Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Komersialisasi Pelayanan Kesehatan

DPR Minta RS di Pusat dan Daerah Tak Dijadikan Sumber PAD
Oleh : si
Jum'at | 08-03-2013 | 07:49 WIB
Ribka-Tjiptaning.jpg Honda-Batam

PKP Developer


Ketua Komisi IX DPR Ribka Jiptaning

JAKARTA, batamtoday - Komisi IX DPR meminta agar rumah sakit (RS) di berbagai daerah itu tidak menjadikannya sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) dengan menentukan tarif pelayanan kesehatan sesukanya.



Sebab, pemerintah telah mengalokasikan anggaran di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebesar Rp 31,2 triliun, yang diantaranya digunakan untuk memberikan pelayanan kesehatan standar bagi masyarakat tanpa membedakan status.  

"Rumah Sakit tdak boleh dijadikan sumber PAD, baik oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Tapi, faktanya banyak dijadikan sumber PAD oleh kepala dinas. Bahkan ada juga yang jadi sumber pemasukan pencalonan kepala daerah bila incumbent maju lagi," kata Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning dalam diskusi 'Rakyat Miskin Tak Boleh Sakit' bersama Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Kamis (7/3/2013).

Menurut Tjiptaning, bukan hanya RS yang dijadikan sumber PAD, tetapi juga menjadikan RS komersialisasi dari pelayanan, penanganan dokter dan obat-obatan. Karena itu, tak jarang rakyat miskin ditolak RS-RS untuk mendapatkan pelayanan kesehatan hingga menemui ajalnya.  

“Padahal, konstitusi kita sudah memerintahkan bahwa setiap warga negara itu berhak mendapat pelayanan kesehatan yang sama, pemerintah wajib memfasilitasi, dan tak boleh menolak pasien. Itu menjadi tanggungjawab negara,” katanya.

Jika RS menolak pasien hingga akhirnya meninggal, kata Tjiptaning, RS dan dokternya bisa dipidana dan dijatuhi denda miliaran rupiah. Komisi IX DPR barharap agar RS tidak membedakan status dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. 

"Di Rumah Sakit tidak perlu ada kelas lagi karena setiap warga negara mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sama dalam kesehatan. Itu harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah,” katanya.

Tjiptaning menegaskan, komersialisasi RS harus diberantas karena tidak sesuai dengan kemanusian dan digolongkan sebagai perbuatan jahat tanpa perikemanusian. 

"Semua jenis komersialisasi harus dilawan karena pelayanan kesehatan sudah di bisniskan. Sudah banyak nyawa melayang, mau tunggu berapa lagi," katanya. 

Sedangkan Tulus Abadi mengatakan, komersialisasi pelayanan kesehatan terjadi dari hulu hingga ke hilir. "Menjadikan rumah sakit sebagai sumber PAD, itu sama dengan membisniskan orang sakit. Padahal di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, Eropa dll tak ada. Jadi, paradigma rumah sakit dan dokter kita sudah salah,” kata Tulus.

YLKI juga mensinyalir komersialisasi RS dilakukan mulai dari mulai dari pengobatan, pelayanan, dan perlakuan terhadap pasien oleh para dokter.  

"Jadi, RS sudah  provite orientad dan bisnis, maka muncullah pengobatan alternatif, yang justru banyak merugikan pasien," katanya.
 
Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) tahun 2013 Kemenkes mengusulkan anggaran sebesar Rp 31,2 triliun. Alokasi anggaran untuk belanja birokrasi yang lebih besar daripada untuk pelayanan publik. Anggaran pelayanan publik Rp 15,3 triliun sementara belanja birokrasi mencapai Rp 15,8 triliun.

Selain itu, kegiatan yang tidak jelas antara lokasi dan output yang dihasilkan adalah, laporan pengendalian lalat dan kecoa Rp 1,5 miliar, peningkatan rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat (12 laporan) Rp 69,4 miliar dan penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi (500 laporan) Rp 2,88 miliar. 

Tak hanya itu, RS yang plafonnya perlu dipertanyakan di antaranya klaim rumah sakit (fasyankes) yang melayani pasien peserta jampersal (10 klaim) senilai Rp 1,559 triliun. Klaim rumah sakit yang melayani peserta program Jamkesmas (1.218 klaim) senilai Rp 5,73 triliun.

Pada 2013 Kemenkes akan menggelontorkan anggaran sebesar Rp 3 triliun. Dari anggaran tersebut, Rp 1 triliun akan digunakan untuk transformasi BPJS, dan Rp 2 triliun digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Dengan demikian  Rp 3 triliun tak semua untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Editor : Surya