Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Natal Haruslah Melawan Rezim Penindas, Melawan Kemiskinan
Oleh : Redaksi
Selasa | 24-12-2013 | 16:28 WIB

Oleh: Sihol Manullang*

PENYAIR
legendaris India, Rabindranath Tagore (1861-1941) pemenang Nobel Sastra pertama dari Asia (1913), suatu kali menulis: seni adalah adalah tamu yang menetap. Lalu, apa yang menjadi 'tamu menetap' dalam setiap perayaan Natal? Tentulah lagu 'Malam Kudus', karya Pastor Josef Mohr (1792-1848) and Franz Xaver Gruber (1787-1863). Lagu ini pertama kali diperdengarkan pada malam Natal 24 Desember 1818, di Gereja Santa Nicholas, Oberndorf, Salzburg,  (Austria). Malam Natal 2013 ini, usia lagu itu akan persis 193 tahun.

Apa makna Natal? Dengan menelusuri lagu 'Malam Kudus', makna Natal akan terjelaskan. Lagu itu lahir dalam situasi rakyat Austria yang menderita, sehabis Perang Napoleon.

Bagi Josef Mohr (penulis lirik) dan Franz Xaver Gruber (koordinator pemain organ yang membuat melodi/lagu), Natal tahun 1818 adalah sebuah kenestapaan. Organ gereja sedang rusak, dalam hati Josef bertanya: "Apa yang disuguhkan kepada jemaat di malam yang khusuk?" Lahirlah sebuah lirik, lalu dibawa ke Gruber untuk dibuatkan lagu/melodi – hari itu juga.

Maka Natal adalah kenestapaan, kerinduan pada kebenaran, keinginan memahami hal-hal surgawi untuk membantu manusia menghadapi persoalan duniawi. Maka implementasi Natal bukan hanya keyakinan pada Sang Khalik, tetapi juga perbuatan di dunia.

Keyakinan Kristiani, implementasi ketaquaan kepada Tuhan adalah dengan mencintai sesama ciptaan Tuhan. Adalah omong kosong jika bilang cinta Tuhan, tetapi tak peduli pada kesejahteraan sesama manusia, atau malah menyakiti orang lain.

Dalam konteks inilah Bunda Teresa membantu sesama, tanpa melihat latar belakang agama mereka, dan Bunda Terasa tidak mempengaruhi keyakinan orang-orang yang dia bantu.

Salah satu sajak WS Rendra, bisa dianggap sebagai intisari Natal:

Jangan sebut dirimu kaya, jika tetanggamu makan bangkai kucingnya
Lambang negara ini mestinya trompah dan belacu


Trompah dan belacu adalah simbon kemiskinan, maka negara yang gagal mengurangi kemiskinan mestinya mengganti lambang negaranya menjadi trompah dan belacu. Maka semangat Natal juga keberpihakan kepada yang lemah, semangat perlawanan terhadap rezim penindas.

Maka, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang selama ini sudah sangat kritis membela yang lemah, masih tetap perlu mendampingi kaum tertindas agar memperoleh hak-hak sesuai harapan para pendiri republik ini.

KWI, PGI dan tokoh-tokoh lintas agama lainnya, diharapkan menjadi 'Ratu Adil' yang membebaskan rakyat kecil dari penindasan, mengakhiri perampasan tanah (perampasan hak hidup) rakyat kecil.

***

Kalau kita mencoba mengurai garis besar pemikiran Kekristenan kontemporer tentang perlawanan terhadap penindas, sedikitnya dua aliran. Aliran pertama meyakini, pemerintah di dunia adalah rezim yang direstui Tuhan. Maka perlawanan terhadap pemerintahan penindas (pemerintah yang gagal mengurangi angka kemiskinan), harus dialamatkan sebagai permohonan kepada Tuhan. Jadi jemaat tidak bisa melawan pemerintah secara langsung, biarlah Tuhan yang bekerja.

