Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dilema Izin Taksi Blue Bird
Oleh : opn/dd
Rabu | 05-12-2012 | 15:53 WIB

Oleh: Raja Dachroni


CERITA MASALAH izin taksi Blue Bird sepertinya terus menghiasi halaman media harian atau online di Batam akhir-akhir ini. Sejak diterbitkan izinnnya, kemudian dicabut Pemko lantaran didemo oleh supir taksi tempatan tentang izin operasi taksi Blue Bird hingga cerita itu dimulai lagi karena Blue Bird memenangkan masalah pencabutan izin Blue Bird di tingkat PTUN.


Taksi Blue Bird pun percaya diri untuk segera beroperasi dan ternyata mendapatkan kecaman lagi dari taksi tempatan yang sudah lama beroperasi di Batam, Kepulauan Riau. Menarik sebenarnya untuk menyimak dan menyoal efek dari kebijakan plin-plan Pemko Batam ini.


Kronologis
Izin operasi perusahaan jasa taksi Blue Bird yang dikeluarkan Pemko Batam telah menimbulkan ketidakpuasan bagi supir taksi resmi yang selama ini tergabung dalam koperasi taksi Batam. Ketidakpuasan yang berujung pada aksi demonstrasi oleh ribuan supir taksi 'tempatan' menolak kehadiran Blue Bird, pada akhirnya menghasilkan apa yang diinginkan oleh mereka, yakni pencabutan izin operasi perusahaan jasa taksi Blue Bird.

Berdasarkan pemberitaan di media massa cetak lokal terbitan Batam, tercatat sekitar 2.000 unit taksi yang beroperasi di Kota Batam, Kepulauan Riau mogok dan supirnya berunjuk rasa di halaman Kantor Wali Kota Batam di Batam Centre.

Jelas dalam hal ini ada pelajaran berharga yang harus dipetik Pemko Batam. Pertama, kurang bijak dan mengabaikan prinsip partisipatif dalam mengambil kebijakan. Hal ini semestinya tidak terjadi jika Pemko Batam, benar-benar menggunakan prinsip partisipatif, melibatkan semua pihak yang ada di Batam dan bertalian dengan kebijakan izin taksi Blue Bird. Bahkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2003 disebutkan bahwa penambahan armada taksi harus didahului dengan adanya kajian. Nah, selama ini masyarakat dan supir taksi belum tahu adanya kajian tiba-tiba keluar saja izin taksi Blue Bird. 

Kita memahami bahwasanya ada dua alasan Walikota Batam Ahmad Dahlan terkait kebijakan ini, yakni taksi di Batam belum memenuhi standar pelayanan, baik secara fisik armada maupun manajemen dan Pemko Batam tidak mau dianggap melakukan praktik monopoli oleh KPPU (batamtoday.com, 1 Agustus 2012). Kedua, lemahnya intervensi Pemko Batam terhadap kepengelolaan manajerial taksi resmi di Batam yang selama ini dipercayakan pengelolaannya kepada koperasi atau perusahaan jasa taksi yang ada di Batam.

Ini bisa kita lihat dari alasan pertama Walikota Batam Ahmad Dahlan tentang minimnya standar pelayanan taksi. Idealnya, Pemko Batam dapat melakukan pembinaan terlebih dahulu kepada taksi Batam dan menindak tegas perusahaan-perusahaan jasa taksi yang tidak menerapkan standar pelayanan taksi yang baik.  

Seperti yang diungkapkan Sekretaris Umum FKPTPB Kota Batam, Satria Dharma, kepada salah satu media cetak terbitan Batam, Pemko Batam seharusnya melakukan pembinaan dan pembenahan terhadap taksi yang sudah ada. Di mana menurutnya, saat ini terdapat sekitar 3.460 armada taksi di Batam yang bernaung di bawah 12 operator taksi dan 15 pangkalan. Dia beralasan, pemberian izin dan penambahan armada taksi Blue Bird di Kota Batam berdampak drastis pada turunnya pendapatan para sopir. Baik itu sopir taksi, travel, organda dan angkutan umum lainnya. 

