Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Refleksi HUT Kemerdekaan RI ke-66

Kemerdekaan Semu
Oleh : redaksi/ shodiqin
Rabu | 17-08-2011 | 17:59 WIB

Oleh: Ivan Irivandi

ENAM puluh enam tahun yang silam negara ini telah memproklamirkan kemerdekaannya, ditandai dengan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno 17 Agustus 1945. Ini merupakan momen yang paling dinanti-nantikan oleh seluruh masarakat Indonesia semenjak dijajah ratusan tahun yang silam. Momentum ini disambut dengan suka cita, kegembiraan begitu tampak. Rakyat tumpah ruah turun ke jalan-jalan untuk merayakannya.

Waktu terus bergulir sampailah pada hari ini, 17 Agustus 2011. Setiap tahun masyarakat memperingati hari kemerdekaan Indonesia dengan segala pernak perniknya, kantor–kantor dihiasi sedemikian rupa, rumah-rumah dipasang bendera sebagai simbol penghormatan untuk hari yang sangat bersejarah ini serta dimeriahkan pula dengan perlombaan di mana-mana.

Namun sadarkah kita, masih banyak saudara-saudara kita yang lain belum merasakan kemerdekaan?

Bangsa ini masih disibukkan dengan permasalahan yang tak kunjung selesai. Angka pengangguran 9,25 juta, angka kemiskinan 13,3 %, angka anak putus sekolah 1,08 juta serta 3,03 juta siswa tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Padahal Undang-Undang sudah memberikan porsi anggaran yang cukup besar di sektor pendidikan yaitu 20 %. Namun samapai hari ini realisasinya masih dipertanyakan.

Sungguh ironi bangsa yang begitu besar, memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah ditunjang lagi dengan sumber daya manusia yang memadai namun tidak menjadikan negara ini makmur. Malah, yang terjadi negara ini semakin terpuruk dalam segala hal. Salah satu penyebabnya adalah korupsi yang sudah menjadi kultur dan mendarah daging di negeri ini. Para koruptor semakin merajalela dan menancapkan kukunya di setiap sektor. Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak.

Hukum tak tegak doyang berderak derak. Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, di negeriku sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang susah dicari tandingan (Taufik Ismail).

Puisi diatas tidaklah berlebihan rasanya untuk menggambarkan kondisi realita bangsa ini. Mafia pun tidak ketinggalan mengambil perannya. Mulai dari mafia pajak, mafia peradilan dan lain sebagainya. Bangsa ini sedang sakit parah, bangsa ini butuh generasi baru yang belum tersentuh dengan hal-hal yang negatif. Generasi yang punya tanggungjawab moral. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan bangsa ini adalah dengan memangkas generasi. Karena selagi generasi korutor ini masih ada dalam setiap institusi, maka dia akan terus menularkan hal-hal negatif kepada generasi baru yang masuk ke dalam institusi tersebut. Jika dibiarkan terus menerus, maka regenerasi kejahatan ini akan melahirkan embrio-embrio kejahatan yang baru. Tansparency Internasional Indonesia merilis peringkat indeks korupsi (IPK) tahun 2009 berada pada posisi 111. Posisi ini naik dari posisi tahun 2008 yakni diperingkat 126. Untuk ASEAN Indonesia berada pada posisi 5.

Kemerdekaan hari ini merupakan kemerdekaan semu dan hanya seremonial belaka. Tapi subtansi kemerdekaan bagi masyarakat Indonesia masih jauh panggang dari api. Masyarakat Indonesia masih
dijajah dengan kemiskinan, kebodohan dan pengangguran. Kemerdekaan secara tidak langsung telah membentuk kasta di masyarakat. Masayarakat yang bisa menikmati kemerdekaan ini adalah mereka
yang kaya raya (kasta elit). Dengan uang, mereka bisa membeli apa saja yang mereka inginkan termasuk hukum di negeri ini. Sedangkan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan (kasta
jelata) tidak bisa menikmati kemerdekaan. Tidak ada keadilan bagi mereka. Karena keadilan di negeri ini hanya bagi mereka yang ber-uang. Mereka selalu tertindas hak-haknya sebagai warga Negara. Begitu juga Hukum dinegri ini seperti mata pisau yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Mereka selalu menjadi korban ketidakadilan hukum yang berlaku. Sebenarnya mereka bosan dan lelah menjadi bulan-bulanan. Namun tidak ada tempat untuk mengadu.

Kemerdekaan yang kita rindukan adalah kemerdekaan yang mengangkat harkat, derajat dan martabat rakyat Indonesia, kesamaan hak serta kesejahteraan sosial. Dalam Undang-Undang Dasar sudah sangat jelas dikatakan di sana hak-hak yang harus diberikan negara untuk rakyatnya. Namun implementasi ini yang masih menjadi pertanyaan dan perdebatan. Terlepas dari itu semua yang diharapkan masyarakat tidaklah muluk-muluk, cukup mereka diperlakukan sama seperti manusia yang lain dalam segala hal (keadilan) tanpa pandang bulu. Apakah mereka pejabat atau rakyat jelata.  Sesuai dengan sila ke lima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan itu hakikatnya terletak pada jiwa (moral) sang hakim bukan pada peraturan atau Undang-Undang. Sekalipun ada Undang-Undang yang sempurna namun sang hakim terlalu mengikuti hawa nafsunya, niscaya undang-undang tersebut bisa diselewengkan maka tidak ada keadilan di sana.

Dalam memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-66 ini, mari sama-sama kita introspeksi peranan kita di masyarakat, sudahkah kita mampu memberikan manfaat bagi saudara kita
yang lain.

Masyarakat boleh saja bergembira memperingati kemerdekaan Republik Indonesia, tentu dengan sewajarnya serta harus memiliki rasa tepo sliro terhadap saudara-saudara kita yang lainnya sehingga kita mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Kita berdoa mudah-mudahan kemerdekaan yang kita harapkan mampu terwujud di masa yang akan datang.

Penulis adalah Kabid Kaderisasi dan Bina Komisariat Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PD KAMMI) Kepulauan Riau.