Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hal Investigasi Walhi Aceh

Banjir Bandang di Aceh Tenggara Akibat Pembalakan Liar Makin Marak
Oleh : si
Jum'at | 24-08-2012 | 19:47 WIB
Banjir_Bandang.jpg Honda-Batam

Banjir bandang di Aceh Tenggara

BANDA ACEH, batamtoday - Direktur Eksekutif Walhi Aceh Teuku Muhammad Zulfikar mengatakan, banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Leuser, Kabupaten Aceh Tenggara pada 17 Agustus lalu, akibat maraknya pembalakan liar (illegal logging) di wilayah tersebut.


Jika Pemprov Aceh dan aparat penegak hukum tidak serius dalam menumpas pelaku illegal logging, maka banjir bandang di Aceh Tenggara akan terus terulang dari waktu ke waktu.

"Kejadian banjir bandang sebagaimana yang terjadi di Aceh Tenggara akan menjadi sebuah rutinitas jika tidak segera disikapi secara serius oleh pemerintah, terutama Pemerintah Aceh. Untuk itu Pemerintah Aceh bersama aparat penegak hukum untuk segera menumpas pelaku penebangan liar yang masih terus melakukan perambahan di kawasan ekosistem leuser yang dilindungi," kata Zulfikar dalam rilisnya, Jumat (24/8/2012).

Menurut Zulfikar, banjir bandang serupa pernah terjadi pada 26 April 2005 lalu, guyuran hujan yang sangat deras mengakibatkan banjir bandang di desa Lawe Ger-Ger,  Lawe Pinis, Lawe Mengkudu dan sebagian desa Jambur Lak-Lak.  Desa tersebut masuk ke dalam kecamatan Ketambe kabupaten Aceh Tenggara. Kerugian harta benda yang dialami masyarakat ketika itu cukup banyak, baik rumah yang rusak total maupun yang rusak berat.

Delapan bulan kemudian (Desember 2005), terjadi lagi banjir bandang di Kecamatan Semadam yang  menghanyutkan rumah, lahan pertanian bahkan menelan korban jiwa. Adapun desa-desa yang mengalami kerusakan adalah Semadam Awal, Semadam Asal, Lawe Beringin Gayo, Suka Makmur, Titi Pasir, Kampung Baru, Kebun Sere, dan Lawe Petanduk I dan II.

Bencana di Kecamatan Semadam tidak hanya sampai disini, 3 Desember 2007 banjir bandang kembali terjadi dan menghayutkan 3 rumah penduduk walaupun tidak menelan korban jiwa.

"Yang terakhir tentu kita masih ingat bagaimana banjir bandang telah menghantam sejumlah desa di Kecamatan Lawe Alas dan Bukit Tusam, Kabupaten Aceh Tenggara pada tanggal 8 April 2012 yang menghantam enam buah desa di Kecamatan Lawe Alas dan pada tanggal 12 April 2012, banjir bandang juga merusak 296 unit rumah penduduk di Kecamatan Bukit Tusam, Aceh Tenggara. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa bencana banjir bandang terus-menerus terjadi di Aceh Tenggara? katanya.

Sedangkan akibat banjir bandang dan tanah longsor di Kecamatan Leuser, Kabupaten Aceh Tenggara pada 17 Agustus 2012 lalu, telah merusak dan menghanyutkan sedikitnya 172 unit rumah- termasuk fasilitas publik lainnya dengan katagori 53 rusak berat, 13 rusak sedang dan 106 rusak ringan, serta rusaknya fasilitas umum seperti mesjid/mushalla, sekolah dasar, jembatan, jalur transportasi dan berbagai sarana dan prasarana publik lainnya.

Selain itu juga banjir bandang juga menyebabkan  5 orang penduduk tewas, dan menghanyutkan sedikitnya 50 rumah penduduk. Banjir tersebut telah menyapu desa-desa pedalaman yang berada dalam wilayah kecamatan Leuser (80 km arah utara Kutacane, Ibukota Kabupaten Aceh Tenggara). Bahkan salah satu desa yang diterjang air bah yaitu desa Naga Timbul, sangat terisolir karena berada di kaki gunung, berbatasan langsung dengan Tanah Karo, Sumatera Utara. Selain Desa Naga Timbul, Desa lainnya yang terkena banjir antara lain Desa Sukadamai, Gayo Sendah, Sepakat, Liang Pangi dan Bunbun.

