Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Literasi sebagai Media Kritik di Ruang Demokratis
Oleh : Redaksi
Senin | 30-10-2017 | 17:14 WIB
literasi_literasi.jpg Honda-Batam
Ilustrasi literasi. (Foto: Ist)

Oleh Sumaryono

AKHIR-AKHIR ini media kita santer memberitakan kabar akan adanya aksi massa yang akan dilaksanakan bertetapan dengan genapnya tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi di republik ini. Kalangan mahasiswa dan para aktivis sibuk melakukan konsolidasi internal maupun antar element untuk mempersiapkan aksi tersebut.

Santer terdengar seruan-seruan untuk turun ke jalan guna memperingati tiga tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan sekaligus memberikan kritik atas berbagai kebijakan yang dirasa kurang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Dua pertanyaan besar perlu kita renungkan bersama dengan adanya rencana aksi ini. Pertama, apakah kiranya aksi massa turun ke jalan dan mendatangi istana presiden untuk menyampaikan aspirasi tersebut sesuatu yang dilarang? Tentu tidak, asalkan sesuai dengan aturan-aturan yang ada.

Negara kita yang menganut sistem demokrasi menjamin sepenuhnya upaya-upaya warga negara untuk menyampaikan berbagai aspirasi dan tuntutannya yang salah satunya adalah aksi massa. Kedua, apakah aksi massa tersebut efektif dan efisien bagi semua kalangan masyarakat? Ini yang perlu didiskusikan kembali kebermanfaatannya.

Aksi massa mungkin bisa menjadi efektif bagi mereka yang berkepentingan atas aksi tersebut. Setidaknya sebuah aksi dapat menyedot perhatian pemerintah agar melakukan tindakan yang cepat dalam rangka meredam suatu aksi agar tidak menimbulkan aksi-aksi lainnya.

Namun apakah aksi massa itu sepenuhnya efektif bagi semua khalayak ramai, termasuk bagi mereka yang tidak berkepentingan ataupun tidak tahu menahu dengan aksi tersebut? Sebagai bagian dari khalayak Indonesia tentu ini perlu kita renungkan kembali. Hal ini didasari oleh semangat persatuan dan keinginan untuk menciptakan masyarakat yang adil di tengah upaya mewujudkan demokrasi yang sehat, bermanfaat dan tentunya bermartabat di Indonesia.

Hal yang kadang sedikit teranak-tirikan dalam sebuah aksi massa adalah kebermanfaatan sebuah aksi bagi masyarakat yang lebih luas. Ini bukan berarti bahwa sebuah aksi tidak diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di banyak kasus, upaya-upaya aksi dalam rangka mengevaluasi, menyampaikan kritik dan aspirasi kepada pemerintah justru menimbulkan efek kontraproduktif dan inefisien bagi banyak orang.

Tentu masih ingat dibenak kita aksi yang terjadi akhir tahun 2016 lalu tentang upaya kelompok masyarakat menolak dan menuntut penistaan pada satu agama tertentu dalam momen pemilhan kepala daerah di DKI Jakarta. Sebagai sebuah upaya kritis aksi tersebut tidak menjadi masalah, tetapi dampak dari adanya aksi massa ini yang sangat dirasakan betul masyarakat DKI dalam keseharian mereka.

Betapa tidak, aksi-aksi besar tersebut telah mematikan arus lalu-lintas di jalun-jalur penting yang menjadi urat nadi perekonomian Jakarta. Ribuan pekerja, baik di sektor publik maupun swasta harus tertunda bahkan tidak dapat bekerja akibat matinya akses transportasi menuju tempat mereka bekerja. Jika itu sebuah sektor publik, berapa pelayanan yang harus terhenti akibat tidak dapat bekerjanya pegawai-pegawai di sebuah instansi. Tak terbayangkan jika instansi itu adalah instansi kesehatan seperti rumah sakit.


Betapa pasien dan keluarganya cemas akibat tersendatnya sebuah pelayanan di tengah perjuangan mereka untuk sembuh dari sakitnya dan bahkan perjuangan atas hidup-matinya si pasien. Jika kita bayangkan mereka adalah karyawan di perusahaan swasta, berapa kerugian atau omset yang hilang akibat tersendatnya satu pekerjaan di sebuah perusahaan.