Keyakinan ini dilakoni para agamawan Alkitab, tanpa pergeseran sedikit pun. Ini sebabnya, pemerintah selalu didoakan dalam setiap kebaktian Kristiani. Dalam doa-doa 'syafaat' di gereja, selalu ada butir permohonan kepada Tuhan agar memberi berkat dan kekuatan kepada pemerintah. Sejak awal, Yesus memang membedakan pemerintahan dunia dengan kuasa surgawi.

Tetapi, penafsiran ini bukan tanpa kritik. Sebab, jika diasumsikan bahwa pemerintahan di dunia selalu direstui Tuhan, apakah artinya Tuhan juga merestui penindasan yang dilakukan setiap rezim? Apakah pemerintahan yang tidak pro rakyat di mana angka kemiskinan malah bertambah, juga direstui Tuhan? Menjadi pertanyaan juga, apakah Tuhan memihak yang menang, atau memihak yang benar?

Kritik-kritik itulah yang melahirkan penafsiran kedua: sedikit 'penambahan' dari yang pertama: Pemeluk agama harus dibantu melaksanakan agamanya. Jikalau suatu rezim pemerintah menindas hak-hak ekonomi rakyat, sehingga membuat rakyat menjadi miskin, maka pemerintah harus dilawan.
 
Jikalau kemiskinan meraja-lela, rakyat tidak bisa melaksanakan agama dengan benar. Maka para pemuka agama tak cukup hanya dengan memohon kepada Tuhan, tetapi harus bertindak nyata.

Pemahaman inilah yang melatarbelakangi para agamawan di Amerika Latin, Fr Gustavo Gutierrez dan kawan-kawan untuk mengkoordinasi perlawanan kepada rezim penindas. Mereka menyebutnya sebagai teologi pembebasan (theology of liberation). Suka tidak suka, 'aliran' ini lebih mengakar di kalangan aktivis dan teolog modern.

Sejarah mencatat, ketika buku tentang teologi pembebasan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, rezim Soeharto langsung melarang peredaran buku tersebut. Untung Kyai Abdurrachman Wahid (Gus Dur) mengembangkan paham ini dengan caranya sendiri, dan serial diskusi tentang paham ini difasilitasi YLBHI. Sekarang, buku tentang paham ini tidak dilarang, tetapi kemiskinan malah bertambah.

Entah mana yang lebih baik: dilarang tetapi kemiskinan tidak besar, atau tidak dilarang tetapi kemiskinan malah bertambah. Kita hendak mengatakan, betapa demokrasi ini membutuhkan biaya sosial yang sangat tinggi. Rezim penguasa, harus membiayai kegiatan politiknya dengan berbagai cara, sehingga mau tidak mau harus melupakan kebijakan pro rakyat.

***

Dalam Natal 20013 ini, apakah topik aniaya terhadap hak-hak ekonomi politik rakyat masih masih relevan? Sangat relevan. Protes dengan bakar diri mahasiswa di depan istana, petani menjahit mulut, dan, banyak lagi.

Bahkan, di jaman modern ini, jumlah orang miskin bertambah pesat. Namun sayangnya, bukannya menggenjot ekonomi yang pro rakyat, pemerintah hanya mengubah ('mengedit') definisi orang miskin – sehingga seakan-akan jumlah orang miskin berkurang. Padahal, derajat kenestapaan kian meningkat, derajat aniaya ekonomi kian dahsyat.

Maka perayaan Natal haruslah senantiasa sebagai keberpihakan kepada kaum lemah, kaum papa. Agar manusia bisa menyerupai/mendekati Sang Pencipta, hanya dengan jalan perbaikan kesejahteraan. Selamat Hari Natal 2011.

Dan, simpanlah penggalan dua sajak WS Rendra berikut:

Aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya
Aku melihat wanita bunting antri uang pensiunan
O Allah! Kelaparan adalah tangan-tangan hitam yang memasukkan segenggam
tawas ke dalam perut para miskin...


* Penulis adalah Pemimpin Redaksi Baranews