Dalam investigasi dan survei yang dilakukan Walhi Aceh bersama Yayasan RMTM dan YELPED Aceh Tenggara, kata Zulfikar, ditemukan pembalakan liar yang makin marak di kawasan ekosistem Leuser. Hasil investigasi Walhi Aceh mengungkap,  bahwa hampir rata-rata pemilik perusahaan panglong di Kabupaten Aceh Tenggara adalah para oknum aparatur negara (kalangan oknum aparat, pejabat pemerintah dan anggota maupun mantan anggota dewan yang terhormat).

"WALHI Aceh berharap agar Gubernur Aceh harus segera mengambil tindakan tegas dan memerintahkan aparat penegak hukum terkait untuk segera mengungkap pelaku penebangan liar di kawasan ekosistem leuser. Karena jika terjadi bencana yang kena imbasnya adalah masyarakat, penebangan kayu di hutan yang berlebihan tidak hanya akan menyebabkan banjir dan longsor tetapi juga merubah iklim dimana iklim menjadi panas dan hutan sebagai fluktuasi cuaca," katanya.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh menegaskan, untuk mencegah terjadi banjir bandang terus terulang di Aceh Tenggara diperlukan kearifan lokal seperti menanam pohon kemiri di lokasi perkebunan, bukan tanaman jagung atau tanaman kakao karena akarnya tidak mampu menyerap air. "Kearifan lokal sangat diperlukan saat terjadi bencana agar semua terkoordinasi untuk menghindari bencana dan mencari lokasi aman agar terhindar dari bencana. Yang sangat penting adalah kesadaran masyarakat akan kerentanan bencana," katanya.

Kecamatan Leuser berada di sebelah Timur Aceh Tenggara, dan berbatasan dengan Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara, dimana kecamatan ini juga diancam oleh binatang buas karena dikelilingi oleh kawasan hutan lindung dengan luas hutan 6.193 Ha. Secara keseluruhan semua kecamatan yang ada di Aceh Tenggara berbatasan dengan hutan lindung kecuali Kecamatan Babussalam yang terletak di tengah-tengah Kota Kutacane. Aceh Tenggara mempunyai luas 423.141 Ha yang terdiri dari pegunungan, hutan dan sungai.

Daerah ini merupakan kawasan yang cukup bernilai secara ekologis, sosial, ekonomi dan budaya. Disamping memiliki KEL (Kawasn Ekosistem Leuser) dan TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) yang mengandung kekayaan sumberdaya alam (SDA) yang sangat bernilai. Meski amat besar nilai yang terkandung tetapi bila terus dibiarkan dirusak dan dihancurkan oleh “tangan-tangan” tak bertanggung jawab, maka pasti akan mendatangkan malapetaka.

Sedangkan Aceh Tenggara terdiri dari pegunungan, hutan dan sungai dengan SDA  yang menjadi  produk unggulan seperti padi, kakao, kemiri, dan ikan air tawar. Walaupun daerah ini mempunyai tanah yang subur untuk jenis tanaman palawija, tapi tidak jarang sayur-sayuran di datangkan dari Brastagi Kabupaten Karo Sumatera Utara karena banyaknya tanaman palawija tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sementara potensi daerah Aceh Tenggara sangat memungkinkan untuk terjadi bencana karena Aceh Tenggara terdiri dari aliran sungai dan dikelilingi oleh hutan-hutan. Tidak heran jika hampir semua kecamatan yang ada di Aceh Tenggara rentan akan bencana terutama bencana yang disebabkan oleh air. Mengingat Kabupaten Aceh Tenggara dikelilingi oleh hutan dan aliran sungai yang rentan akan bencana. Maka jika terjadi bencana masyarakatlah yang berhubungan langsung dengan bencana sehingga diharapkan masyarakat sudah harus mampu mengelola bencana baik sebelum terjadi.

Saat terjadi bencana masyarakat juga harus mampu tanggap darurat untuk penyelamatan baik menyelamatkan diri, harta benda dan yang lainnya. Selanjutnya sesudah terjadi bencana masyarakat harus tahu apa saja yang harus dilakukannya. Bila terjadi penebangan kayu yang berlebihan dari hutan maka setiap turun hujan tidak ada lagi penyangganya yang menyebabkan erosi sehingga debit air sungai akan naik dan mengakibatkan banjir dan merugikan masyarakat.

Untuk itu WALHI Aceh sangat berharap kepada semua komponen, baik Pemerintah, Aparat Keamanan dan juga seluruh elemen masyarakat agar sadar dan peduli terhadap lingkungan, terutama hutan. Karena daerah kita dikelilingi oleh hutan dan sungai, yang sangat berpotensi terjadinya bencana terutama banjir bandang.