Akhirnya, surat keputusan KPTS.551.21/PHB/D/0893/III/2012 tentang izin operasional Blue Bird dengan memperhatikan desakan supir taksi Batam yang menuntut dan menolak Blue Bird berorepasi di Batam pun dicabut dengan keluarnya surat pencabutan izin bernomor 1/PERNY-DISHUB/VII/2012 tertanggal 31 Juli 2012.

Seharusnya, jika Pemko Batam benar-benar menerapkan prinsip partisipatif dalam mengambil keputusan, jelas hal-hal seperti unjuk rasa supir taksi Batam yang berhimpun dalam koperasi taksi tidak akan terjadi sehingga tidak hanya supir taksi atau Blue Bird yang merasa rugi, tapi masyarakat juga yang terkena imbas kerugiannya.

Akibat dari kebijakan ini Pemko Batam sekarang sedang menghadapi dua PR. Pertama, membenahi transportasi umum khususnya taksi Batam dalam upaya mengawal agar standar pelayanannya memenuhi kebijakan transportasi taksi secara nasional. Dan kedua, mau atau tidak Pemko Batam harus siap-siap memberikan garansi keamanan kepada taksi Blue Bird karena memang sekarang mereka telah menang dalam PTUN.

Terminologi Partisipasi dan Kebijakan Partisipatif
Kebijakan partisipatif bukan hal yang baru dalam alam demokrasi seperti saat ini, namun senantiasa diabaikan oleh penguasa karena khawatir dalam mengambil keputusan cenderung lambat dan bisa dipandang tidak tegas. Padahal, jika metode itu sudah disampaikan dengan jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan dalam mengambil setiap keputusan. Untuk itu, diperlukan teknologi partisipasi  untuk melahirkan kebijakan yang partisipatif.

Terminologi partisipasi atau lebih dikenal dengan technology of participation merupakan metode fasilitasi untuk membantu kelompok dalam pengambilan keputusan seara partisipatif. Dalam melakukan fasilitasi kelompok, teknologi partisipasi mengeklplorasi munculnya inisiatif-inisiatif, sikap kepemimpinan, keputusan dan tanggungjawab dari seluruh anggota kelompok (Ilham Cedekia dkk, 2010; 1). 

Dengan penggunaan metode ini, jelas akan melahirkan juga kepemimpinan yang fasilitatif. Penulis pikir, permasalahan transportasi khususnya tentang manajerial taksi di Batam memang harus segera dibenahi dan dicari win-win solusionnya. Untuk itu, biar tidak sama-sama rugi semua pihak yang terkait dengan permasalahan ini perlu didudukkan. Pemko Batam yang berkeinginan kuat untuk membuat pelayanan taksi Batam memenuhi standarisasi harus bisa mengatasi permasalahan ini dengan bijak. 

Barangkali ada empat elemen yang harus dilibatkan dalam hal ini. Pertama, pemilik taksi Blue Bird yang sudah terlanjur mendapatkan izin operasional. Kedua, DPRD Batam sebagai representasi wakil rakyat di Batam. Ketiga, masyarakat pengguna taksi. Keempat, perwakilan dari taksi resmi Batam yang telah beroperasi belasan tahun lamanya. Nah, inilah sikap yang memang harus segera dilakukan Pemko Batam, sehingga tidak mengalami kerugian baik secara materi ataupun non-materi. Sikap mengeluarkan izin operasional taksi Blue Bird dan mencabut izin itu adalah sikap plin-plan dan lambang dari ketidakbijakan Pemko Batam.
 
Idealnya, tanpa memaksakan kehendak penulis, nasi sudah menjadi bubur, masalah ini harus segera dicarikan solusinya oleh Pemko Batam dengan mencari jalan yang lebih bijak. Jalan bagaimana semua pihak tidak saling dirugikan. Terlebih lagi nasib supir taksi yang sudah cukup lama beroperasi di Batam dan efek kebijakan pincang ini akan menambah luka manajemen transportasi di Batam. Semoga kita sama-sama memahaminya dan Pemko Batam yang dinakhodai Ahmad Dahlan harus tegas menyikapinya. Semoga!

Penulis adalah Ketua Umum PD KAMMI Kepulauan Riau dan Direktur Gerakan Kepulauan Riau Gemar Menulis (GKGM).