Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Begini Curhat Pencari Suaka di Detensi Sekupang Batam

Hidup dalam Ketidakpastian, Seperti Kematian Menggerogotimu Perlahan
Oleh : Hendra Mahyudi
Selasa | 13-08-2019 | 15:03 WIB
pencari-suaka-di-sekupang.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Sham, pengungsi asal Afghanistan saat diwawancara di gedung Akomadasi non Detensi, Sekupang Batam. (Foto: Hendra)

RATUSAN orang pencari suaka dari berbagai belahan negara di dunia, disatukan satu permasalahan yang sama, konflik perang berkepanjangan. Kini mereka menyingkir dari kampung halaman sendiri, mencari kehidupan yang lebih baik lagi. Tapi apa yang mereka dapati? Berikut catatan Wartawan BATAMTODAY.COM, Hendra Mahyudi tentang curahan hati para pencari suaka itu.

Para pencari suaka di Detensi Sekupang Batam itu bergerak meninggalkan kelam di negeri asal. Bergerak mencari suaka ke negara-negara yang bisa memberi mereka jaminan hidup normal.

Hanya saja dalam perjalan mereka menuju tanah impian, lika-liku kenyataan tidak selalu memihak secepat angin berhembus menerpa lembut pipi setiap anak manusia.

Seperti yang dialami pencari suaka di gedung Akomodasi non Detensi, Jalan RE Martadinata, Tanjungpinggir, Sekupang, Batam. Ratusan pencari suaka memilih mengadakan unjuk rasa Rabu (7/8/2019) lalu, hanya demi satu hal, yakni hidup normal seperti manusia pada umumnya.

Mereka pun bercerita tentang harapan dan keinginan, yakni agar bisa dipindahkan ke negera ke tiga atau negara penerima suaka oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), komisi PBB yang menangani masalah pengungsi.

Sejauh ini mereka merasa senang telah ditampung pemerintah Indonesia, diberi tempat untuk istirahat dan melanjutkan hidup sejenak. Hanya saja meski pemerintah Indonesia telah berbaik hati, para pengungsi tetap ingin hidup di negara yang bisa menjamin mereka mendapatkan pekerjaan, mendapatkan hak untuk bisa mengakses pendidikan, hak untuk menikah dan hak lainnya yang memanusiakan-manusia.

"Kepada UNHCR, tolong datang dan dengarkan masalah kami sebagai pengungsi di sini. Kami ingin hidup normal dan bisa bekerja seperti yang lainnya," ujar Mohammad Gulzari kepada BATAMYODAY.COM

Unjuk rasa bertajuk "Living in uncertainty is gradual death" ini merupakan ungkapan mereka akan harapan kehidupan yang layak di masa depan. Pasalnya selama 6 sampai 7 tahun mereka selalu menunggu kabar baik dari UNHCR, hanya saja sayang titik terang masih jauh dari harapan.

Kepada BATAMTODAY COM, Sham pencari suaka asal Afghanistan mengatakan, "We are alive but not living. Have no future. Living a normal life has become an unfulfilled for us. (Kami hidup tapi tak hidup "normal", tidak punya masadepan. Kehidupan normal adalah hal yang tak bisa lagi kami penuhi (dapatkan)," ujar Sham saat diwawancara BATAMTODAY.COM beberapa hari yang lalu.

Bersama beberapa orang lainnya, Sham adalah satu dari sekian banyaknya pengungsi Afghanistan dari suku Hazara. Selama di Afghanistan mereka mengatakan hidup tak jauh dari kecemasan-kecemasan yang mana kelak suatu waktu bisa membunuh.

Bagi Sham, akibat konflik etnis di negara yang dicintainya, kehidupan aman dan normal adalah hal yang langka, mereka merasa diburu oleh kematian yang bakal datang kapan pun. "Bahkan di lubang-lubang manapun, tidak ada tempat yang aman. Jadi itu alasan orang-orang merasa terancam dan memilih mencari suaka," jelasnya dengan bahasa Inggris yang cukup lancar.

Hal yang sama juga dialami Mohammed Ali, pencari suaka asal Somalia. Di negaranya kehidupan nyaman hanyalah angan, sebab kelompok teroris bernama al-Shabab telah menciptakan singgasana kecemasan bagi warga sipil akibat konflik dengan pemerintahan.

"Ada konflik dengan pemerintah juga, orang biasa (sipil) di sana, turut menjadi korban. Mereka membunuh orang biasa, mereka tidak peduli tentang kita," ujarnya dengan bahasa Inggris terbata-bata.

Kata Ali, kalau ada yang tidak menerima ide terorisme ini, mereka harus siap untuk di bunuh. Kadang bom meledak kapanpun. Terakhir ia mendapat kabar beberapa Miggu lalu hampir 50 orang dibunuh di negaranya. "Setiap bulan mereka (warga) dibunuh dan itu alasan kami lari dari negara kami," jelasnya.

Ali dan Sham menambahkan, tak hanya orang dewasa yang menjadi korban dalam konflik etnis dan terorisme di negara mereka, anak-anak kecil juga banyak yang terbunuh dan mati karena bom akibat perang. "Ini semua sungguh hidup yang mencekam dan menakutkan," ujar mereka.

Mebenarkan apa yang mereka katakan, kematian manusia dalam peperangan apa lagi perihal anak kecil adalah kesalahan orang dewasa, bukan semata-samata urusan takdir atau kuasa tuhan.

Rorshach alias Walter Kovacs dalam novel legendaris Watchmen karya Alan Moore, mengatakan, "Bukan Tuhan yang membunuh anak-anak. Bukan pula nasib atau takdir yang mencincang dan menjadikan mereka makanan anjing. Kitalah (manusia dewasa) yang melakukannya. Hanya kita" tulis Alan Moore dalam novel legendarisnya itu.

Editor: Dardani