Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pajak dan Utang yang Memiskinkan!
Oleh : Redaksi
Minggu | 30-07-2017 | 18:31 WIB

Oleh Edy Mulyadi

"SRI Mulyani Tak Bisa Jawab ke Mana Pengalokasian Utang". Begitu antara lain judul berita sejumlah media online, kemarin.

Berita bersumber dari pertanyaan anggota Komisi XI Haerul Saleh, agar pemerintah menjelaskan alokasi utang yang kian besar dan meresahkan masyarakat. Dia mengajukannya saat rapat kerja terkait penyampaian pendapat akhir mini fraksi dan mengambil keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan di DPR, Senayan, Jakarta, Senin (24/7/2017) malam.

Sejatinya, permintaan Haerul adalah juga kekhawatiran sekaligus keresahan rakyat Indonesia. Adalah fakta, bahwa utang yang per 30 Juni sebesar Rp3.707 trilun ternyata tidak efektif dan tidak memberi dampak positif pada ekonomi, khusunya penciptaan lapangan kerja. Publik berhak tahu, ke mana atau kepada siapa utang itu dialokasikan.

Sayangnya, jawaban transparan dan jujur dari pemerintah inilah yang mahal. Bayangkan, di sebuah acara formal dan terhormat seperti Raker antara DPR dan Pemerintah saja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak bisa (tidak mau?) menjelaskan. Apalagi cuma rakyat biasa yang mengajukan pertanyaan serupa. "Siape elo?" kata anak gaul sekarang.

Tidak jujur dan tidak konsisten
Kejadian di Raker Pemerintah -DPR itu sekali lagi menunjukkan tidak konsistennya Menkeu. Di forum itu Ani, begitu dia biasa disapa, tidak memberi jawaban. Padahal, saat melantik 226 pejabat eselon III di Kemenkeu 19 Juli 2017 silam, dia memerintahkan seluruh pegawai Kemenkeu harus bisa menjelaskan permasalahan keuangan yang ada. Alasannya, masyarakat sudah kritis terkait pengelolaan penerimaan dan belanja negara, khususnya tentang utang negara yang dianggap sudah berbahaya.

Apa boleh buat, sejauh ini Pemerintah memang nyaris tidak menjelaskan untuk apa sebenarnya duit hasil utang itu dialokasikan. Boleh saja Menkeu sesumbar, bahwa dia tahu persis berapa jumlah surat berharga negara yang diterbitkan, tanggal berapa diterbitkan, suku bunganya berapa, dan kapan jatuh temponya. Tapi, semua klaim itu sama sekali tidak cukup.

Selama ini Pemerintah selalu menebar dogma bahwa utang mutlak diperlukan untuk pembangunan. Dalam kalimat lain, Pemerintah menyatakan utang harus dilakukan karena APBN selalu defisit. Terakhir, angka defisitnya membengkak menjadi 2,92%, hanya sedikit di bawah batas yang diizinkan UU yaitu 3%. Pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Besar pasak daripada tiang alias tekor!

Kalau pun benar utang untuk membangun, rakyat berhak tahu seperti apakah wujud pembangunan yang dimaksudkan? Infrastruktur? Proyek apa saja, di mana lokasinya, berapa nilainya masing-masing, siapa kontraktor yang mengerjakan; lokal, asing atau aseng, berapa banyak tenaga kerja yang terserap, siapa saja atau dari mana asal tenaga kerja yang dimaksud itu, dan seabrek pertanyaan lainnya yang menuntut jawaban jujur.

Bahwa Indonesia membutuhkan infrastruktur untuk mengakselerasi pertumbuhan, yes. Tapi tolong jawab rentetan pertanyaan tadi. Rakyat berhak tahu. Karena terkait utang-utang tadi, pada akhirnya rakyat pula yang harus membayar. Di sisi lain, rakyat butuh pekerjaan agar punya penghasilan dan memiliki daya beli. Daya beli atau konsumsi inilah yang sudah lama menjadi pemacu utama pertumbuhan ekonomi kita, tatkala investasi dan ekspor terkulai.

Benarkah pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama belanja Pemerintah? Faktanya APBN 2017 menunjukkan tidak. Prioritas pertama belanja adalah pembayaran bunga, pokok, dan cicilan utang. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp486 triliun. Posisi kedua ditempati pendidikan, yaitu Rp416 triliun. Sedangkan pembangunan infrastruktur yang dijadikan mantra pelelap tidur rakyat justru berada di peringkat ketiga, Rp387,3 triliun.

Dari Rp486 triliun anggaran terkait utang tadi, Rp221 triliun digunakan untuk membayar bunga utang. Ingat, hanya untuk membayar bunga utang (dengan huruf tebal). Angka ini naik ketimbang yang dialokasikan pada APBN-P 2016 yang Rp182 triliun. Sekadar info saja, dalam tiga tahun terakhir rata-rata pembayaran bunga utang naik 18%. Bandingkan dengan periode 2009-2014 yang rata-rata naik 7%.

