Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MK Membuka Jalan Kedaulatan Energi
Oleh : opn/dd
Jum'at | 23-11-2012 | 14:16 WIB

Oleh: Ahmad Rahayu


MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) lagi-lagi membuat gebrakan dengan membubarkan BP Migas per 13 November 2013. Setelah melakukan uji materi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas, lembaga negara yang dipimpin oleh Mahfud MD itu menyimpulkan bahwa BP Migas bertentangan dengan UUD 1945.


Badan pelaksana kegiatan hulu minyak dan gas bumi ini dinilai telah mendegradasi penguasaan pemerintah terhadap SDA Indonesia. Sehingga SDA yang seharusnya dikuasai oleh negara demi kemakmuran rakyat, justru malah sebaliknya dikuasai oleh asing dan demi kemakmuran asing.

Seperti diketahui, UU Migas ini digugat ke MK oleh Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketum PBNU Hasyim Muzadi, Ketua MUI Amidhan, mantan Menakertrans Fahmi Idris dan politisi muslim Ali Mochtar Ngabalin. Selain itu, turut menggugat pula sebanyak 12 ormas islam. 
.
Kikis Kekuasaan Negara
Keputusan MK ini bukan tanpa sebab-musabab. Kontrak Kerja Sama (KKS) yang selama ini dilakukan oleh BP Migas dengan perusahaan pengelola migas (mayoritas perusahaan asing) dinilai tidak berjalan efektif. 

Pertama, pemerintah tidak bisa secara langsung mengelola atau menunjuk perusahaan untuk mengelola sumber migas. Kedua, setelah BP Migas meneken kontrak kerjasama, negara kehilangan kebebasan untuk mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan isi kontrak. Ketiga, negara tidak bisa memaksimalkan keuntungan untuk kemakmuran rakyat karena adanya prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar dan transparan. 

Pemerintah selalu kesulitan dalam mengeluarkan kebijakan atau regulasi karena terbentur dengan isi KKS yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Di sinilah kekuasaan negara terhadap objek-objek vital yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat terdegradasi.

Di lain pihak, pengamat perminyakan, Kurtubi menilai keberadaan BP Migas selama ini justru telah menggerogoti kedaulatan negara. Sebab, BP Migas mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing secara business to government (B to G). Artinya, kedudukan pemerintah dan kontraktor asing jadi setara. Jika terjadi sengketa hukum, bisa membahayakan negara. Selain juga BP Migas dengan leluasanya mewakili pemerintah menentukan pengelolaan energi migas.

Apa yang dikhawatirkan oleh para pengamat dan tokoh yang menggugat UU Migas ini, sepertinya mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia. Rakyat mulai resah dan prihatin atas liberalisasi yang terjadi dalam pengelolaan SDA di alam bangsanya.

Semua alasan yang dipaparkan oleh MK di atas, cukup masuk akal. Mengingat pasal 33 UUD 1945 dengan sangat gamblang mengatakan bahwa bumi, air dan udara sepenuhnya dikuasai oleh negara demi kemakmuran rakyat. Ketua MK Mahfud MD mengatakan," Seluruh hal yang  berkaitan dengan Badan Pelaksana dalam penjelasan UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat." Dari situlah keputusan MK berangkat.

Kembali ke UUD 1945
Melihat kondisi hari ini, tentu kita akan sepakat bahwa pengelolaan migas tidaklah sesuai dengan konstitusi. Di manakah letak kebenaran bahwa objek-objek vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Jangankan digunakan demi kemakmuran rakyat, menguasai saja negara masih belum mampu melakukannya. Sehingga adagium yang mengatakan "tikus mati di lumbung padi” cukup pantas dialamatkan kepada negeri ini. Rakyat dilanda kemiskinan, kelaparan, busung lapar, dan keterbelakangan pendidikan di tengah berlimpahnya sumber daya alam yang ada. 

Namun masih ada kesempatan andaikata pemerintah segera mengambil keputusan yang tegas dan berani. MK sudah membuka jalan dan membuka mata kita. Bahwa pengelolaan migas melalui BP Migas selama ini telah melanggar dan menabrak konstitusi. Terbukti bahwa selama periode 2001-2011, sebanyak 74 persen kegiatan usaha hulu migas dilakukan perusahaan asing. Persentase perusahaan nasional hanya mencapai 22 persen dan konsorsium 4 persen (Dirjen Migas). 

Maka tidak mengherankan apabila banyak pihak memberikan cap bahwa UU Migas telah membuka liberalisasi pengelolaan migas dan menabrak konstitusi.

Keputusan pembubaran BP Migas, seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah Indonesia. Sebagai pelecut untuk kembali ke jalan yang "benar". Kembali ke UUD 1945. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Namun demikian, dengan dibubarkannya BP Migas tidak serta merta pula penguasaan negara akan SDA semakin membaik. Kementerian ESDM sebagai pengganti tugas BP Migas masih harus diuji keberaniannya. Akan lebih baik atau justru malah sebaliknya. Respon cepat, cerdas dan tepat dari pemerintah patut kita tunggu demi tegaknya kedaulatan energi di negara kita. Kita tunggu saja kejutan apa yang akan ditunjukkan oleh pemerintahan SBY dalam waktu dekat.

Penulis adalah Ketua GMNI Kabupaten Rokan Hulu dan Mahasiswa Universitas Riau.