Sebuah aksi massa, terlebih dalam jumlah yang begitu besar, juga dapat mematikan mata pencaharian masyarakat. Bisa dibayangkan puluhan bahkan ratusan saudara kita yang mencari harian di jalanan, misalnya sopir taksi dan angkutan umum, tukang ojek, pedagang kaki lima, dan lain sebagainya, yang harus terhenti aktifitasnya akibat adanya sebuah aksi massa.
Sehari mereka terhenti kegiatannya maka sehari itu pula ia tak mendapatkan pemasukan untuk keluarganya.

Ini belum ditambah dengan berbagai kerugian yang diakibatkan oleh tindakan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang merusak berbagai properti baik publik maupun swasta. Kadangkala dalam sebuah aksi massa, meski sebuah aksi bertajuk aksi damai, namun potensi adanya pelanggaran dari oknum-oknum yang terprovokasi yang merusak berbagai fasilitas dan properti bisa saja terjadi. Rusaknya properti publik maupun prifat sudah pasti menjadi kerugian.

Tentu ini juga kerugian bagi pemerintah dan pasti akan menjadi kerugian bagi masyarakat. Lebih jauh, sebuah aksi massa juga pasti berimbas pada iklim ekonomi nasional yang ditandai dengan fluktuasi nilai saham dan mata uang rupiah dalam perdagangan global.

Bagi pemerintah, adanya aksi massa justru menurunkan kinerja pemerintah. Saya sebagai penulis bukan orang pemerintah, bukan juga PNS yang bekerja di instansi pemerintahan. Namun saya dapat merasakan dan membayangkan menurunnya kinerja pembangunan yang dilakukan pemerintah akibat aksi tersebut. Pelayanan publik yang harusnya berjalan menjadi terhenti.

Pembangunan, baik infrastruktur maupun non-infrastruktur seperti pendidikan dan kegiatan pelatihan-pelatihan menjadi kehilangan konsentrasinya bahka tertunda akibat tersendatnya logistik karena adanya sebuah aksi massa. Ini yang harus menjadi perhatian bersama. Bahwa dalam sebuah aksi massa, terlebih aksi yang besar dan berpotensi pada huru-hara, terdapat efek-efek besar yang justru menghambat atau merugikan masyarakat dalam menjalankan aktifitasnya.

Lalu apakah tidak ada solusi lain untuk menyampaikan kritik dan aspirasi? Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan masyarakat dalam rangka memeberikan kritiknya terhadap pemerintah sekaligus menyampaikan aspirasinya sebagai warga negara. Salah satunya adalah dengan menulis.

Dalam hemat saya, negara Indonesia sebagai negara demokrasi sangat menghargai tradisi menulis dan literasi sebagai upaya dalam menyuarakan kritik maupun aspirasi. Di Indonesia sendiri tradisi kritik dan aspirasi melalui tulisan sebenarnya bukan hal baru. Ketika masih berada di bawah tekanan penguasa orde baru, banyak dari para aktivis, pejuang HAM, dan masyarakat kritis menyampaikan pendapat-pendapatnya melalui berbagai tulisan.

Melalui tulisan ini semangat mereka untuk menyampaikan kritik dan sekaligus saling mengedukasi antar-sesamanya dilakukan. Tentu menulis ini harus di dasari oleh pikiran dan pemikiran positif yang dapat dipertanggung jawabkan. Kini di era pasca reformasi, sejauh itu tidak menimbulkan perpecahan, negara menjamin dilakukannya kritik dan aspirasi yang disampaikan melalui berbagai macam bentuk tulisan.

Lalu sejauh mana efektifitas dan efisiensi kritik melalui tulisan itu? Jika melihat efisiensinya, maka menyampaikan kritik dan aspirasi melalui sebuah tulisan jauh lebih efisien dibandingkan aksi massa. Menulis tidak perlu menutup jalan, tidak juga membutuhkan energi yang besar sebagaimana aksi massa. Menulis dapat dilakukan di manapun dan dalam kondisi apapun. Bisa dilakukan di rumah, di sekolah, di kampus, di kantor, dan dimanapun.

Menulis juga tidak membutuhkan banyak biaya sehingga sangat efisien untuk dilakukan. Sehingga dibandingkan dengan aksi massa, menulis ini sangat dan sangat efisien karena tidak menimbulkan dampak sedikitpun terhadap yang lain. Menulis juga menghindarkan dari berbagai potensi pengrusakan berbagai infrastruktur dan property sebagaimana yang kerap kali terjadi dalam sebuah aksi massa.

Sehingga ketika sebuah aksi dilakukan melalui media tulisan, maka tidak ada yang akan terganggu aktifitasnya. Masyarakat yang mengais nafkah di jalanan tetap dapat bekerja. Mereka yang bekerja di sektor publik tetap dapat memberikan pelayanannya dan berbagai toko dan perusahaan tidak kehilangan omsetnya karena mereka tetap dapat beraktifitas sebagaimana biasanya.

