Bamsoet Paparkan Aktualisasi PPHN Dalam Paradigma Negara Pancasila
Oleh : Irawan
Selasa | 19-10-2021 | 08:04 WIB
bamsoet_pphb2.jpg
Focus Group Discussion (FGD) MPR bertema 'MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif' di Jakarta

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyoroti hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Dalam survei tersebut, salah satu hasilnya menunjukkan mayoritas responden menolak Amandemen.

Menurut Bamsoet, hasil tersebut bisa disebabkan karena pertanyaan yang menjebak. Pasalnya, adanya PPHN tak lantas menghilangkan hak presiden dalam menyusun programnya atau tanggung jawab kepada rakyat.

"Kadang pertanyaan survei bisa menjebak dan menyebabkan kesalahpahaman dalam masyarakat. Kehadiran PPHN tidak membuat presiden bertanggung jawab kepada MPR RI, melainkan tetap bertanggung jawab kepada rakyat. Presiden juga tetap menyampaikan janji politik dalam kampanye. Karena kehadiran PPHN tidak menghilangkan ruang kreativitas calon presiden dan wakil presiden dalam menyusun visi, misi, dan program pembangunannya. Jadi, jika pertanyaan surveinya diubah dengan Apakah bangsa Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang atau pokok-pokok haluan negara? pasti hasilnya mayoritas responden akan menjawab, sangat perlu. Karena rakyat tidak ingin negara berjalan tanpa haluan. Jadi, jangan di balik-balik," ujar Bamsoet dalam Focus Group Discussion (FGD) MPR bertema 'MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif', di Press Room MPR RI, Senin (18/10/2021).

Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPR RI ke-20 ini juga memaparkan soal aktualisasi PPHN dalam paradigma negara Pancasila yang mengisyaratkan lima fungsi.

Pertama, sebagai mekanisme demokrasi dan alat komunikasi dengan rakyat yang mampu menampung aspirasi seluruh rakyat. Kedua, menjadi media penghubung dan media interaksi bagi bertemunya berbagai arus pemikiran masyarakat dari segala lapisan, etnis, wilayah, maupun golongan.

"Ketiga, berfungsi menjadi saluran aspirasi bagi kelompok minoritas atau kelompok marginal. Keempat, menjadi alat komunikasi dalam menghimpun dan mempersatukan semua elemen bangsa dan daerah. Kelima, menjalankan fungsi representasi serta fungsi permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia," paparnya.

Lebih lanjut Bamsoet menjelaskan tentang salah satu gagasan dari Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis IPB University Didin S. Damanhuri. Gagasan ini terkait adanya pandangan PPHN perlu dirumuskan, di antaranya melalui langkah konsensus.

Dalam hal ini, wujud perumusan bisa dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat oleh perwakilan rakyat, sebagaimana semangat pendirian bangsa yang tertuang dalam rumusan sila keempat Pancasila.

"Permusyawaratan di dalam sebuah lembaga yang inklusif dalam ketatanegaraan Indonesia kontemporer, yang paling ideal dan mendekati cita para pendiri negara-bangsa, adalah melalui MPR RI. Keberadaan MPR dinilai sebagai lembaga negara yang paling tepat untuk menginisiasi agenda-agenda yang dibutuhkan untuk merumuskan PPHN. Lembaga MPR yang beranggotakan seluruh Anggota DPR dan seluruh Anggota DPD, merupakan lembaga perwakilan terlengkap yang dapat merepresentasikan kedaulatan rakyat, karena dalam diri MPR tidak saja ada representasi rakyat Indonesia secara keseluruhan, tetapi juga ada representasi rakyat Indonesia di tiap-tiap daerah," jelasnya.

Bamsoet juga menjelaskan sebelum amandemen keempat, keanggotaan MPR RI terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan.

Setelah amandemen keempat, keanggotaan MPR RI hanya terdiri dari anggota DPR RI sebagai representasi partai politik, dan anggota DPD RI sebagai representasi kepentingan daerah. Sedangkan Utusan Golongan dihapuskan.

Kini banyak pihak, seperti yang pernah disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia serta berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya, melihat bahwa unsur Utusan Golongan sangat penting untuk dihidupkan kembali dalam keanggotaan MPR RI.

