Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Optimalisasi Dana Pengentasan Kemiskinan
Oleh : Redaksi
Senin | 14-11-2011 | 17:41 WIB

Oleh Efri S. Bahri, M.Si

KEMISKINAN merupakan tantangan utama pembangunan di Negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh kesenjangan kronis yang terjadi sejak tahun 1960-an hingga krisis yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Upaya penanggulangan telah dilakukan oleh Pemerintah, yang dilaksanakan sejak tahun 1970-an hingga sekarang belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Kondisi kemiskinan di atas membuat daya saing nasional melemah terhadap dunia internasional dan mengakibatkan turunnya harga diri individu dan bangsa Indonesia. (Effendie, 2008:187)

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan hasil survei pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Hasil ini menunjukan penduduk miskin berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan dengan (hasil survei) Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen (dari total populasi). Menurut Arizal Manaf Deputi Statistik Sosial BPS, penduduk miskin didominasi penduduk pedesaan yaitu 20,62 juta jiwa atau 17,35 persen dari total penduduk di desa. Sedangkan penduduk miskin di perkotaan sebesar 11,91 juta jiwa atau 10,72 persen dari total penduduk kota. (ANTARA News, Rabu, 1 Juli 2009)

Sedangkan, berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2011, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen).

Dengan demikian, dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237,6 juta jiwa, berdasarkan data BPS saat ini 13,3 persen atau 31,6 juta orang tergolong miskin. Hal ini menunjukkan betapa tantangan bangsa ini kedepan semakin berat. Tantangan ini perlu dijawab dengan membuat grand desain untuk menjawab berbagai hambatan dalam penanganan kemiskinan.

Dengan pola penanganan masalah kemiskinan saat ini yang melibatkan 19 Kementerian/ Lembaga perlu dilakukan evaluasi sejauh mana efektifitasnya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai efektivitas anggaran negara dalam menurunkan angka kemiskinan pada 2005-2009 turun dibandingkan dengan periode yang sebelumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan LIPI baru-baru ini, pada 2000-2004 setiap kenaikan 1 persen anggaran mampu menurunkan tingkat kemiskinan sekitar 0,4 persen sedangkan pada 2005-2009 kemampuan fiskal tersebut hanya 0,06 persen. Temuan LIPI tersebut didasarkan kepada kenaikan anggaran untuk pengentasan kemiskinan sebesar 394 persen dalam kurun waktu 2000-2009 dari sekitar Rp18 triliun menjadi sekitar Rp71 triliun. Adapun, tingkat kemiskinan berkurang dari 19,1 persen pada 2000 menjadi 14,2 persen pada 2009. Hal ini menjadi salah satu indikasi tidak efektifnya anggaran tersebut, walaupun setiap tahunnya meningkat.

Jadi semakin jelas bagi kita bahwa kemiskinan merupakan permasalahan yang harus segera tuntas karena keadaan kemiskinan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lemah dan tidak bermartabat. Kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi Indonesia dapat kita lihat dari pendekatan konsumsi penduduk miskin, kemiskinan multidimensi dan kesenjangan antar-wilayah. (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2008:15-19)

Pertama, konsumsi penduduk miskin. Masalah kemiskinan dapat kita amati pada tingkat konsumsi penduduk Indonesia. Pendekatan konsumsi penduduk untuk melihat fenomena kemiskinan dapat dilihat dari dua jenis ukuran, yaitu ukuran konsumsi penduduk miskin dan ukuran daya beli. Ukuran konsumsi penduduk miskin diukur dari garis kemiskinan makanan dan non makanan.

Kedua, kemiskinan multidimensi. Fenomena kemiskinan di Indonesia dapat diamati pada berbagai dimensi yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin tidak mampu menikmati pelayanan dasar. Pada tahun 2002, sebesar 52,32 persen rumah tangga miskin hidup tanpa akses air minum. Selain itu, sekitar 43,86 persen rumah tangga miskin hidup tanpa akses sanitasi. Dimensi berikutnya adalah rumah tangga miskin yang memiliki anak usia 12-15 tahun, tetapi tanpa akses pendidikan dasar menengah mencapai 20,76 persen. Kemudian tercatat pula sekitar 27,89 persen rumah tangga miskin yang pernah melahirkan bayi tanpa ditangani tenaga kesehatan terlatih. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa kelompok penduduk miskin sangat jarang menikmati fasilitas air minum, sanitasi, pendidikan dan kesehatan. Secara umum Index Kemiskinan Manusia Indonesia tahun 2005 diperkirakan sebesar 18,19. Kondisi ini lebih baik dibandingkan lima tahun sebelumnya dengan index sebesar 27,75.

Ketiga, kesenjangan antar-wilayah. Masalah kemiskinan dapat kita pahami dari masalah kesenjangan di Indonesia yang sangat kentara ketika kita mengamati indicator Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPMI). IPMI menggambarkan kondisi kesehatan, pendidikan, gizi dan air minum yang dialami penduduk Indonesia. Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004 yang memuat IPMI di masing-masing kabupaten/kota mencerminkan adanya ketimpangan antar daerah yang masih tinggi dalam hal kesejahteraan penduduk miskin di masing-masing kabupaten/kota.

Kelembagaan Pengentasan Kemiskinan

Berdasarkan uraian tersebut di atas mengindikasikan perlunya upaya optimalisasi dana pengentasan kemiskinan baik secara kuantitatif amupun secara kualitatif. Secara kuantitatif, optimalisasi dana pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara pemusatan pengelolaan dana melalui Kementerian yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pengentasan kamiskinan. Dalam hal ini, pengentasan kemiskinan sangat relevan berada di bawah Kementerian Sosial, dengan dua alasan.

