Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

CAPEX BUMN Seharusnya Rp 1.000 Triliun

5 Rekomendasi HIPMI Bagi Pemerintah dan Otoritas Moneter
Oleh : sumantri
Senin | 28-03-2011 | 10:26 WIB
M._Ridwan_Mustafa_dan_Erwin_Aksa_(Ketua_Umum_HIPMI).jpg Honda-Batam

PKP Developer

M. Ridwan Mustafa dan Erwin Aksa (Ketua Umum HIPMI)

Batam, batamtoday - Percepatan pembangunan, baik manufaktur maupun infrastruktur, akan mampu memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia padas tahun 2011 mencapai dua digit, sementara pada tahun 2010 pertumbuhan berkisar antara 5,5-6,0 persen.

 

Untuk itu salah satu sektor penopang merekahnya perekonomian adalah belanja modal (Capital Expenditure/CAPEX) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang harus ditingkatkan dari Rp 300 triliun menjadi Rp 1.000 triliun.

Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesi (BP HIPMI), M. Ridwan Mustafa, dalam sebuah acara di Batam, beberapa waktu lalu menyatakan, ada 5 poin yang direkomendasikan HIPMI pada Pemerintah dan Otoritas Moneter di Indonesia, untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi Nasional. 

"Percepatan Pembangunan Nasional sejatinya adalah perhatian semua elemen bangsa, jika tidak mempersiapkan diri dalam menjawab tantangan pasar global, alih-alih dapat memenuhi target pertumbuhan ekonomi, yang ada kita selalu menjadi tujuan market pasar global yang semakin dinamis dan kompetitif," ujar M. Ridwan Mustafa, kepada batamtoday, usai pelantikan Ketua KADIN Kepri oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat.

Poin pertama dari rekomendasi tersebut adalah, mengusulkan atau lebih tepatnya mendesak Pemerintah untuk memberdayakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk menggenjot akselarasi percepatan pertumbuhan pembangunan.  Pasalnya rata-rata BUMN yang ada di Indonesia, memiliki aset sekitar Rp 2.000 triliun, dan hanya Rp 300 triliun yang digelontorkan oleh masing-masing BUMN untuk belanja modal (CAPEX) pertahunnya.

"Ini memprihatinkan, jika CAPEX BUMN ditargetkan Rp 1.000 triliun pertahunnya, niscaya akan mempercepat pertumbuhan pembangunan yang lebih akselaratif dan membuat sektor pembangunan lebih 'imune' terhadap  terjangan krisis," Papar M. Ridwan Mustafa.

Poin kedua adalah mendesak Pemerintah untuk menggenjot investasi China ke Indonesia, sebagai barter atas membanjirnya produk Negara Tirai Bambu tersebut di market Indonesia, yang dinilai sangat prospektif. Ridwan mengungkapkan China sebaiknya diwajibkan membiayai pembangunan infrastruktur dan manufaktur jangka panjang, sebagai barter dari bebasnya produk-produk China yang berkeliaran di pangsa pasar Nasional dalam berbagai bentuk.

Poin ketiga menurut dari rekomendasi HIPMI adalah Indonesia harus menyiapkan insentif yang memadai bagi industri-industri yang disepakati direlokasi dari China ke Indionesia. Indikator utamanya menurut Ridwan yakni, adanya tren kenaikkan dari biaya produksi di China akhir-akhir ini, buktinya sampai saat ini sudah ada beberapa industri dalam tahap proses relokasi ke Indonesia.

Poin keempat dari rekomendasi HIPMI adalah pengawasan atau kontrol pemerintah dan Bank Indonesia terhadap Kartel bunga pinjaman lunak untuk sektor UMKM, yang disalurkan oleh berbagai Bank, baik bank pelat merah Bank Devisa maupun bank Umum.

"Meski belum cukup bukti terhadap Kartel bunga bank, namun faktanya suku bunga pinjaman bagi dunia usaha, utamanya UMKM masih memberatkan," tegas Ridwan.

Poin terakhir atau keliam dari rekomendasi HIPMI adalah pengawasan secara objektif, lagi-lagi terhadap dunia perbankan yang dinilai banyak dari sisi kuantitas namun minim penyaluran kredit lunak dengan beban bunga yang tidak memberatkan. Akibatnya terjadi kemiskinan pada tingkat kompetisi dari produk pinjaman, karena sebab utama diatas yaitu bunga yang tinggi yang tentunya sangat memberatkan bagi dunia usaha.

Jika Pemerintah menerapkan usulan HIPMI tersebut, bukan tidak mungkin perubahan signifikan akan semakin memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan memberi efek positif bagi industri karena regulasi yang progressif dan rasional.