ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Demokrasi Dajjal
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 01-06-2020 | 12:04 WIB
muchid-albintani3.png
DR. Muchid Albintani. (Foto: Ist)

MENJELANG "kisah baru" (new-normal) untuk beraktivitas pasca "kisah lama" (old-normal), istilah Demokrasi Dajal menjadi relevan dan signifikan untuk diperbincangkan.

Esai akhir zaman ini tidak berupaya menelaah hubungan dua konsep utama Demokrasi dan Dajal, melainkan menyatukan keduanya menjadi "Demokrasi Dajal" sebagai era kisah baru yang sudah, sedang dan akan berlangsung.

Yang dimaksud kisah baru adalah melodrama akhir zaman yang sedang, dan akan berlangsung di tengah badai C-Songolas. Ihkwal akhir zaman merupakan refleksi penyatuan Demokrasi Dajal sebagai ungkapan kehidupan bernegara berdasarkan tiga pertimbangan.

Pertama, demokrasi sebagai instrumentasi kaum globalis [elit global] yang penuh paradoks dan manipulatif [kepalsuan]. Kisah panjang demokrasi yang tak banyak terungkap sebagai sebuah sistem [politik, ekonomi, sosial, hukum] dan lainnya, tanpa sadar ditunggangi istilah pencitraan.

Praktik manipulasi paling anyar tentu saja telentanya yang direpresentasi seorang penguasa [yang berkuasa]. Mengemukanya citra sebagai pakem demokrasi yang didukung media [massa, televisi, elektronik dan sosial] sebagai pilar demokrasi keempat [setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif], dapat menanipulasi opini publik.

Di dukung pemodal [cukong lokal dan internasional], citra menjadi esensi promosi yang manipulatif. Kemampuan [capability], calon pemimpin menjadi tidak penting. Dari sinilah banyak orang awam menyebutnya rekruitmen seorang pemimpin dapat direkayasa, dan dikendalikan yang mestinya, mustahil dalam prinsip demokrasi.

Istilah pemimpin boneka, tidak terlepas dari pakem citra yang didukung kaum globalis yang bersubahat dengan elite lokal. Esensi demokrasi sebagai produk elite global tak terbantahkan. Demokrasi dalam konteks ini subtansinya palsu. Inilah yang diistilahkan dengan Demokrasi Dajal.

Kedua, demokrasi sebagai hukum besi sejarah. Demokrasi sebagai hukum besi sejarah mengaksiomasikan hukum negatif demokrasi. Artinya, pemenang dalam demokrasi [suksesi pemimpin, misalnya], bukan bersandarkan kualitasnya, melainkan kuantitas pemilihnya. Pemenangnya adalah yang didukung yang banyak.

Sedikit pasti kalah. Oleh karena itu, istilah one man one vote menjadi hukum besi demokrasi. Tidak ada lagi kualifikasi kemampuan per indvidu, baik seorang ulama, tokoh masyarakat dengan "orang setengah waras", misalnya, karena mempunyai hak yang sama.

Namun, manakala yang sedikit ingin menang, syarat utamanya yang wajib dilakukan pastilah memanipulasi, jika tidak mustahil menjadi pemenang. Jadi wajar, jika suatu negara berkomitmen memilih sistem demokrasi [langsung atau perwakilan], selalu bersadarkan pada konstitusinya.

Yang menjadi masalah, misalnya, ada negara yang dalam konstitusinya belum tegas dan jelas antara pilihan langsung dan atau perwakilan. Sikap ini berpeluang terjadinya intervensi halus pihak asing. Sehingga berdampak dalam suksesi seorang pemimpin. Apakah praktik [realitas] ini merupakan bagian dari kepalsuan berdemokrasi?

Ketiga, reformasi adalah deriviasi [turunan] demokrasi. Belajar dari sejarah suksesi negeri ini, sangat berlebihan jika pihak yang ingin menyelenggarakan diskusi terkait tema "pemakzulan seorang presiden", mendapat teror. Belajar dari reformasi 98, banyak kalangan di negeri ini yang keliru terkait penyebab tumbangnya rezim Orde Baru.

Reformasi 98, menurut hemat Saya, mempertegas jika rezim di negeri ini mustahil untuk dimakzulkan. Terlepas dari sisi kekuatan politik pro rezim, yang pasti faktor utama kejatuhan, bukanlah keinginan internal.

Tesis suksesi pemimpin pasca perang dunia ke-2 adalah, "negeri-negeri pasca penjajahan asing [barat] yang kaya sumber daya alam adalah produk kolaborasi asing [kaum globalis] dengan si calon pemimpin."

Belajar dari reformasi 98, semestinya rezim tidak perlu khawatir. Rezim tidak mungkin dapat dimakzulkan. Ibarat pepatah, "jauh panggang dari api". Sejarah pemakzulan rezim dari Orla, Orba dan Reformasi adalah faktor elite lokal yang berkhianat berkolaborasi dengan asing.

Bersandar pada penjelasan Demokrasi Dajal terkait akhir zaman, menurut hemat Saya terdapat dua hubungan simetris-historis. Pertama, "Rasa 65 Baunya 98". Demokrasi Dajal dapat memperjelas berbagai peristiwa dalam praktik bernegara kekinian.

Berbagai peristiwa khususnya terkait isu agama, hukum, kriminal dan politik yang terjadi saat ini, banyak kalangan menyebutkan dengan istilah rasanya seperti tahun 1965, dan baunya serupa 1998 reformasi.

Kedua, sang terpilih adalah produk pemilih. Isu politik sensi terkait "pemakzulan preisden", menjadi paradoks dalam sebuah negara yang berkomitmen berdemokrasi. Rakyat dan penguasa mengalami diskontinuitas.

Maksudnya, mengapa disebut rakyat, karena ada penguasa [pemerintah]. Sebaliknya: mengapa disebut pemerintah, karena ada yang diperintah [rakyat]. Begitupun: Mengapa ada pemakzulan, karena ada pengangkatan, bukan karena ada yang ingin memakzulkan.

Dalam konteks ini, esensinya adalah bahwa pemimpim [yang dipilih] itu adalah representasi [mewakili] yang dipimpim [pemilih]. Adagium pemilihan pemimpin: "Pemilih yang cerdas akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas".

Pertanyaannya: apakah pemilih yang non berkualitas, akan menghasilkan pilihan berkualitas? Tepuk dada tanya selera. ***


Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***