Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menelisik Sejarah Pengusiran Belanda dari Tanah Cenderawaih
Oleh : Redaksi
Jum'at | 02-06-2017 | 09:02 WIB
jas-merah-soekarno.jpg Honda-Batam
Ilustrasi Jasmerah. (Foto: Ist)

Oleh Usman Toni

HAMPIR 60 tahun sudah Papua yang dahulunya bernama Irian Barat bergabung ke dalam NKRI. Polemik demi polemik yang dari dahulu hingga sekarang menyelimuti langit Papua tak dapat dilupakan dalam benak persejarahan nasional.

 

Masih eksisnya beberapa kelompok orang Papua yang mempermasalahkan integrasi Papua ke dalam NKRI, seolah menambah catatan pelik bagi kita semua untuk menyadarkan para provokator tersebut dengan memberikan pengertian tolerir agar membuka tabir sejarah terdahulu.

Konferensi Meja Bundar 1949

Meskipun deklarasi kemerdekaan Indonesia telah mengumandang penuh pada 17 Agustus 1945, Belanda yang tidak menerima hal tersebut empat tahun kemudian memkasa pemerintah Republik Indonesia agar melangsungkan sebuah pertemuan lanjutan yang dalam hal ini Konferensi Meja Bundar (KMB), guna menyepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, kecuali Papua Barat yang dijanjikan akan dikembalikan Belanda ke pangkuan NKRI dua tahun kemudian.

Tri Komando Rakyat

Takdir berkata lain, isi kesepakatan KMB yang sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah pihak antara Belanda dan Republik Indonesia ternyata diingkari oleh Belanda dalam pelaksanaanya. Belanda tidak hanya sekedar bertahan di tanah Papua lebih dari dua tahun, serta mempersiapkan langkah-langkah untuk memisahkan Tanah Papua dari NKRI.

Dewan Nasional Papua yang dibentuk oleh Belanda atau merupakan cikal bakal Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam waktu kurang lebih dua tahun ternyata membuat keputusan untuk mendeklarasikan negara boneka buatan Belanda pada tanggal 1 Desember 1961.

Kelicikan Belanda untuk membuat negaara boneka tersebut tentu saja membuat bangsa Indonesia naik pitam. Hal ini tergores kuat dari isi pidato Bung Karno pada 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Yogyakarta, yang menyatakan dengan lugas bahwa Trikora atau Tri Komando Rakyat, sebuah operasi militer diciptakan guna mengembalikan Irian Barat kepangkuan NKRI dari tangan licik negara Belanda. Tak dapat dielakan sebuah konfrontasi lahir antara Belanda dan Indonesia.

New York Agreement

New York Agreement merupakan salah satu upaya diplomasi yang difasilitasi oleh PBB, yang menghasilkan kesepakatan tentang road map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/irian Barat dan menciptakan sebuah Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku pada 21 September 1962.

Sama halnya dengan Belanda, agar mereka tidak kehilangan wibawa dimata internasional, pada akhirnya Belanda pun juga ikut serta untuk menyerahkan kekuasaan Belanda atas tanah Papua ke tangan PBB, dengan tujuan agar kedepannya, proses referendum (PEPERA) dapat senantiasa dilakukan.

Penyerahan tersebut oleh Belanda dilakukan pada 1 Oktober 1962 dimana Wakil Gubenur Jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaanya atas Papua Barat kepada PBB dan menjadi awal tanda lahirnya UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), sebuah lembaga pihak ketiga yang memediasi sekaligus merekonsiliasi polemik perebutan Papua sebagai tanah kemerdekaan sebuah bangsa.

Referendum (PEPERA)

Salah satu sejarah yang akan terus terkenang oleh ibu pertiwi terjadi pada 1 Mei 1963, United Nations Temporary Executive Authority atau yang dikenal dengan UNTEA resmi menyerahkan pemerintahan Papua bagian Barat kepada Indonesia. Hollandia yang kala itu menjadi pusat kekuasaan kerajaan Belanda di tanah cenderawasih, secara tegas diubah namanya menjadi Kota Baru.

Sehingga momentum 1 Mei tersebut hingga saat ini diperingati sebagai hari kembalinya Papua ke pangkuan NKRI.

Tiga hari kemudian tepat pada 4 Mei 1963, ketika Presiden Pertama Indonesia Bung Karno memnjejakan kakinya di Tanah Papua, dihadapan ribuan masyarakat Papua di Kota Baru, Bung Karno dengan semangat kemerdekaan menyampaikan sebuah pidato yang menegaskan bahwa sejak 17 Agustus 1945, Irian Barat merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Polemik kekuasaan antara Republik Indonesia dan Belanda kala itu mulai menapaki titik terang ketika tahun1969, referendum (PEPERA) digelar dan disaksikan oleh dua utusan PBB dan menghasilkan keputusan bahwa Papua resmi menjadi provinsi ke 26 Indonesia dengan nama Irian Jaya.

Meskipun proses referendum telah dilaksanakan, tak pelak bahwa masih banyak koloni Belanda yang memanfaatkan kesempatan untuk tetap memperebutkan Irian Barat dengan cara menetang keputusan PEPERA dan mengajukan tuntutan ke Perserikatan Bangsa—Bangsa (PBB) agar keputusan tersebut dapat diuji kembali dalam Sidang Majelis Umum PBB. Namun demikian, setelah mengalami proses pengujian oleh Majels Umum PBB, pada akhirnya hasil PEPERA tetap disahkan sebagai Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 tanggal 19 Okober 1969.

Kekayaan tanah papua, baik suku, budaya, manusia, maupun Sumber Daya Alam (SDA) nya, hingga saat ini tetap menjadi idola bagi bangsa-bangsa serakah untuk membentuk dan membiaya pergerakan-pergerakan non etis tak beradab, berjuang untuk menyuarakan proses referendum ulang.

Tanah Papua yang kaya raya, menyimpan segudang harta karun bangsa Indonesia menjadi landasan tersendiri bagi bangsa-bangsa biadab untuk terus memprovokasi topik kembalinya Papua ke tangan NKRI. Memang diperlukan sebuah tenaga ekstra bagi kita semua, untuk menyadarkan para orator dan provokator gerakan pemisahan diri Papua dari NKRI, agar memahami makna dan perjuangan bersama rakyat Indonesia dan Papua dalam membangun tanah cenderawsih.

Papua merupakan NKRI, sebuah provinsi yang berdiri atas perjuangan dan darah keringat para pendahulu Bangsa Indonesia. “JAS Merah, Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah.” Bung Karno. *

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia