Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Abunya akan Selimuti Seluruh Negeri

Bila Merapi Meletus Lagi?
Oleh : Tunggul Naibaho
Selasa | 14-12-2010 | 03:59 WIB

Sepi pantai Sekupang
Mandang Kerlip Singapur benderang
Ada apa Sultan di Sebrang
Hingga rakyat tabuh genderang

 

Belum hapus benar 'habuk' vulkanik merapi menyaput yogyakarta, bara panas wedus gembel belum lekang, sungkawa pun belum pupus. 275 nyawa melayang, belum lagi harta benda yang ikut musnah.

Namun begitulah, tanpa dinyana, dari istana negara Jakarta, dari sidang kabinet terbatas yang membahas Jogyakarta, Presiden SBY menyatakan: ' tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi'.

Rakyat Jogya terpana, kontemplasi satu dua hari, karena tidak mampu untuk segera terkejut. Namun kini baru mereka tersentak, terkejut, bahkan terguncang.

Ucapan SBY dirasakan rakyat Jogya melebihi panasnya wedus gembel. Ucapan SBY yang meluncur dari mulutnya dirasakan laksana semburan lahar yang membakar. Rakyat Jogya pun meradang menggelar sidang Rakyat, menuntut: referendum!

SBY salah paham, bahkan ada yang mengatakanya tidak tahu sejarah hingga disebut 'Malin Kundang'. Ada apa denganmu??

Rakyat Jogya marah, karena merasa identitasnya akan dicabut, kedaulatanya ditawar ulang dihadapkan dengan sistim demokrasi ala barat.

Rakyat Jogya, mulai dari tukang becak sampai akademisi, pedagang maupun pegawai, pemandu wisata hingga pengamen jalanan, semua tumplek di gedung DPRD DIY di jalan Malioboro, mengerek bendera, menutut karena digugat: Referendum!

Referendum bukan lagi menyangkut nasib Sultan atau Gubernur, tetapi menuntut pisah.

Bagi rakyat Jogya, tinggal Sultan milik mereka yang tersisa, peninggalan sejarah, jatidiri yang melekat ke masa lalu mereka. Sultan yang bukan sekedar simbol, tetapi Sultan yang memerintah!

Sultan yang tidak memerintah bukanlah Sultannya rakyat Jogya, dan rakyat Jogya hanya mau diperintah oleh Sultan! Deklarasi 5 September 1945 oleh Sultan Hamengkubuwono dan Sri paku Alam, adalah sebuah perjanjian suci antara NKRI dengan rakyat Jogyakarta melalui Soekarno dan Sultan.

Kedaulatan adalah substansi pembentuk kekuasaan. Whereas sovereignty created by history.

Keistimewaan Jogjakarta secara konstitusional diakui nyata oleh konstitusi Indonesia, mulai dari UUD 1945, UUD RIS, UUD 1950, maupun UUD 1945 hasil amandemen.  Keistimewaan itu kemudian diatur dengan UU, dan keistimewaan yang diatur hanya terletak pada masa jabatan, syarat, dan tata cara pengangkatan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah,  berbeda dengan propinsi lain di Indonesia, yaitu: ditetapkan!

Keistimewaan Jogjakarta yang terletak pada penetapan Kepala Daerahnya, sesungguhnya telah diatur sejumlah UU sepanjang perjalanan Republik Indonesia ini. Berurut mundur, mulai dari UU No 32 Tahun 2004, UU No 22 tahun 1999, UU No 5 tahun 1974, UU No 18 tahun 1965, UU No 1 Tahun 1957, dan UU No 3 Tahun 1950.

Selain Jogjakarta, sebenarnya ada 4 wilayah lain setingkat propinsi yang juga mempunyai keistimewaan yaitu Jakarta (dari segi wilayah, sebagai daerah khusus ibukota), Aceh (dari segi hukum, penerapan syariat Islam), Papua dan Papua Barat (adanya Dewan Adat, selain DPRD).

