Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kepri Kekurangan Guru Eksakta dan Guru Keterampilan
Oleh : surya
Kamis | 16-08-2012 | 18:17 WIB
hardi_selamet.jpg Honda-Batam

Ketua Komite III DPD RI Hardi Selamat Hoed

JAKARTA, batamtoday - Ketua Komite III DPD RI Hardi S Hoed mengatakan, kebutuhan akan guru di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) terus mengalami peningkatan, terutama di Batam.  Kekurangan ini mencakup guru bidang eksakta dimana sebanyak 2000 guru memasuki pensiun dan guru keterampilan untuk sekolah kejuruan.



"Karakteristik demografis Provinsi Kepualau Riau yang terdiri dari 96 persen lautan dan hanya 4 persen daratan menjadi persolan tersendiri dalam penyebaran guru. Banyak wali murid di pulau terpencil mengeluhkan bahwa sekolah mereka sering kekurangan guru," kata Hardi dalam laporan kunjungan kerja di daerah yang dibacakan Senator asal Kepri Aida Ismeth Abdullah pada saat Sidang Paripurna DPD RI, Rabu (15/8/2012) lalu.

Bahkan sejumlah pulau di sekitar Batam yang disebut dengan daerah hinterland hingga saat ini, kata Hardi, masih guru dari tingkat SD hingga SLTA. Hal ini disebabkan oleh minimnya fasilitas di daerah hinterland seperti sarana transportasi, air bersih, telekomunikasi dan lainnya, akibatnya guru yang ditempatkan di daerah ini tidak bertahan lama.

"Untuk menutupi kekurangan itu, pihak sekolah terpaksa menerima tenaga guru honorer dengan kualitas yang tidak seragam, yang penting mereka mau mengajar. Sementara itu baik Pemprov Kepri maupun pemerintah kota Batam berusaha membuat terobosan dengan membuka peluang bagi anak-anak yang tinggal di daerah pulau-pulau terluar (hinterland) untuk dikuliahkan menjadi seorang guru yang dibiayai hingga selesai oleh pemerintah setempat," katanya.

Sementara terkait pengangkatan guru honor menjadi CPNS, sejumlah guru honorer di Batam dan Bintan banyak mengeluh karena tidak bisa masuk daftar K1 dan K2, akibatnya lambannya pendataan yang dilakukan pemerintah daerah setempat, dan ketatnya persyaratan yang dipersyaratkan pemerintah pusat dalam penerimaan CPNS..

 "Ada kesan para guru honorer yang tidak masuk daftar K1 dan K2 ini merasa tidak dihargai setelah sekian lama mereka mengabdikan diri untuk mencerdaskan daerah dan bangsa. Tapi ada juga guru honoer yang memenuhi ketentuan PP No.48 tahun 2005, namun belum diangkat menjadi CPNS karena dianggap tercecer, tertinggal dan terselip sehingga belum tercatat dalam database BKN," katanya.

Namun Hardi mengingatkan,  upaya pusat untuk mendapatkan guru PNS yang kompeten melalui  jalur K1 dan K2 dikwatirkan dapat menimbulkan ekses negatif lainnya, seperti ketidakpastian atas nasib para guru honorer. Bahkan tidak menutup kemungkinan, jika  para guru yang sudah berpengalaman mengajar, itu akan terbuang oleh PNS baru yang diterima dari jalur tes PNS regular. "Keresahan ini nampaknya sudah menggejala di hampir semua kalangan honorer," katanya.

Sedangkan menyangkut sertifikasi guru dan kompetensi guru, Hardi mengatakan, kuota sertifikasi guru yang diberikan masih kurang karena jumlah guru di Kepri mencapai 21 ribu orang guru pada semua tingkatan sekolah. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 3600 orang guru yang mendapat sertifikasi. 

"Padahal dari  data yang kami peroleh menunjukkan bahwa baru sekitar 70 persen guru yang benar-benar menjalankan profesinya secara baik. Sedangkan yang lainnya, masih peru ditingkatkan termasuk termasuk jam mengajar yang masih sedikit, serta kualitas pengajaran yang minim. Jika data ini memang benar, maka hal yang perlu dilakukan adalah melakukan treatmen yang tepat melalui pelatihan dan peningkatan kompetensi, bukan dengan memberikan ”hukuman”," katanya.

Senator asal Kepri menilai, kebijakan Kemendikbud yang selalu  berubah-ubah dalam menerapkan metode sertifikasi guru mengesankan, bahwa pemerintah pusat seperti tidak punya blue print perencanaan jangka panjang. Hampir setiap pergantian menteri terjadi pula perubahan kebijakan untuk peningkatan kulitas guru. Karena ketidakkonsistenan ini, kualitas guru rendah karena kesalahan sistem yang diberlakukan pemerintah pusat dalam peningkatan kualitas guru.

"Awalnya kita mengenal Akta Mengajar, namun kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi. Setelah itu keluar regulasi program peningkatan guru dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) melalui sertifikasi guru melalui Uji Profesi Guru. Akan tetapi kebijakan ini berubah lagi, guru dalam jabatan sertifikai diubah menjadi program portofolio, namun karena dianggap kurang berhasil maka diperbaharui lagi pada tahun 2011 dengan program Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG).  Pada 2012, sebelum PLPG guru harus mengikuti Ujian Kompetensi Awal (UKA). Dari hasil UKA 2012 yang hanya menguji kognisi guru maka diketahui hasilnya bahwa rata-rata nilainya 42 dari seharusnya nilai maksimal 100.," katanya.

Atas dasar itu Kemendikbud menganggap kualitas guru rendah sehingga perlu adanya Uji Sertifikasi Ulang bagi yang sudah bersertifikasi, namun setelah diprotes organisasi profesi guru maka, Uji Sertifikasi Ulang berubah menjadi Uji Kempetensi Guru (UKG) yang tidak berpengaruh terhadap Sertifikasi dan Tunjangan Profesi.

 "Kondisi ini juga mengesankan seolah para guru hanya menjadi semacam kelinci percobaan atas kebijakan kementerian pendidikan,  apabila metode yang dipakai diniklai tidak tepat, maka metodenya akan diganti dengan yang baru, dan begitu seterusnya. Seharusnya mekanisme dan sistim sertifikasi guru yang kita harapkan adalah sistim yang memang dirancang secara terukur dangan pertimbanagn yang matang, dan yang lebih penting tidak mengalami perubahan radikal dari tahun ke tahun," katanya.

Dari perubahan sistem peningkatan kualitas guru terbaru ini, lanjutnya, sebanyak 2900 guru di Kepri mengikuti UKG secara online, namun pada sata mengikuti ujian terjadi gangguan teknis jaringan server Jakarta. Namun anehnya, server tetap memberikan penilaian, akibatnya peserta ini mendapat angka 0 dari ujian pedagogik karena saat peserta sedang mengisi soal, tiba-tiba terputus dari jaringan server  yang ada di Jakarta.

"Para guru senior yang sudah hampir memasuki masa pensiun juga menyampaikan kengganan mereka untuk mengikuti proses pembelajaran dan pelatihan jika mereka tidak lulus  UKG. Mereka mengaku tidak punya motivasi yang kuat mengingat umur yang sudah hempir memasui masa pensiun," kata Ketua Komite III DPD RI yang membidangi pendidikan ini.