Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ayo, Taati Undang-Undang Saat Berunjuk Rasa
Oleh : Redaksi
Sabtu | 13-05-2017 | 09:02 WIB
ilustrasi-demo.png Honda-Batam
Ilustrasi aksi demo. (Foto: Ist)

Oleh S. Riyanta

KEBUTUHAN warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum telah diakomodasi oleh negara melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

 

Unjuk rasa sebagai cara untuk menyampaikan pendapat di muka umum harus dilakukan dengan ketaatan terhadap UU No 9 Tahun 1998. Jika unjuk rasa melanggar Undang-Undang tersebut maka kegiatan tersebut termasuk kategori inkonstitusional yang bisa ditindak dengan tegas oleh penegak hukum.

Sebagai suatu hak warga negara, menyampaikan pendapat di muka umum dengan wujud unjuk rasa adalah sah. Namun sering kali unjuk rasa tersebut hanya menimbang sisi sebagai hak warga negara, sisi lain yaitu kewajiban untuk mentaati Undang-Undang yang mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum kadang justru dilanggar.

Dalam menyampaikan pendapat di muka umum, sesuai dengan pasal 6 UU No 9 Tahun 1998, warga negara wajib untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain. Pasal ini juga mengatur kewajiban untuk menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peserta unjuk rasa juga wajib untuk menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Paling penting dalam pasal 6 UU No 9 tahun 1998, terutama dihadapkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah kewajiban warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum untuk menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini harus dijaga dan disadari oleh seluruh warga negara Indonesia.

Sesuai pasal 9 UU No 9 Tahun 1998 disebutkan bahwa unjuk rasa dapat dilaksanakan di tempat terbuka untuk umum, kecuali; di lingkungan istana Kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan laut, bandara, stasiun KA, terminal, dan obyek-obyek vital nasional, serta pada hari besar nasional. Perlu ditegaskan bahwa Istana Kepresidenan dan tempat ibadah adalah tempat terlarang untuk unjuk rasa, apalagi sebagai sasaran unjuk rasa.

Selain hal tersebut di atas, pada pasal 9 UU No 9 Tahun 1998 juga mengatur bahwa peserta penyampaian pendapat dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum. Kewajiban untuk memberitahukan rencana unjuk rasa secara tertulis kepada Polri selambat-lambatnya 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai juga diatur sebagai kewajiban warga negara sesuai pasal 9 UU No 9 Tahun 1998.

Aturan tentang tempat unjuk rasa dan kewajiban untuk lapor 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai harus ditaati oleh warga negara yang melakukan unjuk rasa. Apapun nama, motif, dan tujuan unjuk rasa, aturan main harus dijalankan. Aparat penegak hukum tidak perlu khawatir untuk bertindak tegas dalam menegakkan aturan tersebut.

Ketegasan aparat terutama dalam tindakan untuk membubarkan unjuk rasa dijamin oleh pasal 15 UU No 9 Tahun 1998. Pasal tersebut dapat diartikan bahwa unjuk rasa dapat dibubarkan jika melanggar aturan tentang lokasi, larangan membawa benda yang membahayakan keselamatan umum, dan tidak melakukan pemberitahuan tertulis kepada Polri. Selain dapat dibubarkan oleh Polri, peserta unjuk rasa yang melanggar hukum dapat dikenakan sanksi hukum (pasal 16).

Tujuan orang atau kelompok menyampaikan pendapat di muka umum adalah agar pendapatnya diketahui secara luas dan aspirasinya dapat disalurkan, didengarkan, dan dilaksanakan. Namun tidak jarang ada pihak yang menyampaikan pendapat di muka umum dengan cara-cara tertentu untuk memaksakan keinginannya. Pihak-pihak ini melakukan cara-cara yang menunjukkan kekuatannya sebagai senjata agar keinginannya dipenuhi.

Unjuk rasa kemungkinan juga dilakukan karena pihak pelaku unjuk rasa tersebut tidak bisa atau tidak mau menggunakan cara formal seperti lewat gugatan hukum atau peradilan. Kemungkinan lain adalah pihak ini memang tidak mungkin melalui cara gugatan hukum atau peradilan karena sadar bahwa hal tersebut tidak didukung atau bertentangan dengan undang-undang. Akhirnya cara unjuk rasa dengan mengerahkan kekuatan massa dilakukan.

Demokrasi di Indonesia sudah mempunyai mekanisme bagi warga negara untuk menyampaikan pendapatnya terutama melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh masyarakat untuk menjadi legislator. Wakil-wakil rakyat inilah yang seharusnya bisa menggali dan menampung suara aspirasi masyarakat yang memilihnya, kemudian aspirasi tersebut dikaji untuk diwujudkan dan dilaksanakan melalui kewenangannya dalam badan legislatif.

Dengan banyaknya unjuk rasa di Indonesia tentu akan memunculkan pertanyaan apakah legislator sebagai wakil yang dipilih langsung oleh rakyat tersebut belum bisa maksimal menjadi saluran aspirasi pemilihnya? Tentu negara ini akan lebih indah jika pendapat dan aspirasi masyarakat bisa ditampung dan dikaji dalam suatu lembaga legislatig yang terhormat sehingga dapat diaplikasikan sesuai dengan perundangan yang berlaku. Jika legislator, yang seharusnya menjadi wakil rakyat untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya, kurang maksimal maka menjadi suatu kewajaran jika kegiatan menyampaikan pendapat terjadi di jalanan.

Menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang, dengan syarat kewajiban untuk mentaati Undang-Undang tersebut dilaksanakan. Keinginan dan kepentingan pihak tertentu wajar saja disampaikan melalui pendapat di muka umum, namun jangan sampai keinginan dan kepentingan pihak tertentu tersebut justru mengalahkan kepentigan masyarakat atau negara yang lebih luas. Banyaknya massa yang menyampaikan pendapat belum tentu menggambarkan bahwa kepentingannya bermanfaat untuk masyarakat luas apalagi untuk negara.

Berlindung dibalik banyaknya massa dan dengan situasi yang seolah sulit dikendalikan, bukan menjadi pembenaran untuk melanggar Undang-Undang. Demokrasi di negara Indonesia harus dipertahankan agar tidak mengarah kepada suatu kegiatan yang inkonstitusional. Salah satu cara untuk tetap mempertahankan negara yang menjunjung tinggi demokrasi adalah dengan mentaati dan menegakkan Undang-Undang yang berlaku.*

Penulis adalah alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.