Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Garuda yang Rugi dan Mimpi Terbang Tinggi
Oleh : Redaksi
Minggu | 18-06-2017 | 17:29 WIB

Oleh Edy Mulyadi

"GARUDA INDONESIA Bantah Alami Kebangkrutan." Begitu judul berita satu media on line yang tayang kemarin, Senin, 12 Juni 2017. Bantahan datang langsung dari Dirut PT Garuda Indonesia Tbk Pahala N. Mansury.

Sebagai mantan bankir, Pahala lantas menyorongkan sederet angka terkait kinerja keuangan perusahaan penerbangan pelat merah yang dikomandaninya itu. Menurut dia, sejak kuartal dua 2017, misalnya, kinerja keuangan Garuda mulai membaik.

Di sisi lain, mantan Direktur Bank Mandiri itu mengakui tiga bulan pertama memang Garuda kena hajar rugi. Kinerja minus itu disebabkan beberapa hal. Antara lain, kenaikan harga bahan bakar avtur. Dalam setahun terakhir belanja avtur naik 54% dari US$189,8 juta di kuartal pertama 2016, menjadi US$292,3 juta di tahun berikutnya.

Pada kuartal pertama Garuda mengumumkan rugi sebesar US$98,5 juta. Jika dihitung dengan kurs Rp 13.300 saat laporan disampaikan, maka kerugian itu setara dengan Rp 1,31 triliun. Padahal pada kuartal yang sama tahun sebelumnya, perseroan sukses mengukir laba US$1,02 juta. Meski begitu, Pahala menilai anggapan sejumlah kalangan, bahwa kerugian tersebut bakal membangkrutkan perusahaan, adalah terlalu berlebihan.

Sebagai komandan baru yang baru saja didapuk jadi nakhoda Garuda pada April 2017 silam, tentu saja Pahala harus bekerja ekstra keras dan ekstra cerdas. Sejumlah jurus telah disiapkan. Antara lain fokus pada peningkatakan efisiensi, pembenahan rute, dan integrasi dengan anak perusahaan (City Link) juga BUMN lain. Untuk soal integrasi manajemen bakal memperhatikan dari semua aspek, terutama soal pricing dan, lagi-lagi rute.

Bicara soal efisiensi, ini memang hukum besi perusahaan. Jangankan buat yang babak-belur dan terancam bangkrut, bagi bisnis yang sedang moncer pun efisiensi tetap saja musti dilakukan. Itulah sebabnya Pahala bermaksud menggenjot efisiensi khususnya pada bahan bakar dan operasional. Pada saat yang sama, perseroan juga kudu fokus mendongkrak jumlah penumpang. Soalnya, dari sinilah sumber pendapatan utama mengalir.

Terus, bagaimana dengan rute? Dia mengakui ada beberapa rute penerbangan baik domestik maupun mancanegara yang rugi karena sepinya penumpang. Setidaknya ada 10-20 rute dalam daftar yang tengah dikaji. Rute-rute kurus dan 'membakar duit' pasti bakal diamputasi. Sebaliknya, rute-rute gemuk dan menghasilkan laba akan terus dipompa frekwensinya.

Kekhawatiran lama?

Obrolan sepuar rute gemuk-kurus, biaya bahan bakar, dan Tingkat keterisian penumpang alias load factor ini jadi celetukan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Agustus 2015. Waktu itu, hanya selang sehari paska pelantikannya, dia minta maskapai milik negara tersebut membatalkan rencana pembelian sejumlah besar pesawat berbadan lebar. Alasannya, rencana tersebut bakal mendorong Garuda ke tubir jurang kebangkrutan.

Bagi RR, begitu dia biasa disapa, Garuda memang punya sejarah emosional tersendiri. Maklum, saat menjadi Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, dia sukses menyelamatkan perusahaan yang hampir kolaps itu. Pasalnya, Garuda dibelit utang senilai US$1,8 miliar dari konsorsium bank Eropa yang tidak mampu dibayar.

Persoalan menjadi serius, karena pihak kreditur Eropa mengancam akan menyita semua pesawat Garuda. RR yang paham adanya praktik pat gulipat dalam penyaluran kredit untuk pembelian pesawat di Garuda, akhirnya justru menutut balik konsorsium bank Eropa. Pasalnya, mereka terindikasi menerima bunga dari kredit dengan ekstra 50%. Akibatnya lumayan dahsyat. Para bankir tadi minta damai dan sepakat merestrukturisasi utang Garuda.

Karena pengalaman itulah, dia tidak mau Garuda membeli 30 Airbus A350 untuk penerbangan ke Amerika dan Eropa. Bagi Garuda, melayani trayek long distance ke Amerika dan Eropa sama saja dengan 'membakar duit'. Load factor penumpang rute tersebut sangat minim, di bawah 30%.

Jangankan Garuda, sejumlah maskapai jagoan, seperti Singapore Airlines dan Cathay Pacific, yang selama ini melang-melintang di rute itu saja mulai kelimpungan. Mereka tidak mampu bersaing dengan maskapai milik negara-negara Timur Tengah. Maklum, buat mereka avtur sangat murah, sehingga kontribusi dalam total komposisi biaya jadi rendah.

Utang kegedean

Penolakan RR atas belanja pesawat berbadan lebar dengan jumlah besar juga disebabkan sumber dananya berasal dari China Aviation Bank. Konon, jumlahnya mencapai US$44,5 miliar. Jumbonya nilai pembelian juga mengundang tanda tanya. Apa iya, harga pesawat-pesawat tadi semahal itu?

Kalau kita klik situs http://www.airbus.com/presscentre/pressreleases/press-release-detail/detail/new-airbus-aircraft-list-prices-for-2015/, maka harga resmi sebiji pesawat A350XWB, adalah US$351,9 juta. Jadi, kalau Garuda memborong 30 unit, US$10,557 miliar. Kalau kenapa pinjam duit sampai US$44,5 miliar. Lalu, selisihnya yang US$33,94 miliar kemana? Dengan kurs Rp13.300/US$, fulus senilai Rp452,4 triliun itu buat apa? Atau, untuk siapa?

Eh, ngomong-ngomong duit Rp452,4 triliun itu banyak banget, lho. Itu artinya, RR bukan cuma ingin menyelamatkan Garuda dari banyang-bayang kebangkrutan. Dia juga bahkan berusaha menyelamatkan duit negara dalam jumlah yang teramat sangat banyak dari penggunaan yang tidak jelas dan pasti tidak bisa dipertanggungjawabkan!

Mungkinkah apa yang kini dialami Garuda adalah warning yang sejak dua tahun silam disampaikan Rizal Ramli? Namun satu hal yang pasti, bahwa Garuda babak-belur hingga merugi Rp1,31 triliun di kuartal pertama 2017 adalah fakta. Memang bisa banyak yang jadi penyebabnya. Sengitnya persaingan bisnis adalah kambing hitam yang sering hadir untuk menutupi kelemahan. Tapi bisa juga hal itu sejatinya karena salah urus, salah hitung, serampangan dalam memutuskan aksi korporasi, atau yang lainnya.

Kita berharap, maskapai pelat merah ini bisa segera recovery. Kita bermimpi Garuda bakal terbang tinggi. Terbang tinggi sekali dengan membawa kebanggaan anak bangsa di belantara hiruk-pikuk ganasnya samudra merah bisnis penerbangan. Semoga. (*)

Penulis adalah Direktur Program Centre for economic and Democracy Studies (CEDeS)