Suka tidak suka, fakta ini memang sangat mengerikan. Utang dengan segala risikonya sudah memasuki tahap lampu merah. Ini terjadi karena syahwat berutang si pendisain APBN si pendisain amat besar. Sudah begitu, suku bunganya pun sangat tinggi. Rating surat utang Indonesia boleh saja menyandang label investment grade. Tapi, sang Menkeu tetap saja hobi mengobral obligasi dan surat utang dengan bunga supertinggi.

Dengan postur APBN yang menganut prinsip creditors first, tidak keliru kalau kita bertanya, sebetulnya untuk siapakah Ani bekerja? Pernyataan ini jadi sangat relevan, karena membaca rekam jejaknya sebagai pejuang neolib yang gigih. Di tangan Bendahara Negara yang neolib, menyenangkan para majikan asingnya adalah prioritas utama. Segala upaya akan ditempuh untuk itu. Menggenjot pajak, mengurangi bahkan menghapus subsidi, memangkas anggaran, dan tentu saja, membuat utang baru.

Kebijakan yang memiskinkan
Beberapa kebijakan yang diluncurkannya belakangan ini jelas menyiratkan watak neolib yang kental dari perempuan ini. Antara lain, bernafsu mengintip rekening dengan saldo Rp200 juta dan berencana mengenakan PPN bagi gula tebu rakyat. Yang teranyar, si mbak berencana menurunkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta/bulan menjadi disesuaikan dengan upah minimum provinsi (UMP).

Rencana memalak pajak berbasis simpanan Rp200 juta dan PPN bagi gula tebu petani akhirnya dibatalkan. Alhmadulillah. Maklum, hujan protes dari segala penjuru deras berjatuhan. Kita pun berharap rencana menurunkan PTKP pun akan bernasib serupa.

Menkeu sebelumnya, Bambang Brojonegoro dua kali menaikkan PTKP. Pertama, pada 2015, batas PTKP naik dari Rp 2,02 juta per bulan atau dari Rp 24,3 juta setahun jadi Rp 3 juta/bulan atau Rp36 juta setahun. Berikutnya, pada 2016, Bambang kembali mendongkrak menjadi Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta setahun. Alasannya untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Akan sangat ngeri akibatnya jika Ani jadi menurunkan PTKP dari Rp4,5 juta menjadi sesuai UMP. Tolong jeng Ani ajari, bagaimana buruh di Jateng yang menerima UMP Rp 1.367.000 atau di Jatim UMPnya Rp1.388.000/bulan mengatur uang untuk hidup sebulan. Tolong ajari mereka bertahan hidup dengan upah yang begitu kecil plus harus dipotong pajak pula.

Daya beli rakyat dipastikan bakal makin terpukul. Sudah begitu, rakyat yang pendapatannya rendah jadi terjangkau pajak. Sudah jatuh tertimpa tangga, dilindas bajaj pula. Padahal, dengan pendapatan yang relatif baik, daya beli pun membaik sehingga memacu perekonomian. Jangan lupa, 57% ekonomi Indonesia digerakkan konsumsi masyarakat.

Daya beli rakyat turun adalah kata lain dari menjadi miskin. Sangat mengherankan kebijakan Menkeu yang justru akan memiskinkan rakyatnya. Menurunkan PTKP memang bakal menaikkan tax ratio dan mendongkrak penerimaan pajak. Namun apa artinya semua itu kalau harus ditebus dengan kian miskinnya rakyat. Jika ini terjadi, lantas apa bedanya dengan penjajah Kompeni saat menjajah kita?

Pekan lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, Maret 2017 Indeks Kedalaman Kemiskinan pada Maret naik menjadi 1,83. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pada September 2016 yang 1,74. Hal serupa juga terjadi pada Indeks Keparahan Kemiskinan yang naik dari 0,44 jadi 0,46.

Indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin jauh dari garis kemiskinan. Sedangkan Indeks keparahan kemiskinan mengindikasikan ketimpangan pengeluaran antara penduduk miskin.

Kalau indeks kedalaman naik, artinya tingkat kedalaman kemiskinan kian dalam. Jarak antara rata-rata pengeluaran orang miskin dengan garis kemiskinan makin jauh. Akibatnya, upaya mengentaskan penduduk miskin menjadi lebih sulit lagi.

Dengan serenceng fakta tersebut, pertanyaan besarnya adalah; apa prestasi Sri Mulyani bagi perekonomian negeri ini? Adakah kebijakannya yang berfungsi mendorong pertumbuhan, membuka lapangan kerja, mendorong investasi, mendongkrak daya beli/konsumsi, dan pada akhirnya membaiknya kesejahteraan rakyat? Ada?

Yang ada justru sebaliknya. Dia mendisain APBN yang sarat dengan aroma neolib. Pajak terus digenjot, subsidi dipangkas hingga titik nol, utang baru yang lebih besar terus dibuat dan dialokasikan untuk membayar utang lama. Di negeri ini, kemiskinan terjadi bukan semata-mata karena rakyat malas, tapi lebih karena kebijiakan yang memiskinkan.
Jadi, kepada siapa sebetulnya kesetiaan kau berikan? (*)

Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)