Kedaulatan adalah substansi pembentuk kekuasaan. Sedangkan kedaulatan diciptakan oleh sejarah.

Kekuasaan setiap negara dan pemerintahan memiliki khas tersendiri, yang itu dibentuk berdasar ciri daripada kedaulatanya. Kekuasaan tidak boleh mengambil ciri di luar dari jatidiri kedaulatan yang telah membentuknya.

Sedangkan kedaulatan membawa gen tersendiri yang diberikan oleh sejarah yang melahirkanya.

Negara Australia, meski memiliki pemerintahan sendiri, tetapi karena kulit putih Australia yang berkuasa disana adalah orang-orang Inggris yang dibuang ke benua itu, maka hingga saat ini, kepala negara mereka tetaplah Raja/Ratu Inggris.

Inggris pun demikian, Raja/Ratu berbagi kedaulatan dengan rakyatnya, sehingga pemerintahan negara tersebut dipegang oleh seorang Perdana Menteri sedangkan Raja/Ratu sebagai Kepala Negara.

Lalu bagaimana dengan Sultan Jogyakarta?

Sesungguhnya Sultan Hamengkubuwono tidak lagi memiliki tahta, karena lewat deklarasi 5 September 1945 sesungguhnya tahta sudah sepebuhnya diberikan kepada rakyat Jogya, Tahta untuk Rakyat, demikian dikatakan Sultan Hamengkubuwono IX ketika menyatakan bergabung dengan NKRI.

Mengapa demikian? Sebagai Sultan atau Raja tentu dia tidak boleh tunduk pada kekuasaan siapapun, termasuk pemerintah Republik Indonesia, yang kala itu presidenya adalah Soekarno. Karena itulah, untuk menjaga kedaulatan Keraton Jogyakarta, maka Sultan Hamengkubuwono yang telah menundukan diri kepada kekuasaan NKRI, menyerahkan kedaulatanya kepada rakyatnya.

Berkaca pada Du Contract Social JJ Rousseau, maka Deklarasi 5 September 1945 tersebut sesungguhnya merupakan pactum unionis dari rakyat Jogya kepada Sultan, dan secara bersamaan juga merupakan pactum subiectionis, yang dilakukan Sultan secara pribadi dan menyatakan akan tunduk dan patuh kepada pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesa.

Untuk itu, sebagai konsekwensinya, rakyat Jogya tidak bisa diperintah oleh kekuasaan lain, selain kekuasaan Sultan. Memerintah rakyat Jogya harus melalui Sultan, tidak bisa langsung.

Jika demikian maka, bagi Rakyat Jogya, jika  Sultan tidak memerintah, sama halnya menjajah mereka.

Karena itu sungguh sangat menggelikan ucapan mantan rektor UGM, Ichlasul Amal, yang mengatakan cara-cara yang ditunjukan rakyat Jogya dengan menggelar sidang rakyat adalah cara-cara PKI. Sungguh aneh, mengapa  perkataan semacam itu bisa keluar dari mulut Ichlasul Amal, seorang intelektual yang sebenarnya cukup lama hidup berdampingan dengan rakyat Jogya.

Bahkan dia menuduh Sultan mendiamkan hal itu, karena Sultan ingin dirinya dan keturunanya menjadi Gubernur seumur hidup.

Apakah Ichlasul Amal tidak dapat merasakan bahwa, dalam konteks NKRI, yang berdaulat di Jogya itu rakyat Jogya, bukan Sultan. This not about sovereignty of King, but sovereignty of People to The King.

Sultan berdaulat dan sekaligus menjadi pemegang kedaulatan hanya dalam konteks Jogyakarta.

Sidang rakyat Jogya sudah digelar. Sebentar lagi sidang rakyat Indonesia juga akan digelar di DPR RI untuk membahas RUUK DIY. Kita tunggu saja.


Bila Merapi meletus lagi

Abunya akan slimuti sluruh negeri