"Wacana menghadirkan kembali Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI, merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh. Ruang dialektikanya harus dibuka lebar, tidak boleh ditutup apalagi buru-buru ditangkal. Baik yang pro maupun kontra bisa menyampaikan argumentasinya," ungkap Bamsoet.

Ia juga menerangkan banyak pihak berpendapat kehadiran Utusan Golongan akan menjadikan MPR RI sebagai lembaga perwakilan yang inklusif. Kehadiran Utusan Golongan juga membuat kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik dan daerah, bisa terakomodir.

"Sebagaimana pernah disampaikan pakar kebangsaan Yudi Latif dalam salah satu seri FGD yang diselenggarakan MPR RI bersama Aliansi Kebangsaan, bahwa keberadaan Utusan Golongan berangkat dari prinsip keadilan multikulturalisme yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan golongan dalam masyarakat. Perbedaan golongan ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Dalam kaitannya dengan akar sosial tersebut, pemenuhan hak individu bisa terkait dengan keadaan golongannya," katanya.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadiawati menjelaskan perencanaan pembangunan jangka panjang menjadi hal penting bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Namun, Diani menyebut rencana MPR melahirkan PPHN, proses penyusunan dan penetapannya harus dilakukan secara inklusif, serta merepresentasikan seluruh lapisan masyarakat.

"Sesuai prinsip universal dari pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs), yakni 'leave no one behind' (tidak ada yang ditinggalkan). Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada peraturan, kebijakan, dan praktik sosial yang mengabaikan atau bahkan mengeksklusi kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat. Pemerintah Indonesia secara serius berkomitmen terhadap pelaksanaan SDGs dengan disahkannya Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan," ujarnya.

"Utusan Golongan pada dasarnya menjadi solusi dalam hal ada celah tidak terwakilinya fungsi-fungsi penting dalam masyarakat, seperti kelompok keahlian tertentu, kalangan profesional, asosiasi pelaku usaha, petani, pekerja, dan seterusnya. Di dalam kondisi sekarang, jika PPHN dihidupkan, penyusunannya secara eksklusif akan dipegang oleh kalangan partai politik (DPR) dan wakil daerah (DPD). Inklusivitas proses penyusunan PPHN menjadi sangat penting karena berkaitan dengan berbagai komitmen SDGs yang pondasinya adalah prinsip 'leave no one behind'," lanjutnya.

Diani menambahkan PPHN seharusnya menjadi karya kolektif bangsa Indonesia, yakni seluruh elemen bangsa tanpa terkecuali, dapat menyampaikan aspirasinya. Dengan demikian, kegiatan turunannya, yaitu Perencanaan Pembangunan Nasional pun menjadi inklusif

"Keberadaan Utusan Golongan terdapat dalam sistem perwakilan di sejumlah negara, dengan format kelembagaan yang berbeda-beda. Di Hong Kong misalnya, kursi functional constituencies (FCs) bahkan pernah mengisi setengah dari keseluruhan kursi Legislative Council. FCs pernah memiliki peran yang sangat signifikan bagi kepentingan berbagai sektor dan komunitas dan pada akhirnya berperan penting pada pembangunan Hong Kong. Sementara di Perancis, kelembagaan representasi fungsional tidak berada di lingkungan parlemen, tetapi secara konstitusional diakui," katanya.

Sementara itu, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri menerangkan MPR dapat menjadi lembaga perwakilan yang inklusif dan berperan secara efektif dalam merumuskan PPHN. Hal ini dapat terwujud jika PPHN mencerminkan representasi dari seluruh rakyat Indonesia.

"Semua anggota MPR yang berasal dari DPR, harus dipilih melalui pemilu yang demokratis, fair, dan terbuka. Sementara semua anggota yang berasal dari Utusan Golongan dan Utusan Daerah ditunjuk berdasarkan meritokrasi oleh kelompok/institusinya masing-masing, bukan oleh eksekutif seperti eranya Bung Karno dan Pak Harto," pungkasnya.

Sebagai informasi, dalam acara tersebut turut hadir, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Moch. Nurhasim, dan Moderator Diskusi Manuel Kaisiepo. Hadir pula Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo.

Editor: Surya