Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

HKTI Minta Pemerintah Hapuskan Istilah Ketahanan Pangan
Oleh : Surya Irawan
Jum'at | 10-12-2010 | 16:31 WIB

Jakarta, Batamtoday - Sekjen HKTI Benny Pasaribu menghimbau pemerintah untuk menghilangkan istilah ketahanan pangan dari dokumen negara dan menggantikan dengan swasembada pangan. Sebab dengan swasembada pangan berarti pemerintah telah memiliki tiga kekuatan yakni kemandirian, kedaulatan dan ketahanan.

“Kalau ketahanan pangan itu bisa berarti impor beras dipertahankan. Kalau ketahanan pangan dipertahankan hanya menguntungkan segelintir mafia beras dan pengusaha beras. Sementara petaninya tetap miskin. Karena itu harus istilah ketahanan pangan harus dihilangkan, “ ujar Benny dalam dialektika demokrasi bertajuk “Menyoal Ketahanan Pangan, Impor Beras Jadi Tumpuan“ di gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Jum’at (11/12/2010). Turut hadir sebagai pembicara Wakil Sekjen HKTI Djoko Eddie Abdurrahman, Ketua Komisi IV DPR RI Ahmad Muqowam dan Ferry Juliantoro (Ketum Dewan Tani Indonesia).

Benny tak mengelak impor beras merupakan penyakit kronis pemerintah. Meskipun telah mengalami pergantian beberapa kali Menteri dan DPR, namun importer beras tetap berlangsung dengan pelaku yang sama. “Selalu ada margin besar dan keuntungan yang ditarik oleh mafia beras dalam impor beras di Indonesia”.

Ditambahkan Benny, pertanian merupakan sektor kantong kemiskinan di Indonesia. Pasalnya pertanian hanya memberikan kontribusi terhadap Gross National Product (GDP) hanya 13 persen, sementara lapangan kerja lebih dari 41 persen. Benny pun menyesalkan beras di pasar domestik lebih dikuasai oleh swasta dibandingkan Bulog. Karena Bulog tak akan mampu persoalan beras ketika swasta telah mengatur kartel.

 “Jika pemerintah menyerahkan soal penanganan beras, jagung, telur ke mekanisme pasar, berarti pemerintah telah melanggar UUD 45 pasal 33 ayat (2). Jadi negara harus menguasai soal itu, dan tidak boleh melepaskan penanganan itu, “ ujar mantan anggota DPR RI itu.

Hal senada dikatakan Ferry bahwa impor beras merupakan penyakit kronis pemerintah dan bukti kekalahan negara dari mafia beras. Bulog dinilai tak fungsional alias mandul karena hanya menguasai tujuh persen beras di Indonesia. Karenanya diperlukan stabilisator atau instrument beras yang selama ini tak dilakukan. “Bulog selama ini hanya mencari untung. Itu keluhan dari pedagang besar dalam penguasaan beras di Indonesia, “ ujarnya.

Fery berpendapat dalam masalah impor beras, komisi IV DPR RI yang membidangi masalah pertanian tak serius menanggulanginya. Sebab seluruh anggota komisi IV terlalu “asyik” dengan kesibukannya mengurusi daerah pemilihannya masing-masing, dalam menyeleraskan program-program Departemen Pertanian. “Impor beras akhirnya dinikmati oleh importer dan siapapun yang menikmati importisasi beras tersebut. Karena itu sudah saatnya DPR dan komisi IV DPR RI membela kaum petani, “ katanya.

Achmad Muqowwam, DPR sama sekali tidak ada niat untuk melepaskan ketahanan pangan khususnya beras. Hanya saja regulasinya selama ini tidak fokus untuk memandirikan ketahanan pangan dimaksud. “Hanya saja kalau masalah impor beras, itu hubungannya dengan Menteri Perdagangan dan Bulog dengan komisi DPR yang lain. Sedangkan Komisi IV DPR hanya soal budi daya pertanian, perikanan dll,” kata politisi PPP itu.

Ketahanan pangan Sama halnya dengan jutaan hektar kelapa sawit. Fisiknya lanjut Muqowwam, ada di Indonesia, tapi pemiliknya kita tidak tahu. Yang jelas regulasi, aturan dan perundang-undangannya harus dipertegas untuk melindungi dan mem-back-up petani dan pertanian dalam rangka mempertahankan kemandirian pangan Negara.