Pertama, sesuai dengan UU No.39 Tahun 2008. Berdasarkan UU No.39 Tahun 2008, maka sangat tepat kalau pengentasan kemiskinan khususnya fakir berada dibawah Menteri yang membidangi urusan sosial yakni Kementerian Sosial. Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara Pasal 4 menyatakan bahwa (1) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. (2) Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud   pada ayat (1) terdiri atas: a. urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. urusan pemerintahan   yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  dan c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Penanganan Fakir Miskin merupakan amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945   Pasal 34 ayat 1 menyatakan: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara…”.

Kedua, Prinsip Efisiensi dan Efektifitas. Dengan keberadaan pengentasan kemiskinan di bawah   Kementerian, maka akan sangat efisien karena tidak membuat birokrasi baru,   sarana, prasarana dan SDM sudah tersedia. Dengan keterbatasan dana yang ada   hal ini menjadi relevan sehingga tidak mengurangi alokasi anggaran untuk sasaran program. Efektif karena Kementerian sosial telah   berpengalaman merumuskan kebijakan dan melaksanakan program, serta   mengevaluasi kegiatan secara berkala, bahkan juga memobilisasi peran serta   masyarakat; hanya kurang diberi otoritas yang kuat berdasarkan UU untuk   mengoptimalkan kinerjanya dan menentukan siapa instansi penjuru (leading sector) dari penanganan fakir miskin.

Saat ini kita ketahui bahwa program pengentasan kemiskinan berada dibawah kendali Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah Wakil Presiden. TNP2K dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No.15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan belum ada Undang-Undang yang menjadi payung khususnya. Padahal dana yang dikelolanya demikian besar. Sehingga keberadaan Kementerian Sosial sebagai leading sector sebagaimana yang disepakati dalam Undang-Undang No.13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin yang baru disyahkan di DPR pada Masa Sidang IV Tahun 2011 ini menjadi penting sebagai landasan pengentasan kemiskinan khususnya yang berada pada level fakir miskin sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.

Sumber-Sumber Dana Pengentasan Kemiskinan

Kondisi kemiskinan di Indonesia yang begitu dinamis karena berada di pedesaan dan perkotaan, maka diperlukan sumber-sumber pendanaan yang cukup besar. Sumber-sumber pendanaan untuk pengentasan kemiskinan dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: APBN dan APBD. Sumber dana lainnya adalah berasal dari penghimpunan dana Zakat dan Dana Corporate Social Responsibility (CSR).

Dana APBN dan APBN yang setiap tahun mengalami peningkatan perlu mendapat perhatian agar bisa dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan. Karena APBN dan APBD merupakan mekanisme yang yang menunjukkan bahwa negara hadir di dalam pengentasan kemiskinan.

Selain APBN dan APBN, dana zakat juga perlu terus dimobilisasi melalui penyempurnaan legislasi di bidang perzakatan. Karena zakat merupakan instrumen yang cukup memadai untuk mengoptimalkan dana pengentasan kemiskinan. Dengan nilai potensi zakat nasional bisa mencapai Rp217 trilun setara 3,4 persen total PDB (Irfan Syauqi Beik, 2011), maka dana zakat sesungguhnya merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat di dalam mengentaskan kemiskinan. Apalagi selama ini lembaga pengelola zakat telah menunjukan eksistensinya di dalam pengentasan kemiskinan dengan meluncurkan berbagai program yang sangat kreatif.

Begitu juga dengan dana CSR yang begitu besar jumlahnya, perlu difokuskan untuk pengentasan kemiskinan. Karena perusahaan juga ikut bertanggung jawab untuk membangun bangsa ini agar lebih baik. Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) perlu didorong untuk penanggulangan kemiskinan. Karena, problem kemiskinan perlu di atasi secara bersama.

Strategi Pengentasan Kemiskinan

Salah satu strategi untuk menghadapi masalah kemiskinan tersebut adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Strategi pemberdayaan masyarakat (community development) bertujuan untuk mendorong penduduk miskin untuk secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk menanggulangi kemiskinan yang mereka alami sendiri. Masyarakat miskin bukan sebagai objek melainkan subjek. Keberdayaan penduduk miskin ditandai dengan semakin bertambahnya kesempatan kerja yang diciptakan sendiri oleh penduduk miskin secara kolektif dan pada gilirannya akan memberikan tambahan penghasilan, meringankan beban konsumsi, serta meningkatkan nilai simpanan/ asset keluarga miskin. Keberdayaan penduduk miskin juga ditandai dengan semakin meningkatnya kapasitas penduduk miskin secara kolektif dalam mengelola organisasi pembangunan secara mandiri. (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2008:22)

Strategi ini diterapkan dalam berbagai program yang menggunakan prinsip dasar bahwa apabila mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan secara mandiri, orang miskin dapat berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Prinsip demikian lebih lanjut dituangkan dalam mekanisme pelaksanaan kegiatan yang mengandalkan kekuatan masyarakat miskin setempat dengan fasilitasi dari tenaga pendamping, aparat desa dan  kecamatan. Mekanisme efektif menghidupkan pemberdayaan masyarakat agar mereka mampu merencanakan, membangun dan memelihara hasil kegiatan secara mandiri (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2008:23)

Dengan demikian optimalisasi dana pengentasan kemiskinan dapat ditepuh melalui penguatan legilasi, anggaran dan pengawasan program-program pembangunan. Selain itu juga perlu peningkatan partisipasi masyarakat.

Penulis adalah peneliti di Institut Studi Kebijakan dan Informasi (INDIKASI), Jakarta.