Lalu bagaimana dengan efektifitas kritik melalui tulisan itu jika dibandingkan dengan aksi massa? Mungkin sebagian besar orang akan berpendapat bahwa aksi massa lebih efektif dibandingkan dengan sebuah tulisan. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap pendapat tersebut, tapi bukan berarti pendapat yang didukung banyak orang itu sudah pasti kebenarannya.

Sebagai contoh, tengok saja apa yang terjadi dalam aksi massa yang mewarnai Pilgub DKI di akhir 2016 lalu. Ketika terjadi sebuah aksi massa besar, tetapi saat itu Presiden sedang tidak berada di tempat karena sedang ada agenda lain di luar istana. Sehingga aksi tersebut secara substantif tidak dapat menemui sasarannya.

Presiden sebagai kepala negara tentu merupakan sosok yang tingkat kesibukannya cukup tinggi oleh serangkaian agenda pembangunan dan kenegaraan. Tak dapat disalahkan juga jika dalam sebuah aksi massa yang ditujukan pada presiden, tetapi presiden tidak dapat menemuinya karena sedang melaksanakan tugas kenegaraannya. Yang terjadi kemudian adalah presiden mendengarkan aspirasi tersebut dari para pembantu-pembatu presiden dan juga dari sumber-sumber lain seperti media massa dan sebagainya.

Lalu, jika faktanya demikian apa bedanya jika kita menyampaikan sebuah aksi melalui sebuah tulisan? Toh juga presiden dan para jajarannya juga sama-sama mendengar aspirasi tersebut melalui media massa atau melalui surat langsung yang ditujukan kepada presiden. Maka efektifitas menulis dan menyampaikan kritik melalui sebuah tulisan juga menjadi sarana yang efektif dalam menyampaikan kritik dan aspirasi pada pemerintah. Tentunya dengan tulisan jauh lebih efisien dibandingkan dengan aksi massa.

Lalu bagaimana kita dapat menyampaikan kritik dan aspirasi kita melalui sebuah tulisan? Sebenarnya menyampaikan sebuah tulisan kritis bukaanlah haal mudah di era informasi dan teknologi sekarang ini. Banyak media-media massa kita yang menyediakan ruang-ruang atau rubrik yang dikhususkan bagi para penulis yang memiliki opini ataupun kritiknya terhadap pemerintah. Masyarakat dapat memanfaatkan media tersebut.

Media sosial elektronik juga dapat digunakan sebagai media untuk menyampaikan saran, kritik dan aspirasi masyarakat kepada pemeritah. Selain itu, di era kekinian, pemerintah juga banyak menyediakan layanan-layanan untuk menerima berbagai bentuk laporan, saran, dan kritik masyarakat yang bisa dimanfaatkan.

Maka jika masyarakat ingin menyampaikannya, dapat menggunakan media layanan tersebut yang pasti akan disampaikan kepada pemangku kepentingan terkait yang ada di pemerintahan, bahkan bisa juga kepada presiden. Jika masyarakat menyampaikan tulisan-tulisannya secara massif dan informatif, maka saya yakin pemerintah pasti akan merespon berbagai tulisan yang beredar dan masuk tersebut.

Yang juga paling penting dalam sebuah tulisan sebagai media kritik dan aspirasi masyarakat tentu juga efek edukatifnya. Dengan menulis sebenarnya kita meningkatkan pengetahuan dan kepekaan kita akan berbagai informasi. Tulisan yang baik tentu tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran informasinya dan juga konstruktif bagi masyarakat kita. Ini menjadikan kita lebih peka dan selektif dalam mengolah sebuah informasi.

Maka tidak salah kalau menulis itu sebenarnya mendidik diri kita sendiri untuk lebih memahami persoalan-persoalan yang ada sehingga kita tidak hanya menjadi masyarakat informasi saja, tetapi juga masyarakat berpengetahuan. Lebih jauh kritik melalui tulisan juga dapat memberikan edukasi bagi yang lain. Rekan sesame pengkritik dapat bertukar informasi dan pengetahuan sehingga kedewasaan kita dalam literasi semakin hari dapat semakin meingkat. Dan ini menjadi modal besar bagi masyarakat Indonesia untuk terjun di era globalisasi informasi seperti sekarang ini. *

Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis (LSISI) regional Jawa Timur