Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyimak Kontroversi Perppu Ormas
Oleh : Redaksi
Sabtu | 22-07-2017 | 09:02 WIB
hti_dibubarkan.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pemerintah. (Foto: Ist)

Oleh Ardian Wiwaha

PEMERINTAH telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 guna menggantikan peranan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tak ayal disisi lain hal tersebut banyak menimbulkan reaksi dan kontroversi di kalangan masyarakat.

Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut dinilai sebagai retorika politik yang dapat membunuh demokrasi di Indonesia hingga pola diktaktorisasi dalam pemerintah.

Namun demikian, tidak sedikit bahwa elemen dan kelompok masyarakat yang mendukung langkah tersebut sebagai upaya terbaik pemerintah dalam menjernihkan pola hidup bangsa Indonesia yang dinilai bahwa selama ini acapkali terdistorsi oleh eksistensi kelompok-kelompok ormas yang radikal dan ekstrimis hingga pola keberadaan mereka yang 'konon katanya' memiliki agenda untuk mengganti landasan konstitusional Pancasila.

Berdasarkan keterangan dari Menko Polhukam, Wiranto dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat (12/7), Pemerintah merasa perlu menerbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 mengenai Organisasi Kemasyarakatan pada 10 Juli 2017.

Wiranto mengatakan bahwa ormas yang ada di Indonesia perlu diberdayakan dan dibina. Namun, masih ada kegiatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal inilah yang menjadi alasan pemerintah menerbitkan Perpu.

Selain itu, pihaknya juga menilai bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas telah tidak lagi memadai sebagai sarana mencegah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, Pemerintah melihat bahwa terdapat kekosongan hukum apabila pihaknya harus membuat Undang-Undang baru, karena harus diakui bahwa penyusunan sebuah Undang-Undang membutuhkan waktu yang lama.

Mantan Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) RI tahun 1998 ini juga menegaskan bahwa perpu tersebut diterbitkan lantaran tidak terwadahinya asas hukum administrasi contrario actus atau asas hukum bahwa lembaga yang seharusnya mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya serta tidak untuk membatasi kewenangan ormas, apalagi mendeskreditkan ormas Islam. "Perpu ini justru untuk merawat persatuan dan kesatuan NKRI." *

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia