Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Tak Bisa Hilangkan Kebhinekaan
Oleh : Surya
Kamis | 24-10-2013 | 16:07 WIB

BATAMTODAY.COM Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menegaskan jika Indonensia tak bisa menghilangkan kebhinnekaan, pluralitas, kemajemukan, dan keragaman bangsa.

 

Sebab, berdirinya bangsa in fakta sejarahnya terdiri dari bangsa-bangsa yang tersebari di seluruh kepulauan Indoensia, yang memiliki 726 bahasa, etnik, agama, budaya, dan golongan, menjadi satu dalam Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai dasar negara bangsa ini. Namun, dari keragaman itu tak bisa menjadi tunggal, atau uniform.

Demikian disampaikan Jimly Asshiddiqie dalam sosialisasi 4 pilar bangsa yang digelar MPR RI bersama ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Kamis (24/10/2013). Juga hadir sebagai pembicara pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Yudi Latief.

"Keragaman, pluralitas, dan kebhinnekaan itulah yang kemudian menjadikan cara berpikir kita dalam memahami bangsa ini. Sebagaimana dalam sumpah pemuda; satu bangsa, satu bahasa, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan," ujarnya.

Hanya saja Orde Baru menurut Jimly, lalu memaksakan bahasa Indoensia dan keragaman lainnya, sehingga dalam keterangan Unesco, banyak bahasa daerah yang hilang. Karena itu, negara ini mengakui dan  menghargai bahasa daerah.

"Jadi, bahasa Indonesia tak boleh menghilangkan bahasa daerah. Itu pula yang menjadikan cara berpikir dalam otonomi daerah, membangun daerah. Sehingga ada yang namanya otonomi khusus, daerah istimewa, dan otonomi seluas-luasnya," kata Jimly.

Dengan demikian dalam cara berpikir konstitusi kita pun lanjut Jimly, sudah mengadopsi prinsip-prinsip integrasi, dan karenanya harus kita pelihara bersama pluralitas tersebut. Tapi, dalam acara resmi harus menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula sebagai warga negara semuanya sama, dan tak boleh ada diskrirminasi dari beragamnya agama, suku, etnik, bahasa, budaya, dan sebagainya.

"Mau pejabat, mantan pejabat, ulama, rakyat biasa, mahasiswa, semuanya sama. semua harus menjunjung tinggi kemanusiaan dan kebangsaan ini," tambah Ketua DKPP ini.

Sedangkan Yudi Latief menjelaskan jika bangsa Indonesia ini merupakan cerminan dari kesilaman (lampau), dan pembaruan (modern) dengan keragaman dan persatuannya. Mengapa? Karena sejak berdirinya 1945, Indonesia sudah beragam.

Diibaratkan anggur, dalam bangsa ini ada anggur Jawa, anggur Sunda, anggur Minang, anggura Batak, anggur Papua. anggur Ambon, anggur Dayak, anggur Bali, anggur Aceh, anggur Tionghoa, Arab, Eropa dan lainnya.

"Beda dengan Amerika Serikat sebagai jajahan Inggris dan Perancis, kemunculannya langsung menjadi negara baru. Sisa-sisa Inggris dan Perancis disingkirkan dan dibuang begitu saja baik secara politik dan kenegaraan, maka seutuhnya AS itu sebagai negara baru. Tidak demikian dengan Indonesia," tegas Yudi Latief.

Menurutnya, Indonesia sebelum dan sesudah lahir sudah beragam, baik agama, suku bangsa, etnik, budaya, tradisi dan sebagainya. Ada Islam, Kristen, Hindu, Budha, kepercayaan, animisme, dan bahkan Konghucu.

"Indonesia ini potret zaman batu dan postmodernisme, di mana siang ini orang bisa makan siang di Jakarta, tapi makan malamnya di Amerika. Ajaibnya, Indonesia ini sepakat membentuk bangsa yang baru, yaitu Indonesia," ujar Yudi.

Dikatakan Yudi, suku itu kaki sehingga dalam sebuah negara bangsa Indonesia ini banyak kakinya; ada kaki Jawa, Sunda, Bali, Papua, Ambon, Batak, Dayak, Aceh, Minang, China, Arab, dan lainnnya dengan berbagai bahasanya, tapi masuk dalam radar bersama bernama Indonesia.

Karena itu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. "Keragaman semua itu menjadi warisan bangsa ini," tambahnya.

Kebangsaan secara horisontal pun lanjut Yudi, Indonesia ini merupakan persatuan dari keragaman, juga dari struktur demografis-biologisnya dan sebagainya.

"Kebudayaan dan kulitnya juga lengkap; hitam Papua, hitam Ambon, sawo matang, merah Mentawai, kuning Sumatera, dan lain-lain. Jadi, ketika Indonesia merdeka sudah mencerminkan seluruh keragaman (Islam, Kristen, Hindu, Budha, kepercayaan, Jawa, Minang, Sunda, Bali, Maluku, Papua, Tionghoa, Arab, keturunan Eropa, lelaki dan perempuan. Tidak demikian dengan Amerika. Karena itu Indonesia ini sebagai taman sarinya dunia,"  tuturnya.

Jerman pun gagal dalam multikulturalisme. "Tapi, di Indonesia, apakah Tionghoa, Arab mau jadi pemimpin silakan. Hari raya nasional agama saja semua agama dan Konghucu pun terakomodir. Karena itu, AS jangan berlagak sebagai negara demokrasi dan HAM, kalau masih terjadi diskriminasi dalam politik negaranya. Misalnya lebih memilih kulit hitam daripada perempuan, maka wajar kalau Presiden Barack Obama mengakui Pancasila sebagai ideologi besar dunia, karena berbeda-beda tapi satu, dan dengan semangat gotong royong,"  tegasnya.

Hanya saja dia menyayangkan UU Pemilu kita menggunakan sistem PT (parliamentary threshold), sehingga secara politik kebangsaan tanpa disadari menggerogoti bahkan menyingkirkan keragaman, pluralitas, dan kemajemukan bangsa ini, karena kelompok minoritas secara agama, etnik, suku, budaya, dan tradisi sebagai aset bangsa ini tidak terwakili di DPR RI.
   
Editor : Surya