Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jurus Menghadang Radikalisme di Indonesia
Oleh : Redaksi
Jum'at | 01-05-2015 | 12:56 WIB

Oleh: Syarif Anwar Mahendra*

SECARA umum Islam terbagi atas tiga golongan,yaitu Islam Fundamental (tradisional), Islam Moderat dan Islam Radikal. Dari tiga golongan tersebut, Islam Radikal merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian serius. Upaya ini perlu dilakukan mengingat dalam melakukan aksinya, Islam radikal cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, bahkan tidak jarang justru keluar dari ajaran agama Islam yang sesungguhnya. Seperti pembunuhan, aksi bunuh diri, perampokan dan lain sebagainya.

Menurut Prof. Dr. Achmad Gunaryo (2011), Al-Qur’an dan hadis adalah dua senjata ampuh yang mereka gunakan untuk mencuci otak kader-kader muda potensial. Mereka menyiapkan berbagai ayat dan teks hadis untuk melakukan indoktrinasi dan konstruksi paradigma dalam memandang makna hidup. Dengan metodologi yang teruji, mereka mampu mengubah pandangan hidup, keyakinan, dan pemikiran kader-kader muda sesuai dengan target yang ditetapkan. Kepatuhan terhadap pemimpin adalah absolut tanpa reserve.

Dalam konteks sejarah, kaum radikalis muslim ini lahir dari kontestasi politik antara konservatisme kelompok Ali bin Abi Thalib dan pragmatisme kelompok Mu’awiyah yang melahirkan kaum Khawarij. Menurut Harun Nasution (2009), khawarij memahami ajaran dalam al-Qur’an dan hadis secara tekstual dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Iman dan paham mereka sederhana, fanatik dan sempit akalnya. Salah satu ajarannya adalah pemimpin yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam wajib dijatuhkan atau dibunuh. Mereka tidak mentolerir penyimpangan, walau dalam bentuk kecil. Namun kelompok ini juga mempunyai pandangan progresif dan demokratis, yaitu pemimpin harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Dr. A. Malik Madani (2011), mengutip pendapatnya Ahmad Amin mengatakan bahwa salah satu ciri kelompok khawarij adalah ekstrim, eksklusif, dan radikal. Bahkan mereka membandingkan ibadah mereka dengan Rasulullah SAW. Mereka merasa lebih baik karena intensitasnya beribadah kepada Allah lebih banyak. Sedangkan ibadah tidak hanya vertikal, tapi juga horisontal. Inilah yang tidak mereka pahami dengan baik dan seimbang.

Masyarakat Indonesia pun sempat dikagetkan dengan pemberitaan media massa dengan kabar adanya pelajar SMK di Jambi berusia 18 tahun yang menyerang dan menyendera ayah dan adiknya. Tindakan tersebut diduga karena terpengaruh paham Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Hal ini cukup mengejutkan dan menjadi perhatian serius pemerintah dimana anak-anak pun kini telah menjadi sasaran kelompok-kelompok radikal untuk merekrut dan menyebarkan paham dan ideologinya. Kondisi psikologi yang belum stabil dan rasa keingintahuan yang tinggi menjadi penyebab mudahnya pengaruh paham radikal diterima anak-anak.

Salah satu strategi kelompok radikal dalam menyebarluaskan pahamnya adalah dengan menggunakan media sosial, seperti facebook, twitter dan lainnya. Kemudahan mengakses berbagai media, kondisi negara yang tidak stabil dan pola penyampaian doktrinisasi yang mudah diterima remaja menyebabkan paham ini cepat berkembang dan menghipnotis jiwa-jiwa muda mereka.

Kejadian tersebut menjadi cambuk besar bagi pemerintahan Jokowi-JK bahwa ternyata pemerintah belum mampu melindungi segenap bangsa Indonesia. Padahal kenyataannya struktur atau perangkat untuk mencegah aksi radikalisme di indonesia cukup kompleks, seperti Perangkat Perundang-Undangan dan Pancasila, lembaga pemerintah dan bahkan begitu banyak tokoh agama di Indonesia. Kompleksitas tersebut tentu seharusnya menjadi modal yang kuat dalam menghalau berbagai aksi radikalisme yang akan masuk ke Tanah Air.

Seperti yang disampaikan oleh Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto bahwa Indonesia memiliki banyak tokoh agama yang berpengaruh dan instrumen yang kuat seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Kementerian Agama serta Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan.

Terkait hal tersebut, tindakan pemerintah dalam memblokir situs/website berbau radikal merupakan langkah yang tepat. Pemerintah harus bersikap tegas dengan memposisikan sebagai garda terdepan dalam menghalau upaya penyelundupan doktrin-doktrin radikal masuk ke masyarakat. Salah satunya tentu media sosial. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Ismail Cawidu bahwa, Kemkominfo telah memblokir 22 situs/website yang bernuansa radikal. Ada 22 situs internet radikal yang diadukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Berdasarkan surat bernomor No 149/K.BNPT/3/2015 tentang Situs/Website Radikal ke dalam sistem filtering Kemkominfo.

Selain itu, hal yang harus dikembangkan di tanah air adalah dengan mengembalikan nilai-nilai dasar Pancasila ke dalam sanubari masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya tindakan menyimpang di tanah air salah satunya disebabkan karena menurunnya nilai, moral dan rasa cinta tanah air Indonesia.

Padahal tanpa bermaksud mengenyampingkan sila-sila lainnya dalam pancasila, makna pancasila dalam sila pertama dan kedua telah menyiratkan agar masyarakat Indonesia berketuhanan, menghargai perbedaan pandangan agama dan bersikap adil kesesama manusia, bukan justru sebaliknya. Secara umum makna sila pertama dan kedua adalah yaitu :

Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa; menuntut setiap warga negara mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan tujuan akhir, baik dalam hati dan tutur kata maupun dalam tingkah laku sehari-hari. Konsekuensinya adalah Pancasila menuntut umat beragama dan kepercayaan untuk hidup rukun walaupun berbeda keyakinan.

Sila Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab; mengajak masyarakat untuk mengakui dan memperlakukan setiap orang sebagai sesama manusia yang memiliki martabat mulia serta hak-hak dan kewajiban asasi. Dengan kata lain,  ada sikap untuk menjunjung tinggi martabat dan hak-hak asasinya atau bertindak adil dan beradap terhadapnya.

Untuk itu, kiranya seluruh element bangsa harus mampu bekerjasama dalam memberantas aksi-aksi radikalisme tersebut. Karena bagaimanapun juga sebagai negara dengan mayoritas muslim pemerintah tidak akan mudah mendeteksi kaum radikal tanpa bantuan dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus mampu menyaring hal-hal yang layak atau tidak layak menjadi sumber rujukan mencari ilmu agama. Upaya ini dilakukan tentu guna membentengi diri dari paham radikal tersebut.

*) Penulis adalah Peneliti Muda Pada Pusat Kajian Toleransi dan Kesetaraan Nusantara.