Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kasus Dugaan Korupsi Simulator SIM

Stop Tarik-menarik Kewenangan Penyidikan antara KPK dan Polri
Oleh : Surya
Selasa | 07-08-2012 | 18:42 WIB

JAKARTA, batamtoday- Konflik antara KPK dan Kepolisisn dalam menangani kasus dugaan korupsi alat simulator SIM di Korlantas Polri sangat menarik perhatian publik, apalagi keberanian KPK mengeledah ruang kantor Korlantas yang mana selama ini kepolisian adalah merupakan institusi penegak hukum yang tidak mudah disentuh oleh institudi lainya dan sangat superior.


Menurut Direktur Indonesia Developmet Monitoring (IDM), Fahmi Hafel, tarik menarik mengenai kewenangan dalam peyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator antara KPK dan Polri seharusnya tidak perlu dipersoalkan, apakah itu lebih berwenang Polri atau lebih berwenang KPK.

"Yang terpenting adalah, hasil dari pembongkaran kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM tersebut, seberapa banyak uang negara dapat diselamatkan dan seberat apa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku korupsi agar menimbulkan efek jera dan tidak terulang lagi," ujar Fahmi kepada batamtoday, Selasa (7/8/2012).

"Jadi KPK tidak perlu ngotot untuk mengatakan paling berhak dalam melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi tersebut, sebab kinerja KPK dalam pemberantsan korupsi dibandingkan dengan dana APBN yang terpakai untuk pembiayaan KPK tidak sebanding dengan uang hasil korupsi yang dapat diselamtkan oleh KPK," tambahnya.

Selain itu, IDM juga menilai KPK tidak terlalu banyak membongkar kasus-kasus korupsi big fish yang ada di BUMN, yang jumlahnya trilyunan rupiah. KPK yang juga mempunyai hak untuk melakukan penuntutan, kata Fahmi, dalam menangani kasus korupsi juga terkesan tututannya terhadap pelaku korupsi terlalu ringan.

"Seperti dalam kasus Nazarudin, KPK hanya menuntut 7 tahun penjara untuk kasus yang banyak merugikan negara dan melibatkan seorang wakil rakyat serta tidak beraninya KPK menetapkan Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang, dimana seringkali Nazarudin dalam persidangan mengatakan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus dugaan korupsi tersebut," paparnya.

Sepanjang KPK berdiripun, ia menambahkan, beberapa kali organisasi kemasyarakatan ataupun LSM melakukan gugatan terhadap KPK di pengadilan karena KPK tidak menindaklanjuti laporan dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat, yang sudah sangat jelas adanya peyelewengan dan kerugian uang negara. Seperti gugatan kepada KPK di Pengadilan Jakarta Selatan oleh Komite Anti Korupsi Indonesia terkait dugaan korupsi proyek pembangunan air bersih dan jalan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang melibtakan Bupati Morkes Effendi.

"Terkait dengan kasus dugaan korupsi di korlantas, KPK pun tidak perlu menghalang-halangi Polri untuk melakukan peyidikan dalam kasus tersebut, sebab dasar hukum Polri untuk meyidik kasus tersebut juga ada yaitu KUHAP. Selain itu, KPK juga mempunyai hak untuk mengambil alih jika peyidikan kasus dugaan korupsi korlantas yang dilakukan oleh Polri itu jalan di tempat," ungkapnya lagi.

Ia juga mengatakan, justru dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri yang disidik Polri akan bisa menjadi bumerang bagi Polri jika peyidikan polisi terhadap kasus korupsi tersebut tidak sampai ke meja hijau. Nantinya Polri akan semakin disebut sebagai lembaga yang paling korup. Selain itu, jika kasus itu nantinya dilanjutkan ke kejaksaan oleh polisi, polisipun tidak punya hak lagi untuk meyidik jika kasus tersebut sudah lengkap bukti atau P21 dan jaksa bisa melakukan penambahan pasal-pasal tindak pidana korupsi yang memberatkan yang dapat diajukan ke pengadilan tipikor.

Ia menilai, justru pengerebekan KPK di korlantas terkait kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM, jangan-jangan dilakukan KPK hanya untuk melakukan pengalihan atau kanalisasi terhadap tuntutan publik yang makin kuat terhadap KPK untuk membongkar kasus korupsi pembangunan proyek komplek olahraga Hambalang yang melibatkan elit-elit penguasa dan lingkaran SBY, serta berbagai kasus korupsi yang menyangkut petinggi Partai Demokrat yang sedang disidik KPK, agar kasus dugaan korupsi korlantas ini bisa menurunkan tekanan terhadap KPK.

"Dari hal di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa KPK tidak perlu merasa paling berwenang dan Polri juga tidak perlu merasa tersinggung karena digerebek KPK. Karena suatu haripun Polri bisa melakukan pengerebekan di KPK jika ada korupsi di tubuh KPK atau adanya jual beli jumlah tuntutan di KPK, yang selama ini tidak terpantau," ujarnya.

Yang terpenting, katanya, dalam kasus dugaan korupsi di Korlantas, adalah bisa dijadikan oleh Polri sebagai tantangan bagi Polri untuk menjadi intitusi yang bersih dari koruptor dan mafia kasus serta kriminalisasi kasus pidana  yang dilakukan oknum polisi sebagai sarana untuk memeras seseorang.

Dan masalah kewenangan antara Polisi dan KPK, menurutnya, juga tidak perlu menyangkutpautkan Presiden SBY karena SBY juga tidak akan menanggapi. Dan diuji ke MK pun sepertinya tidak relevan.

Yang penting, Fahmi menambahkan, adalah keberhasilan kedua institusi tersebut dalam membongkar kasus koruspi tersebut, sebab masyarakat menunggu hasil dari kedua intitusi yaitu KPK dan Polri untuk dapat membongkar kasus korupsi di tubuh Polri dan jumlah uang yang dapat diselamatkan dari tindakan korupti dalam pengadaan barang tersebut,"nya.

"Jika nantinya hasil peyidikan dugaan kasus korupsi di tubuh Polri sampai dengan penghukuman tidak memberikan hasil yang signifikan, maka sebaiknya Komisioner KPK mundur dan DPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 tentang status kedudukan Polri yang saat ini di bawah Presiden dirubah menjadi di bawah Kementerian Dalam Negeri agar mudah disidik jika ada kasus korupsi di tubuh Polisi," tandasnya.