Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Romantisme Politik Indonesia
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 01-09-2017 | 09:02 WIB
sby_mega.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Mantan Presiden RI Megawati Soekarno Putri dan SBY bertemu pada peringatan hari Kemerdekaan RI yang ke 72 di Istana Merdeka. (Foto: BBC)

Oleh Ahmad Bireun

KEHADIRAN mantan Presiden Kelima RI Megawati Soekarno Putri dan Mantan Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan hari Kemerdekaan RI yang ke 72 di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin (17/8/2017) merupakan salah satu simbol romantisme terkait dengan situasi dan kondisi perpolitikan Indonesia. Tak ayal apabila pertemuan tersebut menjadi sorotan utama yang menarik perhatian publik seantaro Indonesia.

Hal ini berkaca setelah 13 tahun lamanya, kedua tokoh negara tersebut tidak pernah hadir bersama-sama dalam acara peringatan hari Kemerdekaan RI di Istana Negara, dimana kala itu Megawati Soekarno Putri masih menjabat sebagai Presiden dan SBY menjadi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Namun demikian, ditahun 2014, sejak SBY memutuskan untuk mengundurkan diri dari Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati dan mulai bergriliya untuk mengikuti pemilihan Presiden hingga terpilih, membuat hubungan keduanya menjadi retak, layaknya tak berujung.

Sama halnya ditahun 2009, dimana pada Pilpres kedua bagi SBY dan tetap berivalitas dengan Megawati kala itu hingga dimenangkan SBY sebagai calon petahana bersama dengan Boediono, membuat hubungan keduanya semakin renggang hingga terlihat dari kosongnya kursi undangan terhadap Mantan Presiden Kelima Republik Indonesia.

Praktis, selama dua periode atau sepuluh tahun kepemimpinan SBY, Megawati sebagai kelompok oposisi pemerintah tidak pernah hadir dalam peringatan HUT RI di Istana Merdeka, malah justru diwakilkan oleh sang suami Alm. Taufiq Kiemas dan anaknya yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator pada bidang Kebudayaan Puan Maharani. Biasanya sang putri Mantan Proklamator Soekarno justru lebih memilih untuk memimpin upacara di Kantor DPP PDIP Perjaungan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Setelah PDIP berhasil mengantarkan Jokowidodo ke tampuk tinggi pimpinan pemerintah Indonesia, Megawati untuk pertama kalinya hadir kembali ke Istana sejak perayaan HUT RI tahun 2015. Berbeda dengan SBY, sejak meninggalkan kursi Presiden RI, sejak tahun 2015 dan 2016, dirinya lebih memilih untuk merayakan hari kemerdekaan RI di kampung halamannya di Pacitan, Jatim. Baru kemarin, tepat pada 17 Agustus 2017 kemarin, Megawati dan SBY bisa kembali bersama-sama merayakan hari jadi Indonesia di Istana Merdeka.

Meskipun dalam acara kemarin keduanya tidak berkomunikasi secara langsung satu dengan yang lain, namun demikian kehadirian dua negarawan tersebut sedikit banyak dapat dijadikan simbol bahwasannya romantisme politik Indonesia mulai eksis dan lahir kembali.

Terlebih usai acara, Presiden Jokowidodo mengajak semua mantan Presiden yang hadir untuk masuk ke dalam istana dan berfoto bersama. Megawati mengambil posisi paling tengah diapit Presiden Jokowidodo dan JK.
Mantan Presiden Habibie berada di posisi paling kanan di sebelah Ibu Negara Iriana Jokowidodo, SBY bersama Ibu Ani Yudhoyono mengambil posisi sebelah Ibu Mufidah Jussuf Kalla. Tak hanya itu, setelah acara foto bersama tersebut, semua Mantan Presiden RI melanjutkan kegiatannya dengan jamuan makan siang dan ramah tamah.

Banyak pihak yang berpersepsi bahwa kedatangan Mantan Presiden Keenam RI, SBY ke HUT RI di Istana Merdeka kemarin, diartikan sebagai indikasi adanya kecenderungan persatuan diantara keduanya menjelang Pilpres tahun 2019. Tak sedikit juga pihak yang menyangkal bahwa bertemunya dua partai yang berivalitas selama ini tidak dapat dikaitkan dengan spektrum politik masa depan.

Namun setidaknya dari pertemuan kemarin, semua pihak dapat dikatakan sepakat dengan kata romantisme politik dalam bingkai persatuan dan kesatuan kemerdekaan. Salah seorang pengamat politk dari Universitas Gajah Mada Arie Sujito sempat menuturkan bahwa pertemuan Megawati dan SBY kemarin sedikitnya bisa menunjukan kepada dunia bahwa tidak ada dendam antar para pemimpin bangsa dan cenderung memikirkan kepentingan rakyat selaku kepentingan lebih besar ketimbang persoalan pribadi. *

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Politik Universitas Gajah Mada