Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pansus dan Inkonsistensi Pemberantasan Korupsi
Oleh : Redaksi
Kamis | 21-09-2017 | 09:04 WIB
hasil_ott.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Pimpinan KPK saat mengumumkan barang bukti hasil OTT. (Foto: Ist)

Oleh Indah Rahmawati Salam

TIDAKLAH aneh, apabila terbesit dalam pikiran bahwa para koruptor kini tengah gigit jari menghadapi ganasnya OTT KPK (Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi).

Bagaimana tidak, seiring dengan prestasi KPK yang semakin meningkat, mulailah muncul wacana pembubaran atau pembekuan KPK. Mungkin, para elit politis diatas sana sejatinya telah memikirkan berbagai cara sebelumnya, untuk dapat kembali mengeruk keuntungan.

Memang, di bawah era kepemimpinan saat ini, KPK seperti macan kumbang yang siap menerkam siapapun jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu.

Wacana Pembekuan KPK pertama kali disampaikan oleh salah satu anggota DPR dari Fraksi PDIP, Henry Yosodiningrat, yang juga termasuk dalam anggota Panitia Khusus Angket KPK. Hal tersebut dinilai inkonsisten dengan klaim yang kerap disampaikan pihak pansus bahwa mereka ingin memperkuat KPK.

Melihat dari track record sementara, dalam kurun waktu 2004 hingga Juni 2016, KPK telah berhasil membongkar 649 kasus korupsi, dengan jumlah tersangka mencapai 500 orang.

Terdapat beberapa kategori tindak pidana korupsi yang berhasil dicatatkan, yaitu kasus penyuapan, pengadaan barang dan jasa, penyalahgunaan anggara, pungutan liar, perijinan, dan tindak pidana pencucian uang. Jumlah kasus tertinggi yaitu penyuapan, disusul dengan pengadaan barang dan jasa.

Pada akhirnya usulan ini berani untuk dikemukakan setelah terciumnya kasus mega korupsi program E-KTP. Tak perlu heran, jelas saja banyak sekali tokoh-tokoh penting yang dinyatakan ikut terlibat dalam skandal tersebut, dan tentunya akan banyak upaya yang akan dilakukan guna menutupinya.

Karena pada dasarnya, nama perseorangan tersebut akan berdampak pada citra kelompok yang membawahinya. Tak tanggung-tanggung bahkan pimpinan tertinggi dari dewan legislatif, juga ikut terlibat dalam kasus mega korupsi tersebut.

Kini, kasus tersebut tengah mangkrak dikarenakan sang terduga sering mengalami hambatan saat hendak diperiksa oleh tim penyidik KPK, dengan berbagai alasan tentunya.

Selain itu, kinerja KPK juga terhambat dengan adanya Panitia Khusus pembentukan Hak Angket KPK. Pembentukan hak angket bagi KPK merupakan usulan dari 26 anggota DPR yang terdiri dari berbagai fraksi antara lain PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, PKS, PPP, Nasdem, dan Hanura.

Usulan tersebut diawali dengan adanya protes oleh sejumlah anggota Komisi III yang namanya disebut oleh Miryam S Haryani, saat menjadi saksi di persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Fahri Hamzah selaku wakil ketua DPR, dengan dalih untuk menjaga nama baik DPR serta fraksi-fraksi yang terlibat.

Meski demikian, anggota Komisi III, Asrul Sani mengatakan bahwa usulan pembentukan hak angket bukan semata dari adanya keterangan Miryam, melainkan juga dikarenakan adanya Laporan Hasil Pemeriksaan (LPH) Kepatuhan, yang dilakukan oleh BPK terhadap KPK pada tahun 2015.

Dalam LHP tersebut, BPK menyampaikan terdapat tujuh indikasi pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan, terkait pengelolaan anggaran di KPK.

Hingga pada akhirnya, munculah wacana pembekuan KPK selama proses pembuatan hak angket tersebut.

Tak seperti biasanya, sikap fraksi yang selalu bertentangan satu sama lain dalam sejumlah isu di parlemen seperti saat membahas Undang-Undang Pemilu, terlihat cukup kompak dalam menyuarakan hak angket bagi KPK.

Sepintas terlihat bahwa adanya rasa takut apabila kinerja KPK tidak kunjung dikendalikan oleh para elit penguasa.

Polemik ini kemudian cukup menyita perhatian pemerintah pusat, dengan adanya tanggapan langsung dari Ir. Joko Widodo.

“Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah, Oleh sebab itu, kita harus sama-sama menjaga KPK”.

Ketegasan yang disampaikan oleh Joko Widodo menanggapi wacana pembekuan KPK sejatinya telah menjadi sinyal, bahwa usaha untuk melemahkan KPK harus benar-benar dikandaskan.

Karena korupsi merupakan kejahatan terbesar di negeri ini, dan tak boleh adanya celah bagi para pelaku untuk beraksi sedikit pun. Hal inilah yang kemudian harus menjadi dasar bagi KPK, untuk terus melakukan penyelidikan terhadap oknum-oknum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh tokoh lain yang juga mantan Ketua KPK yaitu Abraham Samad yang menyatakan, “apabila agenda-agenda pemberantasan korupsi diberangus, maka yang terjadi bahwa korupsi akan marak lagi seperti tahun-tahun kemarin”.

Tak hanya itu, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang bahwa seruan pembekuan KPK tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh rakyat.

Maka dari itu, masyarakat juga harus ikut mengiringi proses pembentukan hak angket bagi KPK. Rakyat juga memiliki andil dalam mencegah adanya upaya pelemahan terhadap KPK. Karena posisi masyarakat merupakan pemberi aspirasi serta masukan kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan mengemban amanat tersebut.*

Penulis adalah alumni IAIN Jember