Oleh : Hendra
Minggu | 18-08-2019 | 18:04 WIB
toko_buku_batam.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Toko Musik Asia Afrika Batam (Foto: Hendra)

BATAMTODAY.COM, Batam - Ditemani riuh keramaian orang yang hilir mudik dengan segala kepentingannya, malam itu saya melintasi temaramnya pasar seken Jodoh. Tak dinyana langkah saya terhenti persis di depan sebuah toko yang memutar musik klasik Indonesia tempo dulu.

Berbalut suara saxophone, lagu Rindu Lukisan gubahan Ismail Marzuki yang pernah dinyanyikan Sam Saimum menjadikan suasana terasa beda. Ada semacam memorabilia yang membuat saya mengingat kembali masa kecil sewaktu di Payakumbuh, masa SMP di era 2000an, saat di mana rilisan fisik musik masih mudah didapati, meski tak se-glorious tahun 90'an.

Sejenak menikmati, saya amati suasana tokonya yang begitu lengang dan bertuliskan "Asia Afrika". Di dalam toko duduklah seorang perempuan berumur sekitaran 50 tahunan lebih, kami berkenalan dan dia katakan panggil saja namanya Bu Kaset, nama itu telah melekat padanya cukup lama.

Ia mengatakan, toko musik Asia Afrika ini telah ada sedari tahun 80'an, seingatnya sedari tahun 1984 dia telah bekerja di sana, hanya saja saat itu toko masih bernama "Riau Musik" dan memiliki cabang yang tersebar di beberapa tempat di kota Batam.

"Kira-kira di era 80an telah ada, saya pekerjanya dan sedari 84 telah di sini. Dari nama awal Riau musik dan berganti Asia Afrika. Cabangnya dulu banyak, ada di dekat Hotel Sari Jaya, terus di Tanjung Pantun, Lucky Plaza, Jodoh Centre, hingga kawasan Muka Kuning," ujarnya.

Ia mengatakan, saat mereka masih memiliki banyak cabang itulah masa-masa jayanya rilisan fisik musik, hingga waktu dan trend pun terus berputar menuju industri yang lebih digital. Pedagang rilisan fisik musik pun mendapat imbasnya, di tambah lagi dengan semakin maraknya pembajakan ketika format musik di CD, VCD atau DVD mulai diminati.

Masa-masa tersebut adalah masa yang penuh semarak baginya. Ribuan compact sassette (kaset pita) bisa mereka jual di kota Batam dalam hitungan tidak sampai sebulan, dengan beragam jenis musik yang ditawarkan.

Pun begitu dengan dengan musik format CD atau VCD, terutama saat album Perterpan meledak di pasaran, ribuan keping pun ludes diincar penggemarnya. "Dulu saking ramenya kita makan aja gantian, sekarang lengang banget. Ibaratnya dulu sesak pembeli, sekarang malah lengang," terangnya.

Kendati sejauh ini masih ada yang datang untuk membeli CD dan VCD, hanya saja gaungnya telah berbeda dan trend musik yang dibeli pun lebih banyak pada dangdut panggung atau musik-masik dangdut pantura.

"Tetapi itu juga gak terlalu banyak banget. Trend sekarang memang telah berubah, banyak yang doyan ke dangdut panggung. Dulu beragam jenis musik kita sediakan dan dicari orang dari era Indonesia tempo dulu, hingga Koes Ploes dan kompilasi Prambors," ungkapnya.

Dan yang tersisa sekarang katanya hanyalah memorabilia yang akan terus dikenang oleh pecinta musik di era 80'an sampai awal 2000'an. Meski begitu Ia dan terutama pemilik toko yang seorang keturunan Tionghoa asal Padang, Sumatera Barat itu merasa kelak trend bisa jadi akan kembali diputarannya, ketika rilisan fisik musik kembali digandrungi oleh remaja.

Editor: Surya