Kisah Pengabdian Rohaniwan Indonesia dalam Melayani Masyarakat di Kenya
Oleh : Redaksi
Kamis | 17-06-2021 | 19:08 WIB
rohaniwan-Indonesia.jpg
Dubes RI Nairobi, M Hery Saripudin saat bertemu rohaniwan Indonesia di Kenya. (Kemlu)

BATAMTODAY.COM, Nairobi - Tanpa banyak diketahui publik di Indonesia, saat ini terdapat sekitar 23 suster dan rohaniwan Katolik yang telah mengabdi untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat di Kenya.

Mereka tersebar di sekitar 8 komunitas di wilayah yang berbeda. Tidak hanya di bidang kesehatan dan pelayanan keagamaan, mereka juga ada yang mendirikan sekolah, bahkan pusat rehabilitasi anak jalanan.

Suster dan rohaniawan asal Indonesia yang berada di Kenya berasal dari beberapa kongregasi (kelompok) yang berbeda, namun tujuan mereka sama-sama mengabdi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat kurang mampu sesuai keahlian masing-masing.

"Penyakit yang kami tangani sehari-hari di sini macam-macam, mulai dari pilek, tifus, hingga kanker dan belakangan ini covid," tutur Suster Yoseftine menjelaskan kasus yang biasa ia hadapi setiap harinya, seperti dikutip laman Kemlu RI, Rabu (16/6/2021).

Sr Yoseftine merupakan seorang Suster Katolik asal Solor, Nusa Tenggara Timur yang telah mengabdikan diri memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat kurang mampu di Kenya. Dengan dukungan dari kongregasinya, Putri Reinha Rosary (PRR), Ia turut membuka sebuah rumah sakit kecil di pinggiran Kota Nairobi.

Kedatangan para suster asal Indonesia ke Kenya bermula pada tahun 1998 untuk memberikan pelayanan kepada penderita HIV/AIDS kepada orang-orang di wilayah-wilayah pelosok di Kenya Barat. Tanpa pamrih, mereka mengabdikan diri untuk melayani masyarakat.

"Banyak orang yang datang berobat ke sini, tapi tidak bisa membayar, tapi tetap kami usahakan untuk layani," ungkap suster yang sudah berada di Kenya selama 20 tahun tersebut.

Pengalaman serupa juga diungkapkan oleh Suster Yulia Oyen. "Suster, saya bayar dengan jagung atau arang ya," ujar Suster Yulia menirukan ucapan salah satu pasien yang tidak sanggup membayar biaya pengobatan.

Suster asal Pontianak tersebut telah 25 tahun mengabdi di Kehancha, sebuah desa di pelosok Barat Kenya. "Tantangan terberat kami adalah masalah finansial," ujar Sr Yoseftine ketika ditanya mengenai kesulitan utama yang dihadapinya.

Ia menuturkan sulitnya menjalankan rumah sakit di tengah keterbatasan biaya. Biaya yang dibebankan kepada pasien sudah diupayakan serendah mungkin, namun sebagian pasien masih saja tetap tidak mampu membayar. Di sisi lain, dukungan dari donor yang umumnya datang dari negara maju, telah banyak berkurang jika dibandingkan dengan tahun 90-an dan awal 2000.

Dubes RI Nairobi, M Hery Saripudin, menyampaikan kekagumannya atas kerja kemanusiaan para rohaniwan Indonesia. "Kami mengapresiasi tinggi pengabdian rohaniwan WNI yang telah melayani masyarakat di luar negeri," ujar Dubes M Hery Saripudin.

Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masin berlangsung, KBRI Nairobi juga terus memberikan dukungan bagi para rohaniwan. Sejak tahun 2020 lalu, KBRI Nairobi telah beberapa kali mengirimkan bantuan berupa masker, hand sanitizer, sarung tangan, dan vitamin untuk menunjang daya tahan tubuh para rohaniwan tersebut.

"Salah satu prioritas Pemerintah Pusat dan KBRI Nairobi adalah perlindungan warga negara Indonesia," tutup Dubes Hery.

Editor: Gokli